Menulis Adalah Cinta

Saat ini sudah banyak orang yang semakin menggemari dunia tulis menulis. Mencantumkan sebutan diri sebagai penulis, juga telah menjadi trend tersendiri di segala kalangan. Memang menjadi penulis, sudah dianggap sebagai profesi yang keren dan menambah penghasilan yang lumayan menggiurkan. Tapi apakah hana sebagai ajang keren-kerenan saja, seseorang layak melabeli dirinya sebagai penulis? Hal tersebut kadang menggelitik pemikiran saya yang baru mulai merintis langkah menjadi penulis profesional ini.

Saya mulai menggemari kegiatan menulis semenjak baru menginjak sekolah dasar. Waktu kecil saya termasuk anak yang bandel tapi cukup berprestasi, dan semua itu berkat didikan Mama yang penuh kedisiplinan dalam membentuk sikap saya dan adik. Tak jarang kalau saya melawan atau membantah, Mama tak segan untuk bertindak keras. Nah, walau semasa kecil saya sangat bandel tapi saya tak berani membalas, dan semua unek-unek itu saya tumpahkan dalam bentuk cerita mini satu halaman buku tulis merk Sidu (Sinar Dunia). Emosi saya tersalurkan, hingga suatu hari Mama membaca buku tulis yang saya letakkan sembarangan. Awalnya saya ketakutan, tapi Mama akhirnya bisa paham dan komunikasi kami tidak kaku lagi.

Papa yang hobi membelikan saya majalah anak-anak, juga berjasa dalam menumbuhkan kecintaan saya dalam memmbaca. Semua cerita yang ada di majalah membuat hobi mengkhayal saya semakin kuat dan tak jarang saya tumpahkan khayalan itu lewat tulisan di bermacam-macam kertas. Bahkan saya sempat menjual tulisan saya ke teman-teman sekelas yang lumayan laris waktu itu. Teman-teman memilih daftar judul yang saya buat, lalu saya membuat cerita sesuai pesanan. Saya bentuk dari kertas bergaris dan disampuli kertas buffalo, semuanya saya buat sendiri lalu saya jual per buku lima ratus rupiah.

Kegiatan menulis belum saya anggap serius dan hanya saya jadikan hobi. Baru saat saya memenangkan sebuah lomba menulis resensi film saat SMP, orang tua saya semakin yakin kalau saya memiliki bakat alami sebagai penulis. Saat ini belum ada karya yang dimuat di media, namun ketika mengikuti seleksi program antologi 'Semanggi Suroboyo' yang diadakan Forum Aktif Menulis (FAM) Surabaya pada Mei 2013, tiga karya puisi saya dinyatakan lolos. Hal itu menjadi titik balik saya untuk bertekad menjadi penulis profesional. Lalu saya mengikuti komunitas menulis dan workshop yang alhamdulillah, mengantar saya masuk dalam jajaran sepuluh penulis terbaik dalam workhshop menuli cerpen di bulan dan tahun yang sama.

Menulis adalah cinta. Dalam menulis entah fiksi ataupun non-fiksi, rasa cinta tumbuh semakin besar dan mengiringi mimpi saya yang lain, menjadi penerjemah bahasa Jepang yang handal sesuai dengan bidang kuliah saya. Menjadi penerjemah juga berhubungan dengan mengolah kata dan bahasa, sehingga semakin membuat hobi menulis itu juga semakin kuat. Jadi jangan hanya menjadikan profesi penulis hanya sebagai tolok ukur kekerenan, tapi cintailah sepenuhnya maka manfaat-manfaat menyenangkan akan anda dapatkan.

2 komentar

ali farhan mengatakan...

Iya,,aku mulai suka nulis baru2 ini sih sejak kuliah..tapi ga mau disebut penulis jg..Nulis sekedar jadi sarana untuk 'buang' isi kepala yang terlalu sayang kalau 'hilang' ... hehe

Reffi Dhinar mengatakan...

yap...aku sih masih merintis,,jadi masih dibilang 'penulis anak bawang' hehe...yg penting niat menulis itu jga buat mengasah kepekaan pikiran kita...semangat nulis ya Ali ^^