Kali ini saya akan
membagi sedikit pengalaman saya mengenai budaya asing yang saya pelajari serta
refleksi apa yang menginspirasi saya mengenai pemahaman budaya negeri sendiri. Kebetulan saat ini saya
berkuliah di jurusan sastra Jepang di Universitas Dr. Soetomo, Surabaya. Di sini
saya tidak hanya belajar bahasanya saja, tapi juga belajar budaya Jepang dengan
lebih menyeluruh.
Kebetulan fakultas
sastra di kampus saya memiliki kesempatan untuk bekerjasama dengan ibu-ibu Nihonjin (orang Jepang) untuk bertemu
dalam satu acara rutin tiga bulan sekali yang bernama Kondankai. Dalam acara
ini mahasiswa sastra Jepang dan para Nihonjin
saling berinteraksi dalam bentuk percakapan, pertunjukan seni, atau lainnya
untuk saling mengenal budaya masing-masing negara.
Kondankai ke-50 yang
baru saja diselenggarakan pada tanggal 28 Mei lalu membawa kesan tersendiri
bagi saya. Tiap pertemuan pasti akan membahas tema berbeda, dan tema Kondankai
ke-50 lalu adalah tentang ‘Alat Musik Indonesia dan Jepang’. Beberapa alat
musik tradisional seperti suling bambu seperti gamelan bambu, ketipung, suling
bambu, gong dan rebana diperkenalkan
pada ibu-ibu Nihonjin tersebut. Mahasiswa
dan Nihonjin dibagi dalam beberapa
kelompok kecil untuk saling berinteraksi dan para mahasiswa berkesempaetan
untuk mempraktekkan langsung bahasa Jepangnya.
Saya bertanya pada
ibu-ibu Nihonjin tersebut apakah mereka ada yang bisa memainkan alat musik
tradisional Jepang mengingat Jepang adalah negara yang terkenal dengan budaya
tradisinya. Cukup mengejutkan sekali saat mendengar jawaban mereka, kurang
lebih saya rangkum seperti ini.
“Kami belum pernah
menyentuh alat tradisional seperti Koto, Sakuhachi, atau Samishen. Apalagi bagi
anak-anak dan remaja Jepang sekarang, alat-alat musik tradisional tersebut
mungkin tidak begitu dikenal. Yang memainkan alat-alat musik tersebut hanyalah
para kakek atau nenek atau saat pertunjukan seni seperti Enka. Yang populer
karena seperti alat musik Taiko saja itu karena sering dimainkan dalam sebuah
festival seperti Festival Obon dan Undoukai (festival olahraga). Rata-rata alat
musik tradisional tersebut dibuat dari tangan sehingga harganya sangat mahal. Anak-anak
diperkenalkan alat musik modern saja di sekolah seperti piano.”
Kemudian mereka
bertanya,”Apakah di Indonesia musik tradisional sangat dikenal di antara kaum
mudanya? Dalam bahasa Indonesia apakah ada tingkatan bahasa sopan seperti pada
bahasa Jepang?”
Saya dan teman-teman
saya bergantian menjawab. Ada juga sekolah yang mengajarkan alat musik
tradisional kepada siswanya seperti seni Karawitan yang mempelajari seluk beluk
musik gamelan Jawa. Bahasa Indonesia juga memiliki bahasa sopan tapi tak
serumit bahasa Jepang, yang lebih mendekati adalah bahasa Jawa yang memiliki
tingkatan bahasa mirip bahasa Jepang. Ditambah lagi bahasa Jawa memiliki huruf
sendiri yang disebut aksara jawa.
Mereka cukup terpukau
setelah mengetahui bahwa kebudayaan Indonesia khususnya Jawa juga memiliki ciri
khas unik seperti negaranya. Dari sini saya memiliki pemikiran mengenai pola
pendidikan budaya yang dapat diambil dari Jepang serta budaya Jawa yang
seharusnya tetap dilestarikan.
·
Setiap sekolah
di Indonesia sebaiknya menjadikan budaya tradisional sebagai salah satu mata
peajaran khusus dan wajib. Tidak hanya sekedar selingan saja. Di Jepang
pelajaran shodo atau seni menulis kaligrafi Jepang telah menjadi mata pelajaran
khusus bagi siswa sekolah dasar.
Dari
situ selain belajar huruf kanji, anak-anak Jepang juga bisa belajar salah satu
aliran seni yang telah berusia berabad-abad lamanya. Coba saja pelajaran bahasa
daerah seperti bahasa Jawa dibuat dalam satu mata pelajaran khusus yang tidak
hanya berhenti diajarkan di SMP saja, tapi juga bisa diajarkan hingga perguruan
tinggi, diadakan lomba menulis aksara jawa dan lain-lain mungkin huruf aksara Jawa
dan pembelajaran bahasa daerah akan tetap lestari bagi anak muda.
·
Di Jepang
sangat banyak dikenal festival-festival tradisional di setiap musim yang
memiliki ciri khasnya tersendiri dan tetap dilestarikan di tengah gempuran
modernisasi dari berbagai bidang. Seandainya tiap provinsi di Indonesia
menyelenggarakan acara budaya rutin khas daerah masing-masing yang bisa diikuti
oleh masyarakat setempat dengan penuh sukacita, tentunya budaya-budaya
tradisional itu akan tetap bernilai serta mampu menarik perhatian masyarakat
asing.
·
Kesenian, tradisi
dan bahasa daerah adalah salah satu elemen penting budaya yang wajib
dilestarikan. Jangan sampai kita seperti kaum muda Jepang yang sama sekali tak
pernah menyentuh alat musik tradisionalnya sendiri dan lebih mengenal alat
musik modern seperti piano dan biola. Indonesia sudah memiliki modal yang baik
dengan diajarkannya kesenian daerah di sekolah. Semoga hal positif tersebut
tetap bisa dilanjutkan dan dikembangkan lebih baik lagi.
Saya sendiri sebagai generasi muda
tidak terlalu menguasai bahasa Jawa dalam tingkatan sopan sehingga lebih sering
menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara dengan orang tua. Ya mungkin para
orang tua juga perlu mengajari buah hatinya dengan bahasa daerah yang baik
tidak hanya bahasa asing dan budaya asing.
4 komentar
sayangnya, di Gresik, pelajaran bahasa jawa malah hanya dapat jatah 2 jam pelajaran dan dianggap sebagai muatan lokal. dan kalau sudah dinamakan muatan lokal, maka perhatian sekolah tidak terlalu banyak ke arah sana.
padahal, dari pelajaran ini, kita akan tahu sekali tentang ragam bahasa jawa yang banyak itu, tulisan jawa, kesenian jawa. sayangnya itu seh. pemerintah sendiri malah yang membuat budaya kita terkikis dari pandangan anak-anak muda
benar juga mbak...agak miris juga melihat budaya daerah mulai terkikis. coba seandainya pelajaran daerah dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran UNAS, pasti akan lebih asyik krn bahasa daerah masing-masing dipelajari lebih intens hingga lulus SMA
Budaya lokal pelan-pelan mulai tergerus mbak. Mungkin karena bangsa kita memiliki beraneka-ragam budaya jadinya susah untuk membuat kebijakan yang seragam mengenai pendidikan budaya lokal. Atau malah, budaya asing dipandang sebagai budaya modern untuk melengserkan budaya lokal? Ah, jadi ingat perbedaan budaya lokal pun kerap memicu terjadinya konflik.
yaa,,seharusnya warga Indonesia lebih dulu memperkuat rasa persatuan dan nasiolismenya terlebih dahulu, setidaknya dengan penguatan pendidikan budaya di tiap daerah dengan pengawasan pemerintah pusat setidaknya menjadi sebuah oase untuk memperhatikan eksistensi budaya lokal yang sering hampir dicuri negara lain :)
Posting Komentar