Kali ini saya ingin
berbagi mengenai pengalaman singkat saya yang sungguh berkesan dan cukup
menantang. Kisah ini dimulai dari kegundahan saya yang sedang menginjak
semester akhir dan sedang mengerjakan skripsi di jurusan Sastra Jepang Universitas
Dr. Soetomo Surabaya. Pastinya bagi teman-teman yang sedang kuliah di semester
akhir atau bagi yang sudah lulus mengetahui betapa banyak biaya yang harus
dikeluarkan sampai dengan perayaan wisuda.
Keluarga saya
yang sederhana dengan satu-satunya tulang punggung keluarga yaitu Papa saya,
melewati hari-hari yang menegangkan demi menguliahkan saya. Melihat perjuangan
keras Papa, saya berusaha keras dalam belajar sehingga sering memperoleh
beasiswa baik dari kampus atau dari tempat Papa bekerja. Biaya yang harus
ditanggung oleh Papa cukuplah besar, selain harus menanggung biaya keluarga dan
pendidikan saya serta adik, Papa juga menanggung biaya makan serta uang kos
saya tiap bulan. Jelas sekali betapa kerasnya Papa berusaha membanting tulag
demi keluarga. Dengan nilai yang baik dan beasiswa yang saya terima, setidaknya
saya bisa meringankan sedikit beban Papa.
Kegundahan
datang saat saya dinyatakan dapat mengambil skripsi tahun ini. Setelah bertanta
dengan para senior yang sudah lulus, biaya yang harus dikeluarkan tidaklah
sedikit, itu di luar biaya SPP per bulan. Mulai dari biaya pendaftaran proposal
dan bimbingan, sidang hingga persyaratan wisuda membuat saya galau karena pasti
biaya ini akan menambah pengeluaran keluarga. Saya sangat paham jika biaya
kuliah saya menjadi pos pengeluaran terbesar dalam keluarga, namun syukurnya
saya memiliki orangtua yang suportif serta tidak pernah sekalipun mengeluh
sehingga semangat saya semakin terlecut untuk terus berprestasi.
Sempat terlintas
di pikiran untuk bekerja sambilan apa saja, tapi orang tua saya kurang setuju
karena tubuh saya yang bisa sangat drop bila diajak bekerja menguras fisik
terlalu berat. Papa dan Mama takut kalau prestasi belajar saya menurun akibat
kelelahan bekerja. Saya hanya bisa berdoa dan semakin tekun dalam mengerjakan
skripsi demi mendapatkan nilai yang baik dan agar Allah bisa memberikan jalan
agar saya bisa menjalani sisa waktu kuliah dengan penuh semangat.
Ada pengalaman
yang membuat saya merasa ‘Wah temenku
bisa kerja cari duit sendiri dengan kemampuan otaknya’ , sehigga saya hanya
bisa menatap kagum melihat para sahabat itu ada yang mengajar bahasa Indonesia
pada orang Jepang dan ada yang bekerja di tempat kursus bahasa Jepang. Hati kecil
saya ingin sekali bisa mendapatkan kesempatan mencari uang sendiri demi
membiayai skripsi dan wisuda sendiri.
Doa saya
didengar. Beberapa minggu kemudian saya sering menerima proyek menerjemahkan
naskah bahasa Jepang perusahaan dari dosen dan juga salah satu senior yang
sudah bekerja. Walau harus membagi waktu, otak dan tenaga antara skripsi dan
mengerjakan proyek tersebut, saya berusaha bekerja sebaik mungkin demi
mengumpulan pundi-pundi rupiah. Waktu tidur dan waktu jalan-jalan yang semakin
sedikit tak pernah membuat saya putus asa. Ketika perasaan lelah itu datang,
saya teringat lagi bagaimana kerja keras Papa dan usaha keras Mama dalam
mengontrol keuangan keluarga, membuat mata ini melek dan semangat itu datang
lagi.
Teman-teman kos
saya sampai bilang,”Reffi, kamu kaya pertapa aja, hidupnya di kamar melulu.” Yah
mau bagaimana lagi, karena menerjemahkah huruf kanji dan istilah-istilah mesin
yang rumit membuat saya harus berjuang ekstra keras. Dukungan dari keluarga
serta kekasih menambah amunisi energi semakin berlipat ganda. Hasilnya saya
bisa memiliki tabungan awal yang cukup serta bisa membiayai sendiri pengajuan
proposal skripsi dan bimbingan sebesar 400 ribu rupiah.
Kesempatan berikutnya
datang ketika ada tawaran bekerja sebagai tsuyaku atau interpreter bahasa Jepang
selama seminggu dari salah satu teman saya di kampus. Honor yang diberikan cukup besar, sekitar 500 ribu
sehari tapi dipotong 100 ribu untuk komisi teman saya. Membayangkan 400 ribu
sehari yang bisa saya kumpulkan selama seminggu membuat saya segera menyetujui
tawaran tersebut.
Saya dikontrak
oleh Suzuki untuk mendampingi dua orang Jepang yang bernama pembalap Okada dan
mekaniknya Mike. Perasaan ini campur aduk, karena selain ini pengalaman
pertama, saya juga baru gagal lulus ujian kemampuan bahasa Jepang
(Noryokushuken) Level 2. Selama ini ada anggapan, bila ingin menjadi penerjemah
yang baik minimal harus lulun N2, sementara saya baru mengantongi sertifikat
level 3 atau N3.
Saya berusaha
menyisihkan perasaan ragu dan penuh percaya diri menjalankan pekerjaan. Awal perkenalan
dengan Mike dan Okada, saya mendapatkan respon positif karena dianggap memiliki
aura semangat yang baik. Esoknya saya bekerja dari pukul 8 pagi hingga 7 malam,
dan kebanyakan berada di lapangan, entah itu di hotel tempat para mekanik
bekerja atau di sirkuit balap motor. Even yang diikuti oleh tim Suzuki ini
adalah even Kejurnas KYT Granprix yang diikuti pembalap motor profesional kelas
125 dan 250 cc.
Saya harus
menerjemahkan maksud dari Mike si kepala mekanik kepada tim mekanik lokal. Untungnya
istilah-istilah asing dalam mesin motor dijelaskan dengan sabar dan telaten
oleh Mike. Saya berusaha fokus dan bersikap positif. Okada yang sama sekali tak
bisa berbahasa Inggris juga membutuhkan saya dalam mengkomunikasikan maksudnya
mengenai kondisi motor yang dikendarainya. Wah bisa dibayangkan betapa susahnya
saya memahami mesin dan fungsi baut-baut kecil yang ternyata berpengaruh
terhadap kinerja motor balap.
Cuaca panas lalu
tiba-tiba hujan dan lingkungan kerja yang dipenuhi asap rokok juga berusaha
saya adaptasi agar jangan sampai kondisi badan saya drop sebelum pekerjaan
selesai. Apalagi yang lebih lucu lagi, selama persiapan di sirkuit saya menjadi
satu-satunya the one and only woman. Yah, kadang harus mesti tutup kuping dan
berusaha cuek terhadap siulan-siulan usil tim lain.
Akhirnya saya
bisa melalui hari-hari kerja yang berat namun menyenangkan itu. Mike dan Okada
juga sangat puas dengan hasil kerja saya. Mereka menganggap saya memiliki
effort dan kemauan belajar yang bai serta kemampuan berbicara aktif cukup baik.
Mekanik lokal sangat ramah dengan saya, mereka senang bisa bekerjasama dengan
Mike dan Okada tanpa kendala serius. Dan saya mendapatkan honor yang saya
idam-idamkan. Alhamdulillah cita-cita kecil untuk membiayai skripsi bisa
terwujud. Memang kerja keras harus saya lalui, tapi hasil manis ini melecut
semangat saya untuk terus berdoa dan bekerja keras demi mencapai mimpi yang
lain. Jalan saya masih baru saja dimulai. ^_^
Tidak ada komentar
Posting Komentar