Musim Semi Mei



            Mei melihat sertifikat pengumuman yang berada di genggamannya dengan tatapan tak terbaca. Seolah masih tak bisa percaya, berulang kali Mei membaca perlahan satu demi satu huruf yang menghiasi sertifikat itu. Siang tadi setelah perkuliahan selesai, Mei dipanggil Rully-sensei dan diberitahukan mengenai kabar yang membahagiakan. Mei dinyatakan lulus seleksi beasiswa Monbukagakusho, yaitu program beasiswa selama satu tahun di Jepang yang diadakan oleh pemerintah Jepang, dan awal bulan April tahun ini dia akan berangkat ke Jepang serta menimba ilmu di sana. Segera setelah menerima kabar itu dan sertifikat kelulusannya diberikan, Mei menelpon rumah, sontak seisi rumah yang waktu itu kebetulan hanya ada kak Lili dan mama, dibuat begitu terkejut mendengar kabar bahagia dari Mei.
            “Beneran ini Mei? Sebentar lagi kamu jadi berangkat ke Jepang?” suara kak Lili yang serak-serak basah, semakin terdengar serak di telinga Mei karena ia begitu antusias mendengar kabar dari adiknya ini.
            Belum sempat Mei menjawab, gagang telepon rumah direbut oleh mama, kontan saja ada ribut-ribut kecil di sana yang membuat Mei menahan geli,” Aduuh Mei, alhamdulillah yaa, akhirnya kamu bisa lulus tahun ini, kalau papa tahu berita ini pasti papa bangga. Eh,eh iya eyang Sari harus diberitahu juga, om Hilman, tante Wati...”
            “Ya ampun maa, masa kaya gini aja harus disebarin ke seluruh keluarga besar kita. Kabari eyang aja udah cukup kok, nanti pasti eyang dengan antusias memberitahu om dan tante, hihihi!” Mei terkikik geli.
            “Ya harus dong Mei, kita harus bikin syukuran dan mengundang seluruh keluarga besar. Teman-teman dekat kamu juga harus diundang, hitung-hitung ini sebagai bentuk rasa syukur kita.” saran Mama dengan lembut.
            “Emm, ya udah deh, terserah mama aja, makasih udah mau repot-repot bikin acara buat Mei. Ma, Mei tutup dulu teleponnya ya, udah waktunya Mei pulang ke kos nih. Sampai ketemu besok lusa, daah mama” ujar Mei lalu mengakhiri telepon.
            Sesampainya di kos, Mei segera menuju kamar tercintanya. Dari laci meja belajar, diambil sebuah potret yang kelihatannya agak usang. Di potret itu tampak Mei yang masih berseragam SMU dengan rambut tergerai sepinggang, tertawa lepas bersama seorang remaja laki-laki berpakaian sama. Mereka saling bergandengan tangan dengan tawa lebar dan hampir seluruh seragam putih abu-abu mereka tertupi coretan spidol warna-warni. Itu adalah potret yang diambil setelah pengumuman kelulusan Mei dua tahun yang lalu
            “ Lan, aku akan segera menyusulmu ke Jepang. Kalau kamu tahu mengenai hal ini, apakah kamu akan senang? Atau apakah kamu akan mengacuhkanku begitu saja?”gumam Mei dalam hati. Sekejap mata Mei seolah berkabut menahan embun yang akan jatuh dari manik mata mungilnya. Hati Mei seolah ingin meledak gembira karena cita-citanya untuk mendapatkan beasiswa ke Jepang telah tercapai, tapi di sudut hatinya yang lain Mei merasa rikuh dan takut kalau ia sampai bertemu dengan Alan kembali.
            Alan dan Mei tidak pernah menjadi sepasang kekasih. Namun kebersamaan mereka sejak kelas satu SMU juga tidak bisa dikatakan sebagai sahabat biasa. Tanpa kata-kata cinta dan saling mengucap rindu, Alan dan Mei tanpa sadar sudah sama-sama memutuskan untuk tidak mengungkapkan perasaan masing-masing. Tanpa komando dari siapapun, Alan dan Mei juga tidak pernah berpacaran dengan orang lain.
            “Mei, emangnya kamu nggak nyesel, udah nolak si Arga kemaren? Bukannya si Arga itu populer, keren dan cakep?”tanya Alan suatu hari, saat itu mereka masih duduk di kelas dua SMU, dan Mei baru saja menolak pernyataan cinta Arga, teman sekelas Mei saat itu.
            Mei menggeleng yakin,”Nggak kok, aku nggak nyesel. Aku emang belum ada niatan pacaran waktu masih sekolah.”
            Entah apa yang dipikirkan Alan saat itu. Tapi Mei sangat yakin, setelah mendengar jawaban Mei mengenai Arga, wajah Alan berubah menjadi sangat cerah, dan senyumnya yang dikulum justru membuat jantung Mei berdegup semakin kencang. Kadangkala Mei setengah berharap Alan akan menyatakan perasaannya dan mereka memiliki hubungan lebih dari sekedar sahabat dekat. Tapi mungkin Alan bukan tipe remaja yang mementingkan hubungan percintaan, Alan terlalu sibuk dengan kegiatannya di klub penelitian hingga dia seringkali menjuarai lomba karya ilmiah remaja. Alan yang sebenarnya berwajah tampan dan tidak kalah keren dengan Arga lebih senang menenggelamkan diri di tengah buku-buku sains favoritnya.
            “Tahu nggak Mei, nanti kalau aku udah lulus sekolah, aku pengen dapet beasiswa S1 ke Jepang.”ujar Alan antusias suatu siang saat ia belajar bersama di perpustakaan dengan Mei.
            “Kenapa harus ke Jepang? Di Indonesia kan banyak kampus yang bermutu dan bagus?”Mei agak terkejut mendengar ucapan Alan. Jujur saja hati kecilnya tidak rela kalau Alan sampai harus ke Jepang.
            “Teknologi Jepang sudah sangat maju Mei, di sana aku bisa belajar lebih banyak lagi tentang sains dan teknologi lainnya. Oya, kemarin aku baru searching di internet, saat aku cari informasi soal beasiswa ke Jepang, di sana juga ada informasi soal musim-musim di Jepang. Aku pengen bisa menunjukkan keindahan musim seminya ke kamu walau cuma lewat foto.”tak seperti biasanya, kali ini Alan berbicara dengan suara yang lebih lembut dan tatapannya seolah berusaha menerobos benak Mei.
            Dipandangi seperti itu kontan saja Mei langsung merasa gugup,”Eh,kenapa kamu pengen nunjukin musim semi di sana?”
            “Soalnya kamu lahir di bulan Mei, di bulan itu kan di Jepang udah musim semi. Musim dengan harapan baru setelah musim dingin yang beku telah lewat, cuacanya juga hangat, cocok banget kaya kamu.”Alan menjawab sambil mengalihkan pandangannya ke arah rak buku di belakang Mei.
            Kenangan bersama Alan siang itu selalu menggetarkan hati Mei. Hingga akhirnya Alan mendapatkan beasiswa S1 ke Jepang dan menjadi mahasiswa di sebuah universitas di Kyoto, kata-kata cinta tak pernah terucap di bibir Alan. Mei tak bisa melupakan Alan, karena janji yang Alan ucapkan sebelum ia berangkat ke Jepang.
            “Tunggu kepulanganku, Mei. Aku akan datang kembali membawa musim semi buat kamu.”ucap Alan singkat dan membuat Mei bertanya-tanya saat itu.
            Bulan April 2010, Alan berangkat ke Jepang. Dan di bulan Mei di tahun itu seperti janjinya, Alan mengirimkan foto-foto suasana serta perayaan musim semi di Jepang. Tapi di tahun berikutnya semua email dari Alan berhenti. Seluruh email yang dikirimkan Mei tak ada satupun yang dibalas. Mei kehilangan satu-satunya media komunikasi dengan Alan, karena Alan tak pernah mau untuk membuat akun jejaring sosial apapun. Yang membuat Mei lebih kalut lagi, Mei tidak pernah mengenal dekat keluarga Alan. Pada tahun yang sama saat semua kabar dari Alan berhenti, Mei mendapat kabar kalau keluarga Alan telah pindah ke luar negeri entah di mana. Harapan Mei seketika pupus, pikiran Mei berusaha menutup semua kenangan tentang Alan, tapi terkadang hati memang tak bisa dipaksa untuk mengikuti pikiran, harapan Mei dan musim seminya yang dijanjikan oleh Alan tetap ia simpan hingga sekarang.
***
            April di tahun 2012, Mei telah berangkat meninggalkan tanah air tercinta untuk menimba di Jepang selama setahun. Kebetulan buat Mei, dari dua universitas yang ia ajukan, ternyata Mei diterima untuk memperdalam bahasa serta mempelajari budaya Jepang di Universitas Ritsumeikan yang juga terdapat di Kyoto. Alan sendiri bercerita kalau ia belajar di Universitas Kyoto, salah satu perguruan tinggi prestisius di Jepang. Walau tidak satu universitas, tapi harapan Mei semakin membuncah karena kini ia dan Alan akan kembali berada di satu kota. Pemandangan bandara internasional Kansai sudah terlihat dari kaca pesawat. Sungguh pemandangan  luar biasa bagi Mei yang baru pertama kali bepergian ke luar negeri, apalagi sekarang ia akan tinggal selama setahun penuh di negeri asing.
            Bandara internasional Kansai dibangun di atas lahan reklamasi pantai. Pemandangan lautnya yang biru jernih dengan deretan bunga sakura di kejauhan membawa romantika tersendiri pada diri Mei. Di bandara, Mei mencari-cari tulisan namanya karena sebelumnya dia diberitahu kalau yang akan menjemput Mei adalah mahasiswa Ritsumeikan juga. Tak lama berselang, Mei menemukan apa yang dicarinya, seorang lelaki tinggi yang sepertinya juga orang Jepang membawa papan nama yang bertuliskan Youkoso, Meilani Fitria! yang artinya ‘selamat datang, Melani Fitria!’
            Sambil membungkukkan badan, Mei memperkenalkan dirinya,”Konnichiwa, hajimemashite, watashi wa Meilani desu. (Selamat siang, perkenalkan nama saya Meilani.)”
            “Hai, Keita desu.” penjemput Mei memperkenalkan diri sebagai Keita. Setelah bercakap-cakap singkat, Keita mengantarkan Mei ke asrama Ritsumeikan, dan selama Mei belajar di sana Keita bertanggung jawab untuk membantu Mei beradaptasi dengan kehidupan masyarakat Jepang. ‘Wah untung si Keita ramah juga, aku pasti bisa cepat beradaptasi di sini’ batin Mei merasa lega.
***
            Sudah hampir seminggu Mei tinggal di asrama dan belajar di universitas Ritsumeikan. Tapi Mei mulai merasa bosan, karena sebenarnya ia ingin sekali bisa melakukan hanami dan menikmati mekarnya bunga sakura di Kyoto. Di Jepang, peristiwa mekarnya bunga sakura hampir tiap hari ditayangkan di televisi karena waktu mekarnya di tiap daerah tidak bersamaan dan bunga sakura hanya mekar selama setahun sekali selama musim semi, kemudian bunga unik merah muda itu akan kembali menggugurkan diri. Mei juga belum akrab dengan kawan-kawan satu asrama, praktis ia hanya sering berkomunikasi dengan Keita saja. Saat sedang melamun bosan tiba-tiba ponsel Mei bergetar.
            “Moshi-moshi (halo) Keita-kun!”Mei menjawab telepon dari Keita dengan nada jemu.
            “Moshi-moshi, Mei-chan, maaf ganggu, hari ini kamu ada waktu senggang?”Keita dan Mei sudah sangat akrab sehingga mereka saling memanggil dengan panggilan kun dan chan.
            “Aku lagi senggang, memangnya ada apa Keita-kun?”
            “Kamu ingin melihat bunga sakura tidak? Kebetulan aku, Billy-kun, dan Kyoko-chan ingin melakukan hanami bersama-sama.”jelas Keita singkat.
            Tentu saja Mei sama sekali tidak menolak ajakan Keita, setelah menentukan tempat bertemu, Mei merasa riang sekali karena akhirnya ia bisa melihat sendiri indahnya sakura dan musim semi seperti yang dikatakan Alan dulu. Alan, aku datang di sini untuk melihat musim semimu, apakah nanti kita bisa bertemu?Mei bergumam menahan haru.
            Sepanjang perjalanan menuju Maruyama Park, Mei benar-benar menikmati indahnya musim semi dari dalam bus yang ia tumpangi. Pohon-pohon sakura bermekaran indah mempesona pandangan Mei. Sungai Kamagawa yang terletak di dekat jalan raya, dipagari pohon-pohon sakura indah menyejukkan mata. Jalanan agak sedikit macet, karena di hari Minggu yang cerah ini tentu saja banyak pasangan, sekelompok teman, atau keluarga yang menikmati hanami bersama-sama.
            “Mei-chan, kita sudah sampai di Maruyama Park, ayo turun,”Keita menepuk pelan pundak Mei.
            Mei turun dari bus kota dengan kawan lainnya. Billy dan Kyoko adalah teman satu angkatan dengan Keita yang sekarang sudah menginjak semester akhir. Keita berjalan mendahului untuk mencari lokasi yang tepat agar mereka bisa menikmati hanami dengan nyaman. Aroma segar musim semi dan suhu udara yang sejuk membuat Mei merasa seolah sedang berada di dunia lain. Sungguh berbeda sekali saat dia masih di Jakarta, tak terbayang rasanya dirinya bisa merasakan cuaca sesegar dan pemandangan seindah ini. Dimana-mana, terlihat pengunjung Maruyama Park sudah menggelar tikar atau karpet sambil membawa keranjang piknik untuk menikmati hanami bersama-sama. Tawa riang dan celotehan akrab terdengar menyenangkan di udara.
            Rupanya Keita sudah menemukan lokasi yang agak jauh di sudut taman. Dengan komando Keita, Mei, Billy dan Kyoko agak mempercepat jalannya agar tempat itu tidak didahului orang lain. Deg, dalam satu kali pandangan langkah Mei terhenti. Dari sudut taman yang lain, Mei yakin kalau baru saja ada orang yang ia rindukan selama ini, sedang menatap lurus ke arah Mei. Wajah yang sama, tubuh yang sama, dan yang membuat penampilan Alan sedikit berbeda hanyalah rambut jatuhnya yang ia biarkan sedikit panjang melewati telinga. Mei mengucek-kucek matanya merasa tidak percaya, Mei yakin sosok laki-laki berpakaian sweater abu-abu gelap tadi adalah Alan yang selama ini ia kenal. Tak berapa lama kemudian laki-laki itu pergi ke arah lain, di sisinya ada seorang gadis Jepang berwajah cantik menggandeng tangannya.
            “Mei-chan, kenapa kamu malah melamun di sini? Yang lain sudah menunggu, kami takut kamu tersesat tadi.”Keita menghampiri Mei dengan raut wajah khawatir.
            “Gomenne (maaf) Keita-kun, tiba-tiba saja sepertinya tadi aku melihat kawan lama yang kukenal di sini, tapi mungkin aku hanya salah lihat, sekali lagi maaf. Ayo kita ke tempat Billy-kun dan Kyoko-chan.”Mei membungkuk meminta maaf.
            “Teman? Memangnya Mei-chan punya teman di Jepang?”tanya Keita.
            “Yah, hanya teman sekelas, dulu dia mendapat beasiswa selama empat tahun di Jepang. Tapi mungkin aku salah lihat, karena sepertinya dia tidak mengenalku. Sudahlah, hal ini tidak terlalu penting juga kok.”Mei berusaha mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya Mei berusaha menutupi getir dalam hatinya. Itu tadi sungguh memang Alan, tatapan Alan tadi memang benar-benar tertuju padanya. Tapi Alan hanya berdiri diam di tempatnya tanpa memanggil Mei. Lalu siapa gadis yang menggandeng tangan Alan tadi? ‘Alan ternyata kamu sudah berubah, mungkin sekarang sudah saatnya aku mengubah perasaanku’, Mei bertekad sambil berusaha tidak menangis di hadapan Keita dan yang lainnya.
            Mei berusaha keras tidak menunjukkan perubahan emosi di depan teman-temannya. Saat melakukan hanami atau melihat mekarnya bunga, dari siang hingga sore hari masyarakat Jepang akan berkumpul bersama orang-orang terdekat serta makan dari bekal yang mereka bawa. Mei bahkan melihat ada satu keluarga Jepang yang melakukan sesi karaoke bersama di bawah mekarnya pohon sakura. Hanami adalah momen yang penuh dengan kegembiraan dan ditunggu hampir semua orang, terlebih juga Mei yang baru kali ini bisa ikut melakukan hanami. Namun sekarang, bukannya larut dalam kegembiraan, Mei harus menelan kekecewaan bahwa Alan telah mengacuhkan dirinya serta berlaku tidak mengenal Mei. Ini bukan mesim semi yang aku harapkan, Alan.
***
            Para penerima beasiswa Monbukagakusho tidak hanya belajar budaya dan bahasa saat berada di Jepang, di sela waktu belajar mereka juga diajak melakukan kengaku atau study tour ke berbagai obyek wisata di Jepang. Mei merasa beruntung karena untuk kengaku pertamanya, ia dan teman-teman penerima beasiswa lainnya akan mengunjungi Kuil Kinkakuji yang terkenal di Kyoto. Peristiwa pertemuannya dengan Alan di Maruyama Park,sudah berusaha ia hapus dari memorinya walau memang sangat sulit untuk melupakannya.
            Setibanya di Kuil Kinkakuji, Mei berkeliling melihat-lihat spot menarik untuk ia potret. Pesona kuil yang hampir semua bangunannya terbuat dari emas serta lokasi bangunan kuil yang dikelilingi kolam jernih serta taman teduh. Jalan menuju kuil yang dibuat memutar, membuat Mei bisa menikmati teduhnya pepohonan yang juga memunculkan bunga-bunga musim semi. Ketika sedang asyik memotret keindahan bunga momiji, seseorang menepuk bahu Mei halus. Begitu berbalik Mei sangat terkejut, Alan ternyata sedang berdiri di belakangnya.
            “Siapa kamu? Apa aku kenal kamu? Kenapa aku ketemu kamu lagi?”Alan menghujani Mei dengan berondongan pertanyaan yang membuat Mei mengernyit heran.
            “Lan, kamu kenapa? Nama kamu Alan Satria Kelana kan? Aku Mei, kalo kamu nggak kenal aku, kenapa tadi kamu menepuk bahuku?”
            “Nggak tahu, sejak aku melihatmu di Maruyama Park, sepertinya aku nggak bisa ngelupain kamu. Sepertinya aku udah kenal kamu lama. Sekarang saat bisa ketemu lagi, aku ingin tahu siapa kamu”tukas Alan
            “Hah, kamu kenapa Alan? Jadi kamu nggak inget aku? Kamu kenapa?”
            “Mungkin karena bencana itu.. tapi sekeras apapun aku berusaha. Aku nggak bisa ingat.”Alan semakin meracau tidak jelas.
            Mei lalu mengajak Alan duduk di sebuah bangku taman. Pelan-pelan ia menjelaskan tentang dirinya dan sekolah mereka di Surabaya. Mei menunjukkan foto kelulusannya dengan Alan, namun Alan hanya menatap sosok dirinya di foto itu seolah orang asing yang tak ia kenal.
            “Tahun lalu, saat aku sadar aku sudah berada di sebuah rumah sakit. Aku sempat kebingungan karena aku lupa aku berada di mana. Aku hanya ingat namaku dan nama orang tuaku. Kamu tahu soal bencana tsunami dahsyat setahun yang lalu? Kata pihak rumah sakit aku ditemukan di daerah pinggiran pantai wilayah Sendai dengan beberapa korban selamat lain, mungkin trauma di kepalaku membuat aku mengalami amnesia parsial.”
            Jelas sudah bagi Mei, kenapa email dari Alan tiba-tiba berhenti. Saat gempa dan tsunami dahsyat terjadi, Mei telah mengirimkan email untuk menanyakan keadaan Alan tapi tak pernah ada balasan. Mei tak menyangka, walau wilayah Kyoto tidak mengalami dampak bencana yang serius, ternyata Alan sedang bepergian ke daerah Sendai yang rusak parah akibat bencana.
            “Kamu pasti bisa ingat aku Lan. Kita kan teman dekat di sekolah. Oh ya waktu di Maruyama Park aku melihatmu dengan seorang gadis Jepang yang sangat cantik, omong-omong siapa dia?”tanya Mei penasaran
            “Namanya Tomoko, dia kawanku satu kampus. Dia juga yang menghubungi keluargaku di Indonesia, sehingga orang tuaku memutuskan untuk pindah ke Jepang untuk merawatku. Semua urusan bisnis ayahku diwakilkan sementara pada pamanku yang beliau percaya.”
            “Berarti dia yang selama ini membantu kamu di sini?”
            “Iya, kami sudah seperti saudara. Tapi anehnya, apa aku juga sedekat itu dengan kamu Mei? Tiap kali aku melihatmu. Entah kenapa aku...”Alan tak melanjutkan perkataannya. ‘Aku merasa berdebar Mei, denyar aneh di jantungku ini membuatku merasa kita dulu lebih dari sekedar teman, siapa kamu sebenarnya?’ Alan bertanya dalam hati.
            “Kamu kenapa? Apa kamu ingat sesuatu? Tenang saja Alan, perlahan kamu pasti akan ingat siapa aku dan janjimu padaku.”senyum Mei mekar seiring tumbuhnya harapan baru di hatinya
            “Janji apa Mei?”tanya Alan.
            Mei tidak langsung menjawab, ia mencermati wajah keheranan Alan dengan seksama,”Tanyakan pada musim semi dan hati kamu Lan, mereka yang akan memberi jawabannya ke kamu.”
            Alan tertegun mendengar jawaban Mei yang penuh teka-teki itu. Dilihatnya kelopak bunga momiji yang gugur tertiup angin, jatuh di rambut Mei yang dibiarkan tergerai. Aroma musim semi mengingatkan dia akan satu perkataan, sepertinya perkataan itu adalah janji yang ia ucapkan pada seseorang dulu . Janji untuk membawakan musim semi pada orang itu. Tapi bayangan orang itu masih samar dan sepertinya perasaannya ini sudah tidak asing lagi baginya.

Tidak ada komentar