Aishiteru, Mama!




Tahukah engkau, Mama? Mama adalah wanita dengan kepribadian paling menarik dan berkharisma yang pernah kukenal. Suaramu yang lantang dan kedisiplinan yang kau ajarkan, membuatku belajar tangguh menghadapi berbagai masalah. Sewaktu kecil, aku sering merasa jika Mama tidak menyayangiku, karena Mama sangat galak padaku. Tiap pagi aku wajib sarapan, siang hari wajib tidur siang, dan Mama tak pernah bosan menemaniku belajar.
Mama mengajariku mengeja huruf demi huruf dan belajar mengeja. Tak jarang Mama memarahiku ketika aku berbuat bandel dan dengan suara sangat keras tentunya. Namun Mama sangat sabar menghadapi kebandelanku yang kadang suka berkelahi dan keakalan-kenakalan lain akibat sikapku yang cenderung tomboi.
Tahukah engkau, Mama? Apa yang membuatku semangat belajar dan berusaha mendapatkan prestasi? Ada satu cerita yang takkan pernah kulupa. Sejak kecil, aku sangat bersemangat berusaha menjadi nomor satu di kelas, tetapi suatu hari aku gagal meraih juara di sebuah lomba cerdas cermat sekolah dasar tingkat kabupaten. Aku menangis seharian dan tidak mau keluar kamar. Waktu itu aku kalah di bidang matematika, aku sangat menyesali kekalahanku dan masih tidak bisa ikhlas karenanya.
Ternyata Mama rela bersepeda menerobos hujan deras untuk mencarikan seorang guru privat untukku. Esoknya aku belajar matematika dengan bersemangat karena guru privat yang dikenal Mama adalah guru yang sangat berkompeten.
“Kalah itu wajar, nduk. Tapi bukan berarti kamu nggak mau makan begitu. Kalau badan kamu sakit, bagaimana bisa kamu belajar dan meraih prestasi lagi?” katamu waktu itu.
Mama selalu mengajarkan untuk selalu bersikap penuh syukur di tengah keterbatasan. Mama selalu menjadi orang yang bangun paling awal agar sarapan pagi bisa tersaji sebelum semua anggota keluarga beraktivitas. Tak jarang tubuh Mama kelelahan dan sakit jika pekerjaan rumah terlalu banyak. Mama mengajarkan bagaimana memiliki rasa tanggung jawab yang baik, sikap cekatan, rajin dan percaya diri.
Mama juga yang membesarkan hatiku sewaktu kecil saat aku terlena menikmati parade kecantikan para Puteri Indonesia. Aku berkata,”Aku ingin menjadi Puteri Indonesia, tapi wajahku nggak cantik ya, Ma.”
“Kecantikan fisik bisa dipoles, tapi yang paling penting adalah kecerdasan dan perilaku baik, nduk,” ujar Mama tenang.

Mama jugalah yang dengan bangga mengatakan,”Sekarang Reffi sudah jadi penulis lho,” pada tetangga sekitar. Terima kasih Mama. Aku akan terus belajar menjadi wanita dengan hati cantik dan cerdas seperti yang kau miliki sekarang. Aishiteru, Mama!

Tidak ada komentar