Kenangan Hujan

Ini bukan sebuh sajak. Cerita pendekpun bukan. Hanya saja ketika aku sedang duduk menekuni beranda imajinasiku untuk segera kutuang dalam coretan kata, tiba-tiba saja ada bayanganmu menyusup. Menyusup tanpa izin. Yah, dari awalpun sudah demikian parah kebebasan yang kau rasakan. Bebas untuk merantai hatiku dengan candu rindu.

Hujan malam ini mengingatkanku padamu. Pertemuan-pertemuan yang ditemani rinai gerimis. Hadirnya kehangatan melalui genggaman- masih di tengah orkestra hujan. Kita mungkin aneh. Banyak orang tidak menyukai hujan karena tanah banjir, tubuh basah atau hawa dingin menusuk pori-pori kulit tetapi kita berdua menyukainya. Hujan hanyalah air, katamu. Dan bagiku, hujan adalah pertanda kehadiranmu.

Masih tentang hujan malam ini. Buluh perindu yang sekian mencekik. Menuntut disembuhkannya dahaga untuk berjumpa dengan kekasih. Dalam asa dan mimpi yang memerah. Debar berkelanjutan. Saling menyapa dalam kata dan udara.

Uap air serupa pertemuan kita. Bentukan awan mendung, serupa perjalanan kita. Deras hujan sebagaimana hati kita. Pelangi sebentuk kegemaran kita. Kita saling memuja, justru di kala waktu tidak hanya sedang cerah.

Maka kutegaskan. Hujan adalah lukisan. Lukisan penyejuk kemarau resah, galau atau bimbang. Di tiap aku berdiri sendiri dan melihat hujan, aku akan terkenang. Telah kuberikan pasrah kenangan penuh magisnya daya. Hati kita tertaut saling memesona

1 komentar

Titis Ayuningsih mengatakan...

Kenapa yah hujan itu selalu identik dengan kenangan ya? hehe