Mimpi Yang Berawal Dari Selembar Kertas Bufalo

Mimpi membuat saya hidup. Itulah yang selalu saya benamkan dalam diri, agar mimpi yang saya miliki baranya tetap terjaga. Kebetulan sekali sejak kecil saya memang seorang pemimpi. Saya suka mengkhayal, tiap kali puas menonton sebuah film bagus saya akan membayangkan adegan-adegan menarik dalam film di kepala saya. 

Papa saya adalah seorang penggemar film, sehingga dulu seringkali saya dibelikan kaset laserdisc kartun Disney. Saya akan duduk tenang dan menbayangkan diri menjadi sang Puteri cantik sedang melawan kejahatan- khayalan khas anak kecil.

Keberuntungan kedua adalah saya memiliki seorang Mama yang sangat disiplin dan berdedikasi kuat. Sejak usia taman kanak-kanak, saya diajari mengeja sampai lancar membaca koran dan majalah anak sebelum masuk sekolah dasar. Proses menulis saya terjadi karena sebuah rasa frustasi anak kecil, bagaimana bisa? 

Didikan Mama yang sangat disiplin terkadang tidak bisa diterima dengan baik oleh diri saya yang masih kecil. Untuk melampiaskan emosi, saya membuat cerita yang berkisah tentang soerang anak yang kesal pada ibunya. Mama saya membaca dan mengerti, dari situlah komunikasi kami bisa berjalan lebih baik.

Hal tersebut terus berlanjut. Saya jatuh cinta dengan buku, majalah serta koran. Saya memerhatikan certa-cerita yang ditulis di majalah Bobo. Tulisan-tulisan sayapun terserak di lembaran buku tulis kosong. Lalu muncullah sebuah ide yang saya rasa adalah karir pertama dalam  menjual buku, saya menjual buku tulisan sendiri yang dijilid dengan kertas bufalo. Iseng-iseng saja, saya membagi kertas bufalo menjadi dua bagian persegi panjang, begitu juga dengan lembaran buku tulis yang saya bagi menjadi beberapa halaman. 

Saya satukan kertas bergaris dan kertas bufalo sebagai cover, kemudian saya staples di bagian tengah menyerupai buku. Saya menulis berbagai cerita di sana, dan mengkhayal suatu hari nanti saya akan memiliki buku sendiri. Tak disangka, kawan-kawan saya di sekolah dasar menyukainya. Merekapun memesan cerita plus judulnya, lalu tinggal saya tulis sesuai tema. Lumayan saya menjual 500 sampai 1000 rupiah waktu itu, sebuah kebetulan yang mengesankan.

Saya terus menulis, kendati begitu saya masih takut mempublikasikan. Rasa takut itu muncul karena malu jika karya saya kurang layak untuk dibaca orang umum. Munculnya jejaring sosial facebook dengan aplikasi note, membuat hasrat menulis mempunyai wadah. Komentar dari teman-teman mulai menambah rasa percaya diri. 

Setelah masuk di perguruan tinggi, semangat menulis masih hangat-hangat tahi ayam, alias kadang naik kadang turun. Namun atas saran seseorang yang sedang dekat dengan saya, karya-karya lain saya publikasikan di jendelasastra.com dengan nama akun Reffi Dhinar Seftianti. Luar biasa, salah satu cerpen yang berjudul “Pulang”, menembus seribu lebih pembaca, mendapat apresiasi positif dan sempat menghiasi headline situs jendelasastra.com bersama karya penulis senior di pertengahan tahun 2012.

Tahun 2013 adalah tahun kebangkitan, I called it as a breakthrough year. Keisengan saya mengirimkan beberapa puisi bertema Surabaya di sebuah event antologi puisi Forum Aktif Menulis, membuahkan satu karya antologi bersama saya, akhirnya untuk pertama kali tulisan saya tercetak dalam buku. Wah, setelah tahu puisi saya lolos, air mata haru mengalir. Ini benar, air mata yang tak henti-hentinya mengalir telah mencairkan kegamangan saya; saya tahu mimpi saya. 

Berikutnya, bak air bah yang meluap, saya bersemangat mengikuti berbagai seleksi antologi dan mengikuti beragam workshop menulis baik online dan offline. Alhamdulillah, sudah ada beberapa karya antologi yang lolos seleksi dari ratusan penulis lainnya dan diterbitkan menjadi buku di beberapa penerbit. 

antologi puisi pertama

Semangat itu tidak bisa dibendung lagi, saya berhasrat untuk memiliki buku tunggal. Mungkin Tuhan mendengar doa saya atau mimpi itu berfungsi sebagai magnet kesempatan- penerbit AGPublisher mengadakan sayembara nasional menulis buku berhadiah kontrak penerbitan. Waktu yang diberikan hanyalah satu bulan. Padahal ketika itu, saya harus menyelesaikan skripsi dan mengerjakan pengiriman artikel di sebuah agensi naskah. 


Pekerjaan sebagai penulis artikel lepas saya ambil untuk membantu pembiayaan skripsi. Alhasil, jam tidurpun berkurang. Saya harus bersahabat dengan deadline artikel, menekuni skripsi dan mencapai target menulis penyelesaian buku. Menjadi pertapa di kamar kospun saya jalani. Stres dan lelah tentunya, namun bayangan memiliki buku sendiri lebih menguasai otak dan mimpi saya.

Empat hari sebelum deadline, naskah novel “Triangle’s Destiny” rampung. Saya mengirimkan hardcopy ke penerbit dengan harapan kiriman tersebut sampai tepat waktu. Saya sadar, saingan saya pasti sangat berat mengingat ini adalah pertama kalinya saya menulis novel. Sebulan berikutnya adalah masa penantian yang paling menyiksa. Saya takut jika karya saya tersisihkan, mengingat usaha pontang-panting hingga penyakit maag sering kambuh akibat stres, harus saya jalani.

And the miracle comes. “Triangle’s Destiny” lolos menjadi karya sepuluh besar terbaik. Sayangnya saya tidak menyabet juara utama sehingga novel tersebut tidak diterbitkan di toko buku nasional. Tetapi penerbit memberi hadiah istimewa untuk delapan karya lainnya, yaitu kontrak penerbitan gratis secara indie dan dijual secara online. Itu artinya naskah saya akan segera menjadi buku, horeee :D.

antologi cerpen terbaru dengan FAM Publishing
Karya-karya antologi dan novel “Triangle’s Destiny” telah membuka mata saya; my passion is writing. Dewi Lestari, salah satu penulis favorit saya, juga menghasilkan karya laris perdananya melalui penerbitan indie; Supernova seri pertama mengalami cetak ulang sampai 5000 eksemplar lebih. Jadi berikutnya adalah semangat berpromosi dan mengusahakan penjualan buku saya.

 Masih ada target mimpi berikutnya. Pada titik ini saya merenung, ternyata mimpi sederhana dari buku mini kertas bufalo itu adalah titian awal saya. Jika mimpi dipadukan semangat keras dan dukungan positif dari orang-orang terdekat, hasilnya sungguh dahsyat. Saya sadar, langkah saya masihlah panjang. Mimpi itu tidak akan berakhir di sini. Kawan, mulai sekarang percayalah pada mimpimu, mari bermimpi bersamaku. 
novel perdana
antologi Letter, Penerbit Harfeey
Antologi cerpen Tudung Merah, Penerbit Harfeey
antologi FF, My Love dengan Penerbit Harfeey
antologi cerpen by cover, Penerbit Harfeey
antologi cerpen pilihan Komunitas Susastra Nusantara









7 komentar

Sie-thi mengatakan...

Wah..kereen mba..saya beberapa kali ikut kompetisi untuk penulisan buku antalogi lebih banyak ga beeruntungnya :(

makalah PAI mengatakan...

izin nyimak dulu deh... :)

Reffi Dhinar mengatakan...

@mbk Sie-thi: tetep semangat dong mbak, latihan terus-menerus pasti akan membuahkan hasil ^^
@makalah PAI: silahkan menyimak :)

sari widiarti mengatakan...

blognya cantik dan karyanya banyaaaaaakkk...
salam kenal Mbak :D

Arman Zega mengatakan...

wah salut banget nih sama mbak refti. karyanya udah diterbitkan.
selamat ya mbak. semoga terus berkarya
aku jadi ikut termotivasi nih

Wonder Umma mengatakan...

wih..mbak reffi keren... :') serius, aku terharu..

Zaky mengatakan...

Wah keren banget perjalanan menulisnya, Mbak Reffi... Sebuah takdir yang unik saya mampir ke blog ini gara2 nyari2 review buku Harga Sebuah Percaya (Tere Liye) dan akhirnya membaca tulisan mbak yg ini... Semoga suatu hari, saya juga mampu punya buku saya sendiri.. Keep Inspiring ya Mbak :D