Beragam Cerita Kaya Rasa



Judul          : Penjaja Cerita Cinta
Penulis       : @edi_akhiles
Penerbit     : DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan 1  : Desember 2013
Tebal         : 192 halaman

  
Nano-nano, itulah yang dapat kita tangkap dari buku kumpulan cerpen terbaru karya rektor Kampus Fiksi ini. Edi Mulyono yang memiliki nama pena Edi AH Iyubenu, menyajikan kompilasi cerita yang tak hanya apik pada alur, unik serta hal-hal absurd yang mungkin tak sempat terlintas di kepala, dapat disajikan dengan gamblang. Dengan enam belas cerpennya, Edi menancapkan sudut pandang baru bagi para pembaca yang sedang belajar menulis, bahwa menulis dengan gaya apapun tetap mampu menyampaikan pesan moralnya.

Sebagai permulaan, pembaca dibuat terhanyut dengan cerpen berjudul “Penjaja Cerita Cinta (Kesetiaan, Rindu, Perpisahan dan Kenangan)”. Bagaimana seorang Edi menceriterakan sebuah kisah cinta yang biasa saja. Biasa disini bukan berarti ceritanya dangkal, namun kisah cinta yang dituturkan melalui tokoh Aku pada seorang wanita paruh baya bertubuh sintal yang ingin dipanggil Nyonya Sri, menyajikan cerita yang lazim dialami tiap anak manusia, namun disajikan dengan gaya penceritaan yang unik. Tokoh aku yang dijuluki tokoh Nyonya Sri sebagai si penjaja cerita, mengisahkan cerita cinta seorang gadis bernama Senja. Senja adalah gadis yang tinggal di tepi pantai, bagaimana setianya ia dan betapa rindunya Senja pada kekasih hatinya, disampaikan dengan begitu mengiris alam imajinasi.

Sepertinya Edi Mulyono yang juga sering disapa @edi_akhiles ini mampu mendefinisikan dengan puitis bagaimana gambaran rasa seorang perempuan. Perempuan yang sering memegang janji lelakinya dan menjaga setia walau jarak memisahkan. Sakitnya rindu akibat kenangan yang terus melekat, mampu membuat pembaca terombang-ambing dalam kerinduan tokoh Senja. Persoalan cinta juga dibahas kembali dalam cerpen yang berjudul “Cinta Yang Tak Berkata-kata”. Edi yang notabene mampu memosisikan dirinya sebagai perempuan yang menginginkan pembuktian nyata kekasihnya, bukan hanya sekedar puisi romantis saja.

Menampilkan sisi religius tanpa perlu mengobral kalimat penuh hadist nabi dan ayat suci dalam cerpen, juga menjadi daya tarik tersendiri dalam cerpen “Dijual Murah Surga Seisinya” , “Tamparan Tuhan” dan “ Aku Bukan Batu”. Tampak sekali dari ketiga cerpen tersebut, penulis telah melakukan perjalanan panjang- mengeksplorasi diri, mengenali pribadi. Hal-hal yang luput dalam akal kita atau mungkin pernah terlintas di benak,”Untuk apa kita diciptakan?” dan “Apakah aku dicintai Tuhan?” serta segala pertanyaan selintas lainnya, dikupas lebih mendalam, tanpa kalimat yang sulit dicerna.

Anggapan bahwa sebuah cerpen harus disajikan dengan bahasa mendayu-dayu nan puitis agar terjaga estetikanya, dibabat habis oleh penulis alumnus IAIN Sunan Kalijaga ini. Simak saja pada cerpen “Love Is Ketek”, rangkaian komedi dan narasi konyol antara tokoh Aku dengan Parmini, kekasihnya, membuat kita terpingkal sekaligus merenung. Komunikasi dua arah yang terjalin baik harus dibiasakan dalam sebuah hubungan. Bagaimana tersiksanya tokoh Aku ketika menghadapi amarah berlebihan Parmini, ya sebagai perempuan saya insaf, mengedepankan emosi dan terlalu “perasa” dapat membutakan makna kata sebenarnya. Kita harus belajar mendengarkan orang lain jika kita ingin didengar.

Keunikan lainnya dari buku kumpulan cerpen ini adalah beraneka ragam teknik penceritaan dari yang berbentuk normal berupa narasi dan dialog sampai yang berupa rangkaian dialog antar tokoh. Penggambaran ending juga tak harus selalu berada di akhir cerita, meletakkannya di bagian depan juga mampu menjadi opening menarik dan menuntun pembacauntuk mengatahui keseluruhan isi cerita. Salah satu cerpen yang berjudul “Menggambar Tubuh Mama” menggunakan teknik ending diletakkan di awal cerita. Tubuh Mama yang diceritakan telah tewas akibat dibunuh, membuat pembaca penasaran apa yang terjadi dan apa yang menyebabkan tokoh Mama terbunuh. Kecintaan pada musik dangdut yang sering dianggap musik kampungan pun, dikisahkan secara berkelas dengan sentuhan ilmu filsafat, coba tengok cerpen "Tak Tunggu Balimu."

Namun, terlepas dari keunikan dan kelebihan cerita-cerita yang tersaji dalam buku, ada beberapa poin penting yang saya rasa menjadi titik kelemahan. Ambil saja satu contoh cerpen “Penjaja Cerita Cinta”, di dalam cerpen tersebut terselip adegan dewasa yang tersirat di beberapa bagian cerita. Perlu dicermati  bahwa, pembaca buku ini bisa saja masih remaja. Dalam cerpen ini digambarkan tentang hubungan singkat si Penjaja Cerita dengan Nyonya Sri. Walaupun tidak diceritakan secara vulgar, akan lebih baik lagi jika unsur tersebut diminimalisir tanpa mengganggu esensi cerita.


Apapun itu, saya mengacungkan dua jempol untuk kumpulan cerpen tunggal ini. Pembaca diajak berfantasi mengenai beragam tema yang bisa diangkat menjadi topik cerita. Sebuah cerpen tak harus menyajikan tema melulu cinta atau berbahasa berat hingga untuk membaca pun membutuhkan petunjuk kamus bahasa. Perenungan pribadi juga dapat diangkat sebagai sebuah cerita menarik. Satu garis besar yang dapat diperoleh dari buku “Penjaja Cerita Cinta” ini, sebuah cerita harus memiliki amanat yang menggugah pemikiran pembaca. Meskipun gaya penceritaan menggunakan bahasa komedi atau cerita dipenuhi dengan rangkaian dialog, sebuah cerita yang baik akan selalu memberikan pesan tanpa maksud menggurui.

Tidak ada komentar