Remote Itu di Tangan Kita, Bukannya Televisi!!

Di saat banyak orang sedang ribut dengan kontroversi mengenai tayangan beragam joget, yang dianggap tidak mendidik, saya menemukan secuplik kecil keresahan yang amat mengganggu. Selepas solat maghrib, saya turut menemani ibu yang sedang menikmati tayangan televisi. Tayangan tersebut adalah salah satu sinetron stripping jenis komedi religi yang lumayan populer, judulnya “Anak-Anak Manusia”.

Sesungguhnya, sinetron ini selalu menyisipkan pesan-pesan moral di tiap episodenya. Aktor dan aktris kawakan mampu memerankan tokoh dalam sinetron dengan begitu hidup. Sebut saja Diah Permatasari yang sukses memerankan tokoh Encun, seorang ibu rumah tangga lugu dan cenderung sedikit lemot, Teddy Syah dengan karakter Mardani yang sering melakukan tindakan-tindakan impulsif, dan beberapa karakter lain.

Kocaknya dialog dan cerita yang diangkat dari realitas masyarakat, membawa penonton mendapatkan banyak pesan moral tanpa merasa digurui. Hanya saja ada beberapa bagian dan terkadang mendapat porsi komedi yang saya rasa tidak perlu terlalu sering dimunculkan. Scene yang membuat saya selalu memindahkan channel ketika adegan diarahkan pada sekumpulan ibu-ibu rumah tangga yang sibuk bergosip membicarakan keburukan tetangganya sendiri. Awalnya, saya lumayan sering menonton tayangan tersebut, lama-kelamaan saya memilih untuk menonton iklan atau mematikan televisi.

Bagaimana tidak jengah? Untuk memancing tawa, adegan saling mencela, bergosip antar ibu-ibu rumah tangga dengan gaya berlebihan alias lebay dan bahasa gaul yang terkadang susah saya mengerti (seperti keles, what? Bahasa apa lagi itu?), berseliweran di potongan dialog dengan bahasan tidak penting. Lucu dan menggelikan memang, bahkan slot adegan menggosip seperti itu hampir selalu ada di tiap episode.

Kemudian saya berpikir sejenak. Apakah sedemikian ruwetnyakah kehidupan masyarakat kita, sehingga tayangan tidak mendidik dianggap sebagai hiburan yang menyenangkan. Betapa cerdasnya pelaku industri pertelevisian kita, demi mengejar rating, maka beragam cara dilakukan tanpa peduli apakah tindakan tersebut akan mengurangi kualitas tayangannya.



Tayangan Kelas B dan C

Polemik acara serba joget dan sinetron tidak mendidik, sedang menjadi isu hangat di Indonesia. Sebuah artikel di surat kabar menyatakan jika produser melihat pangsa pasar kelas B dan C (menengah ke bawah) sebagai medan yang mampu menaikkan rating acara secara progresif. Komersialisasi yang mengancam pada tindakan pembodohan massal, dinikmati secara gratis dan berjam-jam pula.

Jika saja TVRI masih menjadi satu-satunya televisi di Indonesia, apakah hal ini tidak akan terjadi? Dahulu penduduk Indonesia juga masih banyak yang hidup di bawah garis kesejahteraan, namun mereka senang-senang saja dengan acara Dunia Dalam Berita, kuis Berpacu Dalam Melodi, serta deretan sinetron anak negeri yang menyajikan cerita menarik dan mendidik. Maka, alasan produser masa kini yang menyatakan acara-acara tidak mendidik itu sesuai dengan masyarakat kelas B dan C, bukankah sama dengan ingin membunuh masyarakat pelan-pelan? Kita ini seolah dihibur, padahal di balik itu para pelaku pertelevisian semakin kaya saja dengan pasokan iklan yang membanjir, berkat rating acaranya sangat tinggi.

Minat Terhadap Tayangan Negara Lain

Jangan silahkan jika banyak generasi muda kita yang gandrung film Korea dan hollywood, dibanding menikmati sinetron yang tak jelas ceritanya. Kebebasan pers digunakan sebagai benteng. Jadi, penonton pun memiliki kebebasan untuk memilih tayangan yang tepat bagi dirinya bukan?

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kalau memiliki power yang cukup, silahkan anda bertindak dengan menghasilkan karya yang berkualitas. Sudah banyak film nasional yang layak diacungi jempol, baik dari segi cerita dan amanat ceritanya, tinggal perbanyak saja jumlahnya. Apabila tidak ada kemampuan lebih, cukup matikan televisi atau beralih pada TV kabel. Atau pindahkan channel dan pilih acara bermutu.


Namun, kembali lagi hidup itu pilihan. Jikalau anda menyukai tayangan-tayangan yang saya singgung tadi pun, silahkan saja tetap menonton. Tidak perlu saling membenci hanya karena tayangan televisi. Televisi itu benda mati, manusia yang memegang remote controlnya. Jangan mau menjadi budak televisi yang bentuknya tetap persegi dari waktu ke waktu. Hanya saja jika anda sempat membaca tulisan ini, saya harap paradigma anda sedikit berubah. Cukup renungkan saja, jika tidak suka tinggal buang. Tetap damai dalam keheningan.

7 komentar

Arman Zega mengatakan...

bener banget nih mbak. sisi edukasi mulai memudar sekarang.

Titis Ayuningsih mengatakan...

saya lagi suka acara masakan tv luar nih hehehe

Rohani Syawaliah mengatakan...

templatenya kayaknya nggak cocok ya dear, banyak bagian yang berantakan :)

Reffi Dhinar mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Reffi Dhinar mengatakan...

miris yaa :(

Reffi Dhinar mengatakan...

lebih bagus reality show luar emang

Reffi Dhinar mengatakan...

udah kupulihin nih mbk...mw cari2 yg baru..hehe...thanks atas sarannya ^^