Mencari Rumah

"Maaf, Bun. Dira nggak pulang dulu lebaran ini. Perusahaan Dira sedang kebanjiran pesanan iklan,” ujarku dengan penuh penyesalan pada Bunda.

“Kamu sudah hampir setahun nggak pulang ke Malang, nduk. Memangnya kantormu nggak libur? Masa lebaran-lebaran begini kamu tetep kerja,” keluh Bunda. Aku jadi merasa bersalah.

“Justru karena teman-teman kantor banyak yang cuti, makanya Dira tetap masuk. Ini ada pesanan untuk membuat iklan produk minuman kaleng dari luar negeri, dan minggu depan deadline pekerjaannya. Dira mendapat mandat dari Bos untuk mengerjakan proyek ini. Bonusnya besar lho, Bun,” aku berusaha membujuk Bunda.

“Kalau minggu depan kamu nggak pulang, mending nggak usah pulang aja sekalian, assalamualaikum!” sebelum aku sempat menjawab salam, Bunda sudah memutus sambungan telepon. Aku tahu kali ini Bunda sangat marah.

Aku menghela nafas berat. Kepalaku berdenyut tanda kelelahan. Di hari Minggu seperti inipun, aku tidak bisa bersantai. Semua sisa pekerjaan kubawa ke tempat kos. Perutku bergemuruh, padahal jam dinding masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Sahur tadi aku tidak makan apa-apa karena aku terlambat bangun, hanya sebotol teh hangat yang kutenggak ditambah beberapa potong biskuit yang mengisi perutku.

Apakah aku salah jika ingin membahagiakan keluarga kecilku? Memang benar aku sedikit keterlaluan karena saat lebaran aku memilih untuk stay di Jakarta. Tapi ini semua juga demi Bunda, Disha dan Deni. Ibu dan kedua adikku butuh banyak biaya untuk kehidupan mereka di Malang.

“Dira bersumpah, Dira akan menjadi orang sukses dan membelikan rumah yang besar buat Bunda dan adik-adik. Bunda nggak perlu kerja pontang-panting sampai sakit begini hanya untuk membiayai keluarga kita,” itu sumpahku yang kusampaikan saat Bunda sedang terbaring lemah di tempat tidur.

Aku benci kemiskinan dan ketidakberdayaan. Ayah yang kumiliki juga sudah kuanggap mati. Malah sekarang aku berpikir untuk hidup melajang selamanya, aku takut jika mengalami nasib serupa dengan Bunda. Ayah menikah lagi. Ia bahkan tega mengusir istri dan ketiga anaknya hanya demi seorang perempuan matre dan tidak tahu adat kesopaanan. Bunda harus bekerja pontang-panting sebagai buruh cuci sekaligus berjualan nasi bungkus keliling. Aku, Bunda dan kedua adikku harus rela tinggal di satu petak kamar kos yang sempit.

“Alhamdulillah, kamu dkaruniai otak cerdas, nduk. Semoga beasiswa ini mengantarkan kamu menjadi orang sukses,” ujar Bunda setelah aku mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri.

Aku belajar keras sekaligus bekerja sambilan. Untungnya aku punya bakat mendesain sekaligus menulis. Dengan mengikuti beberapa lomba, aku mendapat pemasukan lumayan untuk kukirimkan pada keluargaku. Pelan-pelan Bunda dan kedua adikku akhirnya bisa mengontrak rumah yang lebih layak dan sedikit lebih besar dari kamar kos petak kami dahulu.

“Dira benci miskin, Bun. Dira pasti akan membelikan Bunda rumah gedongan yang besar,” janjiku setelah aku lulus. Bunda tersenyum dan mengamini keinginanku.

Tetapi kalimat Bunda yang terakhir menyadarkanku dari lamunan. Rasanya ada batu besar yang menyumbat otakku. Ingin kulempar semua kekesalan dan kelelahan entah pada siapa. Aku capek sekaligus sedih. Semua kerja kerasku seolah tak dipandang berharga oleh Bunda. Tumpukan laporan dan laptop yang masih menyala, rambut kusut dan badan bau karena belum mandi menambah kekusutan hariku. Aku ingin pulang, tetapi aku ingin pulang sekaligus membawa kebanggaan bukan hanya sekedar membawa badan.
***
Gerimis turun bergeremicik. Aku memutuskan jalan-jalan naik angkot untuk menghilangkan kebosanan. Motor kutinggalkan di tempat kos. Macet sekali jalanan Jakarta, suasana mendung membuatku lebih sering melamun. Aku melihat ke seberang jalan, seorang bocah mungkin berumur delapan tahun menggandeng ibunya yang berjalan sedikit pincang. Aku tak melihat gurat derita di mata mereka, walaupun jelas sekali jejak kemiskinan di pakaian dan penampilan pada keduanya.

“Kasihan ya, mbak,” seorang ibu berjilbab biru mengajakku berbicara,”lihat ibu dan anaknya itu, membuat saya rindu Ibu saya yang sudah wafat. Rumah mereka pasti tidak layak, bisa saja mereka tinggal di kolong jembatan atau tempat kumuh. Ah, saya jadi ingat masa kecil saya di kampung,” lanjutnya mengenang.

Aku mengangguk mengiyakan. Kenangan bersama Bunda dan adik-adik di kamar kos kami yang sempit mmeberi rasa hangat di dadaku. Kamar kos berukuran empat kali enam meter yang dibagi menjadi kamar tidur sekalligus dapur, tidak pernah mengurangi kehangatan kami. bunda tak pernah tampak mengeluh. Setelah bercerai dengan Ayah, Bunda bertekad untuk memenuhi kebutuhan keluarga tanpa mengemis perhatian pada ayahku.

“Mbak asli Jakarta?” tanya ibu-ibu berjilbab biru padaku.
“Saya asli Malang, Bu.,” jawabku.
“Nggak kangen rumah? Bentar lagi lebaran, kan. Puas-puasin nanti kangennya sama keluarga,” pungkas ibu itu kemudian pamit turun di tempat tujuannya.

Rumah. Itulah yang selalu kucari dan ingin kuberikan pada Bunda. Aku lupa makna rumah yang kuinginkan. Wajar jika Bunda marah, karena aku sudah lupa jalan menuju ‘rumahku’ yang sesungguhnya.

“Assalamualaikum, Bun. Maafin Dira ya. Lebaran besok Dira pasti pulang,” kataku pada Bunda lewat sambungan telepon yang agak tergesa.

“Iya, nduk. Maafin Bunda juga yang tadi emosi ngomongnya, Bunda dan adik-adikmu sudah kangen ini,” uara lembut Bunda menyejukkan hatiku.

Hujan turun makin deras. Aku memutuskan untuk terus berdiam di dalam angkot dan kembali menuju tempat kos. Rumah itu sebenarnya sudah berdiri sejak dulu. Rumah itu ada di hati dan Bundaku. Sebuah rumah yang selalu membuatku ingin pulang dan membuatku nyaman. Rumah itu bernama keluarga dan cinta.

1 komentar

Pakde Cholikk mengatakan...

Selamat pagi sahabat tercinta,
Dengan gembira saya sampaikan bahwa Anda menjadi salah satu penerima tali asih pada GIVEAWAY 2 HARI

Silakan cek di

http://cakcholik.blogdetik.com/2014/02/04/pengumuman-hasil-giveaway-2-hari
/
Terima kasih

Salam hangat dari Surabaya