Jerat Terorisme Profesional





Judul Buku : Crying Winter
Penulis        : Mel Shaliha
Jumlah halaman : 334 halaman
Tahun terbit : Oktober 2012
Penerbit : Diva Press

Cukup jarang sekali penulis Indonesia mengangkat tema terorisme dan spionase sebagai tema cerita mereka. Biasanya kita akan dimanjakan dengan rentetan penulis luar negeri untuk genre istimewa ini, namun Mel Shaliha mematahkan anggapan tersebut dengan sajian cerita yang tak hanya detil dari segi penjabaran dan juga penuh sindiran cerdas terhadap kebobrokan pemerintah.

Kisah dimulai dari perjalanan hidup sepasang anak kembar asal Gunung Kidul bernama Dimas dan Damar yang memiliki nasib tak terduga. Dimas yang memiliki otak jenius harus rela mengalah demi keberlangsungan pendidikan adiknya, Damar. Ia dikecewakan oleh birokrasi pemerintah daerahnya yang menolak hasil penelitian untuk membudidayakan hasil pertanian, karena dianggap tidak efisien. Otak Dimas yang brilian harus tertutup sementara, kemudian ia pun memutuskan untuk merantau ke Korea untuk mencari penghidupan yang lebih layak.

Di Korea, kecemerlangan otak Dimas diketahui oeh atasannya, Park Sang Hyung. Dari sebuah inovasi jenius mengenai perangkat telekomunikasi kantor buatan Dimas, Park Sang Hyung mengajak Dimas untuk bekerja sebagai asistennya dan mendapat pendidikan khusus. Walau awalnya sempat ragu, dengan iming-iming kesejahteraan dan ingin mengubah nasib, Dimas menyetujui ajakan tersebut dan memulai kehidupan barunya jauh dari Seoul.

Rupanya keputusan tersebut berbuntut dengan misteri yang terus-menerus membuat Dimas penasaran. Ia dididik di sebuah tempat dengan penjagaan penuh dan dilarang berkomunikasi dengan orang lain kecuali diizinkan. Pendidikan beberapa bahasa asing, latihan fisik yang keras dan penelitian-penelitian yang tak ia ketahui tujuannya, mempertajam kemampuan otak dan fisik Dimas sekaligus membuat pemuda cerdas itu bertanya-tanya. Dimas tak tinggal sendiri. Di tempat pendidikan misterius itu, ia bertemu Faye dan Kanna yang nanti akan menjadi rekan setimnya. Setelah dua tahun berlangsung, Dimas dipindahkan ke Hongkong dan semakin jauh dari kelurganya.

Sementara itu, Damar dan ibunya sangat cemas dengan keadaan Dimas. Meskipun kiriman uang dari Dimas terus mengalir, namun Dimas semakin jarang menghubungi mereka. Akhirnya atas desakan ibunya yang semakin melemah karena sakit, Damar ingin menuntaskan rasa ingin tahunya. Beberapa kali telepon singkat dari Dimas tak bisa memupuskan rasa cemas itu. Dengan insting jurnalisme dan rasa cemasnya, Damar menelusuri jejak terakhir Dimas yang terbaca sedang berada di Hongkong. Damar ditugaskan di Hongkong untuk meliput perkembangan buruh migran di luar negeri.

Akhirnya lambat laun Dimas atau yang sudah berganti nama menjadi James, menyadari jika ia dan kawan-kawannya dididik untuk menjadi terorisme ahli. Park Sang Hyung yang memiliki nama lain Doktor Jake Rudolf, adalah pemimpin organisasi terorisme internasional yang berniat menguasai dunia dengan menyebarkan virus mematikan untuk pembunuhan massal. Jake Rudolf berusaha mencuci otak Dimas atau James dengan dalih jika Indonesia telah bersikap tidak adil terhadap bibit unggul seperti dirinya. Pemerintah yang kotor, penuh korupsi dan hukum yang berjalan timpang, membuat Indonesia pantas untuk segera dibersihkan.

Alur cerita novel ini memang cukup menegangkan tetapi tidak cukup membuat saya penasaran. Damar diculik dan disekap dalam penjara bawah tanah dengan Erni seorang pembantu asal Indonesia yang bekerja di vila Jake Rudolf, seolah hanya tampak sebagai ornamen penambah ketegangan. Seharusnya seorang wanita biasa seperti Erni, pasti akan menderita ketika disekap dalam penjara yang hanya bisa dijadikan tempat duduk sekaligus bercampur dengan tempat buang air. Penderitaan Damar dan Erni kurang dijelaskan secara rinci. Di sini penulis terlalu terpaku dengan perjalanan Dimas dan organisasi terorismenya.

Setting yang tergambarkan dengan jeli dan rinci cukup membuat pembaca dapat membayangkan situasi dengan mudah. Akhir cerita, Dimas dapat menghentikan penyebaran virus berbahaya tersebut dan membunuh Jake Rudolf, namun ketegangan terasa terlalu cepat mengendur dan mudah. Jake Rudolf diceritakan sangat kejam dan ambisius, tetapi dengan sangat mudahnya ia mempercayai semua omongan Dimas. Jika penulis sedikit menambah kesulitan dan tantangan bagi Dimas dan memberi sajian yang tidak mudah ditebak, pasti pembaca akan penasaran hingga akhir cerita. Secara keseluruhan, saya cukup salut dengan penulis yang berani mengangkat tema yang tidak bisa dikatakan mudah. Crying Winter layak dibaca bagi anda yang sudah bosan dengan novel romantis. Banyak pesan moral yang bisa kita tangkap, seperti rasa nasionalisme dan semangat memperjuangkan nasib.

4 komentar

AI by Artifisial mengatakan...

Review-nya keren, tapi ada satu kalimat yang salah.

"Dengan insting jurnalisme dan rasa cemasnya, Damar menelusuri jejak terakhir Damar yang terbaca sedang berada di Hongkong." Mungkin kurang teliti :))

Dan beberapa kata yang typo. Hehe x)))

But, overall, review-ya bagus ;)

Reffi Dhinar mengatakan...

makasii...ini sudah saya edit lagi..kritik dan sarannya maknyus :D

Firmansyah mengatakan...

Yuhuuu :D

Reffi Dhinar mengatakan...

yap ^_^