Aku Melihat Tuhan Pada Perempuanku



Sebelum el maut menyapa diriku, aku sempat melihat Tuhan. Bukan Tuhan dalam wujud tertentu karena Tuhan dalam pengertianku tidak memiliki wujud. Tetapi aku mendapati ada sifat Tuhan yang dimilikinya, seorang perempuan. Cerita singkat yang sederhana saja sesungguhnya. Bisa jadi kau akan bosan membacanya.

“Jangan ganggu anak kecil ya, beraninya maen keroyokan!”

Itulah kalimat pertama  yang kudengar dari mulut gadis berkepang dua dan berwajah mungil itu. Dia adalah gadis pertama yang berani menantangku dan kawan-kawan satu geng. Jika anak-anak lain akan berteriak ketakutan atau menangis nyaring, maka gadis ini malah berdiri sambil berkacak pinggang. Anak baru yang tak tahu rasa takut.

Agus, anggota geng Krucil yang berbadan paling tambun, maju dan hendak menghajar anak perempuan itu. Hebat, gadis itu bisa mengelak, lalu ia menubrukkan kepalanya keras-keras pada perut Agus. Ia mengambil tongkat kayu panjang yang tergeletak di tepi jalan. Kami lari tunggang langgang. 

Sejak saat itu diam-diam aku mengaguminya. Sepotong bunga segar yang kuambil dari kebun bunga Ibuku, menghiasi meja kelasnya. Tak perlu kuceritakan sedetilnya, kami akhirnya menemukan jalan untuk saling mengasihi, ketika usia kami sama-sama berusia tujuh belas. Ia gadis yang pernah memukul kawanku dengan kepalanya, seiring waktu berubah menjadi semakin anggun. Sikap kerasnya berpadu dengan kecerdasan. Aku yang bertekad menyelesaikan kuliah dalam waktu tiga setengah tahun, juga disaingi olehnya. Kami bertanding siapa yang akan menjadi lulusan terbaik dari fakultas masing-masing. Semakin lama, bunga cantik itu menjelma pada dirinya. Aku kagum sekaligus takut, jika suatu hari akan ada kumbang yang lebih memikat dibanding diriku. Tetapi, ia tetap bersamaku. Berdiri mendukungku. Sampai aku merasa kokoh dan takabur. 

“Tahukah kau? Aku berusaha menekan perasaan saat kau membawa putra kecilmu yang kaubilang darah dagingmu itu. Aku memang tak sempurna, tetapi bukan berarti kau berhak menusukku dengan belati pengkhianatan setajam ini,”

Itulah ucapannya di tahun ketujuh pernikahan kami. Putra kecil berumur tiga tahun ini adalah anak tk berdosa dari hubungan singkat tanpa cinta- hanya gairah di dalamnya. Kekasih gelapku tak sudi merawat puteranya, sebab aku bertekat untuk tetap mempertahankan tahta cinta untuk wanitaku satu-satunya, bukan dirinya. Kulihat sekelebat bayangan Tuhan pada diri Nayra, istriku. Ampunan itu terlihat dari kasih sayangnya yang sangat utuh pada putraku. Jika ia yang membawa pulang putra dari kisahnya dengan pria lain, mungkin aku akan membunuhnya. Ia begitu pengampun di balik sikap kerasnya.

Sekali lagi aku terjerembab. Pengkhianatan kedua terjadi di saat usia pernikahan kami menginjak empat belas tahun. Untungnya, kisah itu hanya berjalan singkat, Tetapi, Nayra sudah terlampau terluka.

“Ini siklus tujuh tahunan, kau bajingan,” ucapnya seraya menggandeng putra semata wayangku dan putri semata wayang kami yang ia lahirkan dengan penuh perjuangan.

Aku kalut sepeninggal dirinya. Kulihat murka Tuhan dari matanya. Seperti Nuh yang kehilangan keluarganya akibat banjir bandang, Nayra memuntahkan murkanya dan membawa keluarga kecilku turut serta. Anak-anakku tak sudi menolehkan wajah pada ayahnya.

Kemudian aku kehilangan akar tunggang. Angin kencang yang menghantam hatiku, membuatku rapuh dalam jurang tak berdasar. Aku mati walau oksigen masih masuk dalam hidungku. Aku hidup namun mati kelima indera. Usia semakin renta dengan senja yang melapuk di sudut mata. Tuhan, aku merasa sangat berdosa.

“Tersenyumlah, lihat kami sudah ada di sini,” ia kembali dengan wajah mulai dimakan usia. Kabar kesakitanku mengundang iba pada hatinya. Sekali lagi aku melihat kasih sayang Tuhan melalui mata indahnya.

Dari ranjang putih ini, perlahan nyawaku terangkat. Air matanya hanya mengalir sedikit, namun genggaman tangannya terasa sangat hangat. Awan putih begitu bersih. Aku sadar, ini hari Jumat. Kata sang Nabi, mati di hari ini adalah pertanda baik.

“Aku memaafkanmu. Aku mencintaimu, anak-anakmu pun akan selalu merindukanmu,” bisiknya lembut untuk terakhir kali. Seandainya  aku bisa memutar waktu, maka tidak akan pernah kusakiti hatinya. Perempuan sederhana berhati sekeras baja. Perempuan yang mampu memaafkan. Kulihat Tuhan pada dirinya. Nayra, sampai jumpa di istana surga, pabila aku sampai di sana.

Tidak ada komentar