Kover Bukanlah Segalanya

Apakah kita sering membeli buku karena tertarik dengan kovernya yang sangat menarik? Jawabnya pasti ya, karena saya dahulu juga seperti itu. Sayangnya, tak jarang saya bisa mendapat kekecewaan karena ternyata isi buku tak sebagus sampul depannya. Rupanya, hal ini juga sering kita dapati dalam pergaulan dengan sesama.

Hari ini saat saya sedang dalam perjalanan pulang dengan angkot dari acara kopdar komunitas kepenulisan di Surabaya, saya mendapat pengalaman berharga jika penampilan luar tak selalu menjamin kualitas diri.

Kebetulan saya duduk di samping seorang pemuda berambut gondrong sebahu dan cukup tidak rapi. Dengan cueknya ia menyalakan rokok dan tidak mempedulikan kenyamanan penumpang lainnya. Saya mengomel dalam hati karena saya paling anti dengan asap rokok. Namun kejadian berikutnya sungguh menyentil hati saya.

Tak beberapa lama kemudian, seorang ibu-ibu paruh baya naik angkot yang saya tumpangi. Sepertinya ia sedang kebingungan, terlihat dari kepalanya yang terus menoleh kesana kemari dan wajah yang terlihat cemas. Tak ada yang memperhatikan kondisi ibu-ibu tersebut sampai si pemuda gondrong tadi bertanya dalam bahasa Jawa yang sangat sopan.
Rupanya ibu-ibu itu sedang kebingungan mencari alamat. Dengan telaten, si pemuda gondrong menjelaskan arah jalan dan kemana si ibu harus berhenti. 

Saya takjub melihatnya, sebab saya tidak mahir berbahasa jawa sopan dan pemuda itu sedari awal berbincang menggunakan bahasa Indonesia dengan kawannya.

Di sini saya merenung. Tidak seperti penampilan luarnya yang tidak rapi, pemuda tersebut mempunyai sikap kepedulian yang tinggi, tidak seperti orang lain termasuk saya sendiri. Jika sedang naik angkot, saya memilih menutup telinga dengan headset lalu mendengarkan musik atau tidur.



Satu pelajaran lagi bisa saya petik. Tidak semua 'kover' luar juga ikut merepresentasikan kualitas kepribadian seseorang. Kita sudah tahu teori ini tetapi sering lupa menerapkannya. Dan di dunia ini tak bisa kita menerapkan nilai hitam putih tanpa analisis yang lebih mendalam. Sebelum mengenal baik seseorang, tak seharusnya kita memberikan penilaian sepihak.

Walaupun begitu saya juga sadar, bahwa kita tak dapat mengendalikan pendapat orang lain. Akan ada orang yang membenci atau menyukai kita tanpa alasan. Terus saja berbenah, namun jangan takut untuk bersosialisasi. Kritik bisa jadi cerminan atau justru bisa jadi lecutan sebagai pembuktian bila kita bisa terus memperbaiki diri dan berprestasi.

7 komentar

gina hendro mengatakan...

don't judge a book by its cover ;-)

Anonim mengatakan...

Selalu berprasangka baik yaa kuncinya..kadang menilai orang lebih buruk cerminan kita angkuh.. naudzubillah..

Rullah mengatakan...

Ini yang kadang terlupakan oleh kita, hanya melihat sepintas dan menyimpulkan :-(

Reffi Dhinar mengatakan...

All: beginilah kadang kita merasa lebih baik tanpa menilik pada diri sendiri ya :(

Tira Soekardi mengatakan...

selalu berprasangka baik itu kali ya, tapi kalau ketipu karena penampilan orang gimana dong!!!! aku pernah mengalaminya.... jadi kadang ragu-ragu

Reffi Dhinar mengatakan...

saya juga punya pengalaman seperti itu,,orang yang penampilannya rapi dan necis ternyata menghancurkan kepercayaan saya...mungkin kita lebih baik berhathati tapi jgn underestimate juga...akan lebih baik kalo kita membaikkan penampilan sekaligus kepribadian kita :)

Nurul Fitri Fatkhani mengatakan...

Betul mbak...jangan sampai menilai orang dari penampilan luarnya aja