Pertanyaan Mencari Makna Diri (Review Novel Rindu)



Judul  : Rindu
Penulis : Tere Liye
Jumlah halaman : 544 halaman
Tahun terbit : Cetakan 1, Oktober 2014
ISBN : 978-602-8997-90-4
Penerbit : Penerbit Republika


Perjalanan tak biasa yang dilakukan serombongan penumpang yang hendak melaksanakan ibadah haji, membantu beberapa tokoh menemukan jawaban atas pertanyaannya, terangkum dengan apik melalui novel  karya Tere Liye ini. Dengan setting cerita beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1938, novel ini mengisahkan beberapa pengalaman penumpang kapal haji Blitar Holland yang berlayar dari Pelauhan Makassar menuju Mekkah.

Cerita ini dibuka dengan latar kapal haji Blitar Holland yang sedang bersandar, diiringi ratusan penumpang dan pengantar yang sungguh riuh. Pembaca akan diajak berkenalan dengan satu keluarga pribumi yang cukup terpandang beserta dua anak perempuannya. Keluarga Daeng Andipati, seorang saudagar muda terpandang, mengajak istri dan dua putrinya yang bernama Elsa dan Anna, serta satu orang asisten rumah tangganya. Uniknya, pembaca tidak akan menemukan tokoh pemeran utama dalam novel ini, akan ada lima pertanyaan yang dibawa lima orang penumpang yang akan menjadi sentral cerita novel Rindu.

Selain keluarga Daeng Andipati, tokoh lainnya yang sedang dalam pencarian makna diri adalah Bonda Upe, Gurutta, Ambo Uleng dan Eyang Kakung. Tak hanya menyajikan jawaban atas pertanyaan kelima tokoh tersebut, pembaca akan diajak menyimak tentang bagaimana indahnya kebersamaan dalam perbedaan, metode pendidikan yang seharusnya diterapkan di dunia pendidkan kita saat ini dan juga semangat nasionalisme. Bagaimana bisa? Mari kita kupas lebih lanjut tentang isi buku ini.

Gurutta adalah seorang tokoh agama yang sangat disegani di wilayah Makassar. Ia menjadi semacam guru bagi orang-orang yang ingin mendalami agama dan juga menjawab pertanyaan dari tokoh lainnya. Selain dihormati, Gurutta juga sangat ditakuti tentara Belanda yang bertugas menjaga keamanan kapal haji Blitar Holland. Sebelum menaiki kapal, Gurutta sempat dipersulit dan dilarang masuk. Untungnya berkat surat ijin dari Gubernur Jendral di Batavia, Gurutta bisa masuk ke dalam kapal meski harus berada di bawah pengawasan yang sangat ketat. Blitar Holland dipimpin oleh Kapten Phillips, seorang pelaut Belanda yang tidak terlalu menyukai konsep penjajahan. Ia dan kelasi-kelasinya sangat menghargai warga pribumi dan tidak pernah bersikap melecehkan seperti pasukan Sergeant Lucas yang sangat angkuh.

Berikutnya, ketika perjalanan dimulai, Gurutta mengambil keputusan baik untuk melaksanakan program mengaji unuk anak-anak yang ikut bersama orang tuanya. Selain memimpin jamaah solat, Gurutta tak ingin anak-anak kehilangan waktu belajarnya, baik dalam pelajaran agama maupun akademik. Lalu ditunjuklah seorang muslimah keturunan Cina yang dipanggil Bonda  Upe yang akan mengajar mengaji anak-anak dalam kapal tiap sore hari. Anak-anak juga dididik oleh dua orang guru yang cara mendidiknya sungguh menyenangkan. Untuk belajar berhitung, anak-anak diajak menggunakan kosakata dalam kapal, belajar pengetahuan alam di tepi pantai dan lain sebagainya.

Bonda Upe memiliki masa lalu kelam yang disembunyikan rapat-rapat, itulah sebabnya ia terkesan tertutup dan jarang terlihat makan bersama di kantin kapal. Ketika kapal berlabuh untuk sementara di Batavia, kekalutan Bonda Upe samakin menjadi-jadi. Gurutta mengajak Bonda Upe dan suaminya untuk makan bersama di kota Batavia. Tak disangka di sana mereka bertemu seorang wanita yang mengaku mengenal Bonda Upe dan memanggilnya Ling-Ling. Di situlah masa lalu Bonda Upe terbongkar. Dengan hati hancur, guru mengaji keturunan tionghoa tersebut kembali ke kapal bersama suaminya.

Di sinilah pertanyaan pertama terjawab. Rupanya Bonda Upe adalah bekas cabo, wanita tuna susila yang sangat kondang di masa lalu. Ia terpaksa menjalani kehidupan itu karena ayahnya kalah berjudi dan akhirnya ia dijual ke Batavia. Sampai akhirnya ia menikah dengan suaminya kini dan juga memeluk Islam. Bonda Upe masih belum bisa melupakan sepenuhnya jejak kelam masa lalu itu.

Masa lalu kelam bukan untuk dimusuhi. Memaafkan diri adalah jalan agar hidup kita lebih damai. Itulah pesan yang disampaikan Gurutta pada Bonda Upe. Selayaknya nasehat tersebut juga bisa kita aplikasikan dalam keihdupan. Seringkali karena terjerat masa lalu kelam, kita jadi takut untuk melangkah keluar dan merasa Tuhan tak akan memberi ampunan. Padahal di detik kita insyaf dan bertobat, di detik itulah Tuhan akan memberi ampunan dan maaf sepenuhnya. Selama kita mau yakin dan berusaha memperbaiki diri, tentu masa lalu akan menjadi buku kenangan yang tak lagi menakutkan.

Pertanyaan kedua keluar dari mulut seorang kakek tua yang patah hati karena istrinya wafat di tengah perjalanan menuju Mekkah. Eyang Kakung, panggilan akrab si kakek yang berasal dari Jawa Tengah, kehilangan pijar hidupnya setelah istrinya meninggal dunia dan dimakamkan di laut. Ia merasa impiannya gagal untuk membawa sang istri berhaji bersama. Dari sini kita belajar, bahwa bentuk cinta paling indah bukanlah cinta yang dibentuk dengan kata-kata romansa sementara, namun bagaimana cinta bisa menjadikan dua orang juga bisa bersahabat serta saling melindungi sampai kondisi fisik tak muda dan tak sempurna lagi dalam ikatan pernikahan, sampai ajal yang memisahkan. Kisah cinta Eyang Kakung dan Eyang Putri adalah kisah cinta sederhana namun sangat indah hingga membuat orang lain tersentuh dan ingin memiliki kisah cinta seperti mereka.

Setelah menerima nasehat dari Gurutta, Eyang Kakung menerima dengan ikhlas kepergian kekasih hatinya. Ditinggalkan orang yang dicintai bukan berarti hidup kita berhenti. Ada cinta lebih besar yang selalu melindungi kita. Eyang Kakung mendoakan mendiang istrinya ketika tiba di Makkah bahkan ia wafat di lokasi yang sama setelah ibadah haji ditunaikan. Ia dimakamkan di laut bersama istrinya.

Daeng Andipati rupanya juga menyimpan rahasia besar yang masih membuntutinya. Ia memiliki dendam yang terlalu besar pada mendiang ayahnya. Ayah Daeng Andipati adalah seorang bangsawan terkemuka yang ternyata memiliki perbedaan perilaku saat di dalam rumah. Ia tega memukuli istri dan anak-anaknya sendiri. Sikapnya sangat kasar, berbeda dengan apa yang ditunjukkan pada orang lain. Dalam perjalanan haji itulah, Daeng Andipati mulai membuka diri dan melepaskan dendamnya, setelah mendapat nasehat dari Gurutta.

Cerita patah hati berikutnya berasal dari seorang kelasi pribumi tangguh bernama Ambo Uleng. Di balik sikap diam dan cekatannya, ia memiliki luka hati yang membuatnya serasa ingin jauh dari tempat kelahirannya. Kisah cintanya kandas karena perbedaan status sosial. Orang tua gadis idaman Ambo Uleng tidak menyetujui pilihan putrinya. Oleh sebab itu Ambo Uleng memilih pergi jauh agar tidak bertemu dengan kekasih hatinya lagi. Lagi-lagi Gurutta memberikan jalan keluar bagi pemuda tangguh itu. Memang laki-laki atau perempuan sekuat dan segarang apapun akan lemah jika sudah berurusan dengan cinta. Cinta  bisa melembutkan hati seseorang, namun cinta jugalah yang sanggup merusak hati manusia. Akhirnya Ambo Uleng berusaha melepas kenangan pahitnya dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan.

Menuju akhir cerita, pembaca akan dibawa pada klimaks yang menegangkan dan pertanyaan tak terduga yang berasal dari Gurutta. Meskipun Gurutta dikenal sebagai penasehat paling bijak, ternyata ia juga mempunyai pertanyaan terbesar yang tak bisa ia jawab sendiri, hal itu mengenai konsep kemerdekaan. Gurutta menuliskan sebuah buku mengenai kemerdekaan tetapi ia sendiri tak sepenuhnya paham apa itu perjuangan dalam jalan perang. Walaupun Gurutta ditahan oleh tentara Belanda Sergeant Lucas yang menemukan buku karya Gurutta, Gurutta masih tak mau melawan dengan jalan angkat senjata. Sampai akhirnya ketika kapal Blitar Holland diserang perompak di tenga hlautan, pemikiran Gurutta mulai diuji. Bisakah jalan diplomasi digunakan untuk menyelamatkan seisi kapal?

Jawaban terkhir  diperoleh Gurutta justru muncul dari ketegasan Ambo Uleng. Taktik diplomasi tak bisa digunakan untuk melawan perompak. Jalan mengangkat senjata dan bersatu adalah strategi terbaik. Begitupula untuk meraih kemerdekaan bangsa, ada kalanya maju berperang adalah cara yang harus digunakan, pengorbanan diri demi tujuan yang lebih besar bukanlah sebuah kesalahan. 

Novel ini menyingkap konflik klasik permasalahan hubungan antar manusia sekaligus memberikan sentuhan nasionalisme di bab-bab terakhir cerita. Kita bisa mendapat banyak hikmah, orang yang terlihat sempurna di luar belum tentu tidak menyimpan duka di dalamnya. Menyimpan kesedihan seperti menyimpan duri dalam daging. Menceritakannya pada orang yang bijak, netral dan berani menghadapi permasalahan adalah jalan terbaik untuk keluar dari belenggu masalah. Tere Liye berhasil menuliskannya secara padat dan menyentuh di tiap bab. Selamat membaca!

Tidak ada komentar