Kau dan Hujan

Hujan jatuh lagi. Kali ini lebih nakal dari biasanya, lebih garang. Kadang aku dan kalian mungkin mengutuk hujan yang turun malu-malu atau pelit. Padahal gugusan awan kumolonimbus sudah siaga, tetapi hujan sudah berkonspirasi menurunkan pasukannya seperseribu  saja.

Hei, apakah di tempatmu juga sedang turun hujan? Gumpalan awan kelabu itu sekarang berarak, pindah tempat. Lucu sekali jika membayangkan awan itu bisa memberitahukan betapa konyol wajahku ketika membayangkan keanehanmu, gaya unikmu.

Hujan itu penuh keromantisan. Di saat aku sedang melamunkan keberadaanmu yang tak usang, di saat itulah aku teringat dengan tarian hujan dalam hatiku. Andai aku bisa menepis tetes air yang menggantung di gumpalan rambutmu, maka hujan badai pun akan kulewati, tentu saja dengan payung besarku.

Kau seperti hujan. Satu kesempatan, deras menghujaniku dengan banyak pertanda, namun di kali lain hanya titik gerimis yang cepat menguap tanpa terasa. Bedanya, butuh waktu agar proses uap air menjadi hujan kembali, sementara kau dapat membuat jantungku dingin lagi dalam satu tarikan nafas.

Hujan dan hujan. Kau dan kau. Ya, gila dan sangat gila. Hei, sampai kapan kita hanya saling menerka? Aku sudah terlanjur kalap jika terlalu lama tak berjumpa. Bisa kering, tandus, kerontang. Tanah berdebu butuh hujan. Diriku butuh kau, sekarang.

Tidak ada komentar