Meranggas

Guguran daun di jalan sering dianggap sebagai keindahan permadani alam. Itu jika terjadi di negeri empat musim, sementara jika ada di negara dua musim yang bulan pergantiannya saja sudah tidak jelas ini, daun gugur berarti kotoran yang harus segera disapu, disingkirkan.

"Rin, mau sampai kapan melamun di depan pohon begini? Udah dapat wangsitnya?" Cakra menepuk pundak Airin, teman sekantornya yang memiliki hobi aneh itu, sering melamun di sembarang tempat.

Airin menepiskan beberapa helai daun kekuningan yang singgah di dahinya seraya berkata"Sudah, aku dapat inspirasi untuk cerpen selanjutnya,"

Cakra menarik nafas panjang. Ia hampir setahun mengenal Airin dan selalu memperhatikan tingkah laku gadis aneh itu. Semakin lama ia kenal, semakin banyak hal di luar kewajaran yang diketahui pemuda jangkung itu.

"Apa yang kamu tangkap dari pohon jati yang meranggas itu, Rin?" tanya Cakra, tangannya bersidekap menunggu penjelasan.

"Kamu lihat guguran daun itu, Cakra? Itu seperti hati seseorang yang jatuh dan dibiarkan begitu saja karena pengaruh cuaca dan musim. Hati yang tak pernah dirawat, akan mudah jatuh terinjak, pecah belah"

Cakra merasakan nyeri dalam hatinya. Airin mendekatkan tubuhnya dan berdiri di depan Cakra. Ada bulir air mata yang menggenang di kedua mata tajamnya.

"Apa kamu puas hanya dengan menyimpan perasaanmu, mengawasiku diam-diam, memberi tanda lalu bersikap acuh seolah tak mengenalku? " Airin mulai merapalkan keluhannya,"aku ingin menuliskan kisahmu, kisah tentang kita yang kamu pungkiri selama ini,"

Airin membuka tas kerjanya dan menyerahkan buku notes warna biru langit pada Cakra. Cakra sangat mengenal buku itu.

"Aku tak sengaja menemukan buku itu di tempat sampah. Warna biru langitnya membuatku tertarik. Ternyata di dalamnya kutemukan potret-potretku yang kamu ambil diam-diam,"

Cakra terdiam. Ia tahu apa isi hatinya, namun dirinya berusaha mengelak. Airin berbeda dengannya, apa yang mereka sembah yang menjadi pembatasnya.

"Besok kamu akan menikah, jadi kurasa apa yang ada dalam catatan itu sudah tak ada maknanya buatmu, buatku juga."

Angin senja menggoyangkan dahan pohon secara lembut. Daun yang gugur, menari elok di udara. Mengeringkan air mata.

2 komentar

Nurul Fitri Fatkhani mengatakan...

menyentuuuh sekali...bagus banget

Reffi Dhinar mengatakan...

makasii mbak Nurul :D