Senyuman Dimas

Bulir-bulir keringat mulai membanjiri wajahku. Sebuah pilihan yang membuatku kembang kempis bahagia sekaligus takut telah diberikan padaku saat ini.

"Bagaimana, Sinta? Saya hanya memberimu waktu 1x24 jam untuk memikirkannya," ujar Bu Mira, general managerku yang terkenal dingin itu.

Aku hanya berdiri kaku sembari menarik ujung kemeja kerjaku. Sebuah hal tak terduga telah ditawarkan padaku. Promosi jabatan sebagai senior manager HRD diberikan padaku.

"Baik, Bu. Saya akan memikirkannya baik-baik." jawabku pelan namun tegas.

Sepanjang perjalanan pulang, aku memikirkan semua kemungkinan dari pilihanku nantinya. Ini adalah lompatan besar dalam hidupku setelah hampir setahun berkubang dalam kesedihan.

"Kamu bukan perempuan perkasa, lihat saja apa bisa kamu memberi masa depan bagi Dimas dengan kemampuanmu itu,"

Kalimat menyakitkan itu terus terngiang di telingaku. Ucapan mantan suami yang  mengabur di otakku dan tak ingin lagi kusebut.

"Aku telah membuktikan, Mas. Aku juga bisa sekuat Kartini," batinku.

Senyuman buah hatiku, Dimas adalah tujuan hidupku saat ini. Dengan promosi jabatan ini pasti aku bisa memberikan kebahagiaan untuknya.

"Dimas mana, Bi?" tanyaku pada Bi Inah, sesampaiku di rumah.

Dimas telah lelap dalam tidurnya. Tak ada senyum di wajahnya seperti dahulu.

"Tadi Dimas menunggu nyonya sampai ketiduran," ujar Bi Inah.

Sebongkah kesedihan menusuk hatiku. Apa ini yang kuinginkan? Senyuman Dimas paling penting namun akulah yang kini menjadi penyebab kesepiannya.

"Oya, Bi. Besok saya pasti akan pulang lebih cepat," tukasku.

Kini sudah kuketahui jawabannya. Mungkin besok Bu Mira akan kecewa dengan pilihanku.

Tidak ada komentar