Judul : 3 Cinta 1 Pria
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Jumlah Halaman : 294 halaman
Tahun Terbit : Oktober, 2008
ISBN : 978-979-22-4074-0
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cinta itu kebodohan yang bersistem. Nah, itu yang coba
diungkapkan Arswendo lewat novelnya yang unik ini. Tema cinta itu sudah jamak
dibahas dalam banyak buku dan juga cerita, namun kisah cinta yang diurai dalam
‘Tiga Cinta Satu Pria’, bukanlah kisah cinta menye-menye yang lantas membuat
kelenjar air mata hendak berproduksi. Novel ini menyajikan kisah absurd yang
tetap saja bisa menyentuh sendi-sendi dasar kehidupan para pecinta pada
umumnya.
Sebut saja seorang seniman bernama Bong yang memiliki
kepribadian ‘hidup itu mengalir seperti air’, jatuh cinta dengan seorang gadis
dari keluarga berada bernama Keka. Bong yang memiliki hidup tidak seperti
masyarakat pada umumnya, dimana mencintai dan juga mencari nafkah itu harus
dilakukan sekuat tenaga, dijatuhi cinta yang sebegitu besar dari seorang Keka.
Seperti bisa diduga, hubungan cinta Keka dan Bong mendapat tentangan dari orang
tua Keka. Sampai akhirnya Keka hendak dipindahkan ke luar negeri dan dijodohkan
dengan pemuda lain yang lebih jelas serta mapan, Keka pun mempertanyakan
ketulusan cinta Bong. Ia menunggu Bong sebelum pergi meninggalkan Indonesia.
Nyatanya, hingga detik terakhir Bong tidak datang ke bandara. Sejak saat itulah
Keka mengambil kesimpulan jika Bong tidak benar-benar mencintai.
Ternyata, meski sudah bersuami dan memiliki satu orang
anak, Keka tetap belum bisa melupakan Bong. Bong pun masih menyimpan rasa
cinta. Ia membiarkan kekasihnya pergi justru agar perempuan itu tidak terbebani
dengan ketidakjelasan hidupnya. Salah seorang sahabat Bong berkata,”Bong hidup
dalam simbol, dalam tanda. Bukan dalam kata-kata. Bong tak akan mengatakan: aku
cinta, tapi seluruh sikapnya menunjukkan itu. Bong mengagumimu sejak pertama,”
(halaman 54).
Keanehan dimulai ketika putri Keka yang juga diberi nama
Keka tertarik pada Bong. Bahkan ketika Keka hamil di luar nikah dengan seorang
pria, Bong menjadi orang yang merawat bayi Keka generasi kedua ini. Bong
menamai si jabang bayi dengan sebutan
Keka Siang. Dan yang lebih tidak normalnya lagi, setelah Keka Siang beranjak
remaja, ia nekat ingin menikah dengan Bong. Putaran takdir sudah mengikat Bong
dan Keka hingga dua generasi setelahnya. Seberapa besar menariknya wanita lain,
Bong tetap total mencintai Keka kekasih pertamanya.
Konflik dalam novel ini tidak diramu terlalu kompleks, tapi
sangat membuat penasaran pembaca. Siapa yang akan dipilih Bong di tengah
tekanan masalah cinta dan juga keruwetan hidupnya sendiri, menjadi poin menarik
yang diramu secara cerdas oleh penulis. Beberapa kalimat membuat kita terhenyak
dan meneliti kembali apa benar rasa cinta yang pernah atau sedang kita rasa itu
benar-benar murni? Apakah cinta yang kita gembar-gemborkan sudah benar-benar
terlepas dari balutan ego? Lewat novel ini kita akan sedikit menggali soal
kemurnian cinta dan juga kerumitan sistemnya yang sering membuat seseorang menjadi
bodoh.
Sepenggal kalimat dari paragraf pembuka bab 23 dari dialog
Keka dan Bong, bisa menggambarkan soal konsep cinta dan jodoh.
“Bong kamu percaya
cinta itu abadi?” tanya Keka.
“Pasti,” jawab Bong
seketika. “Yang tidak tahu, kepada siapa cinta abadi itu, karena pasangan kita
bisa ganti-ganti.”
Tidak ada komentar
Posting Komentar