Perempuan dengan Sayap di Tubuhnya

Cinta itu sama dengan percaya. Jika kau tidak memiliki kepercayaan padanya, maka matamu barulah jadi buta.

Gadis itu selalu mengingat dengan baik tiap pesan ibunya sebelum ibunya pergi, terbang jauh ke langit. Bagi ayah dan juga keluarganya yang lain, ibu gadis itu hanyalah mati. Namun, gadis itu yakin, jika ia melihat ibunya terbang dengan sayap terkembang di tubuh.

“Mungkin dia hanya shock, karena ibunya meninggal tepat di depan matanya. Ah kasihan, tapi itu lebih baik, karena ibunya sudah sakit keras terlalu lama,” kata tetangga yang juga bertugas mengasuh si gadis kecil.

Gadis kecil itu tumbuh dengan satu keyakinan. Jasad fisik ibunya hanyalah wadah untuk hidup di dunia, sementara jiwa sejatinya kini hidup selamanya di langit. Bukan tanpa alasan gadis yang sudah beranjak remaja itu percaya dengan ibu yang masih belum dianggap mati. Sebulan sekali saat purnama sedang penuh, perempuan dengan sayap di tubuhnya mendatangi kamar si gadis.

“Kamu, ibuku?” tanya si Gadis ragu-ragu, ketika perempuan bersayap datang pertama kali lewat jendela kamarnya yang dibiarkan terbuka.

“Nawang Sari, sayang. Kau bisa memanggilku Ibu,” kata perempuan bersayap itu lembut.

“Kenapa Ibu dulu pergi terlalu cepat?” tanya Nawang Sari.

Matanya membasah. Tumpukan kerinduan serta cibiran dari orang-orang di sekitarnya, sempat hampir membuat Nawang Sari percaya jika apa yang dilihatnya dulu hanyalah khayalan. Butuh sepuluh tahun untuk ibunya kembali berkunjung. Butuh sepuluh tahun baginya berusaha percaya jika ibunya belum meninggal dunia.

“Karena cintaku yang tidak dipercaya, makanya kuputuskan untuk segera pergi,” tukas Ibu.

Cukuplah ia tidak menyebutkan nama, dipanggil dengan sebutan Ibu membuat si perempuan bersayap merasa nyaman.

“Lantas, kenapa sekarang Ibu datang lagi?” tanya Nawang Sari lagi. Ia senang sekali karena tangan lembut ibunya kini sudah bisa ia genggam lagi.

“Untuk menepati janji, karena kau percaya padaku. Sekaligus mendongeng untukmu,” jawab Ibu.

Nawang Sari kegirangan. Meskipun umurnya sudah menginjak tujuh belas, dongeng adalah suatu hal yang selalu ia idam-idamkan sejak kecil. Dulu sebelum ibunya terbang ke langit dan tubuhnya belum diterjang sakit, Nawang Sari selalu didongengi tiap malam sebelum tidur.

“Kali ini Ibu mau mendongeng cerita apa? Aku sudah pintar membaca, hampir semua dongeng sudah kulahap,” kata Nawang Sari antusias.

Ibunya tidak langsung menjawab. Perempuan dengan sayap di tubuhnya itu membisikkan sesuatu di telinga Nawang Sari. Gadis jelita berambut ikal itu tersenyum lebar.

“Mari ceritakan padaku, Bu!”
**
Sudah berjalan lima purnama si Ibu datang berkunjung ke kamar Nawang Sari. Nawang Sari ingin ibunya datang tiap minggu, namun hal itu mustahil dilakukan.

“Karena jalan masukku ke Bumi hanya terbuka waktu bulan purnama,” kata ibunya.

Di tiap purnama, Nawang Sari akan terjaga sampai pagi untuk mendengarkan dongeng indah tentang cinta yang dipercaya, tentang cinta yang kehilangan maknanya hingga cinta yang dikhianati. Semuanya buatan ibunya sendiri.

“Lantas apa jenis cinta Ayah kepada Ibu?” tanya Nawang Sari.

Ibunya tak mau menjawab. Tiap kali disinggung soal Ayah, perempuan dengan sayap di tubuh itu hanya diam lalu mengalirkan air mata.

“Tanya sendiri pada ayahmu,” kata Ibu.

Semakin lama, ayah Nawang Sari pun curiga. Mengapa tiap purnama sedang penuh, ia mendengar putrinya seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang? Dan suara sosok misterius itu juga amat dikenalnya. Tetapi itu tidak mungkin, pikir ayahnya.

“Ayah, aku tahu kalau Ayah selalu menguping tiap kali bulan purnama,” Nawang Sari akhirnya membuka cerita di saat sarapan pagi pada suatu hari.

“Kamu bercakap-cakap dengan siapa?” tanya Ayah.

“Aku bercakap-cakap dengan Ibu,”

Cukup sudah. Ayah sangat marah dengan jawaban Nawang Sari. Bertahun-tahun ia sabar meski para tetangga dan juga keluarganya menganggap putrinya setengah gila. Prestasi gemilang di sekolah, tidak dibarengi dengan kesehatan pikiran, itu kata orang-orang. Nawang Sari selalu percaya jika ibunya terbang ke langit. Kini ia percaya jika ibunya datang berkunjung tiap bulan purnama.

“Kamu gila!” hanya itu yang keluar dari mulut Ayah.

Nawang Sari lalu mogok bicara. Ia merasa terpukul dengan komentar ayahnya. Orang lain boleh menghinanya tidak waras, tetapi baru kali ini Ayah berbicara sekasar itu. Ia pun tidak berbincang dengan Ayah berhari-hari, sampai bulan purnama berikutnya datang.

“Kenapa kamu sedih?” tanya Ibu.

Nawang Sari menceritakan semua kekecewaannya pada Ayah. Ibu tersenyum maklum.

“Begitulah cara ayahmu mencintaiku. Itulah alasannya mengapa aku pergi,” kata Ibu.

Tanpa mereka ketahui, Ayah sedang menguping di balik pintu. Ia yakin, suara itu adalah suara yang ia rindukan dalam mimpi. Dengan tekad kuat, dibukanya pintu kamar Nawang Sari dan mendapati putrinya sedang berbicara dengan perempuan bersayap. Perempuan itu adalah mendiang istrinya.

“Na...Nawang Wulan?” Ayah tergagap mendapati istrinya masih hidup dan bahkan semakin rupawan.

Potongan adegan kenangan bersambung di pikiran Ayah dan Nawang Wulan. Kenangan pertemuan tak sengaja di perpustakaan dan juga kisah cinta yang tak berlangsung hingga kini.

“Jangan pergi! Ternyata kamu benar-benar seorang bidadari.” Ujar Ayah.

Nawang Wulan tak ingin kedatangannya diketahui suaminya. Sebuah luka atas pengkhianatan dan juga ketidakpercayaan membuatnya ingin segera pergi.

“Kamu pergi dengan banyak perempuan dan meragukan pengakuanku sebagai seorang bidadari. Bagimu, wujud bidadari itu ada di perempuan-perempuan binal yang kau tiduri,”

Nawang Wulan mengusap rambut putrinya. Kakinya melangkah keluar dari jendela. Sayapnya terbentang lebar, ia siap terbang. Nawang Sari terisak, dirinya tahu jika ini adalah pertemuan terakhir dengan ibunya.

“Cintailah cinta, namun jangan terjebak di dalamnya hingga mata batinmu buta,” tutur perempuan dengan sayap di tubuh itu.

Dan Ayah roboh dalam penyesalan sembari memungut sehelai bulu indah yang terlepas dari sayap bidadari, bidadari hatinya.

Tulisan ini diikutkan dalam book giveaway blog Komposisi Kehidupan Kennissa

Biodata Penulis

Nama : Reffi Dhinar
Alamat : Desa Tenggulunan Gang Makam KH. Rahmat Syamsudin RT 17/RW 06, Candi-Sidoarjo, 61271
FB/Twitter : Reffi Dhinar / @Reffi_angel

2 komentar

Unknown mengatakan...

Halooo, Kak! Yuk, ikutan ekspedisi jelajah Kalimantan GRATIS dengan ikutan lomba blog "Terios7Wonders, Borneo Wild Adventure" di http://bit.ly/terios7wonders2015

Jangan sampai ketinggalan, ya!

Arif mengatakan...

Hai Reffi,

Tulisannya dikirim ke email ya: ken.giveaway@yahoo.com.
Dtiunggu. :D