Buatku,
suara deruman motor itu adalah lagu kebangsaan yang indah. Melebihi khidmatnya
para atlet nasional yang larut dalam lagu Indonesia Raya ketika mereka berhasil
mengharumkan nama negara di luar negeri, mengalahkan histeria saat diriku
terhanyut dengan lagu-lagu rock yang akrab di telinga tiap kali aku sedang
suntuk. Tidak ada yang bisa mengalahkan gejolak andrenalin yang timbul tiap
kali starter motor kunyalakan, dan kugas kencang-kencang.
“Kamu
itu pengecut, bukannya pemberani. Orang lain boleh kagum dengan kemampuanmu menyalip
motor lain atau mengendarai dengan kecepatan di luar rata-rata. Buatku kamu
hanyalah pengecut yang melarikan diri dari kenyataan pahit dengan deruman
motormu.” Kata Angel, sahabat baikku.
Aku
menertawakan pendapatnya. Bisa dibilang, bibir merahnya itu sangat hobi
mencerewetiku. Kebiasaan mengendarai motor kebut-kebutan tiap kali masalah dengan
Ayah muncul lagi, adalah hal yang sangat tidak disukai Angel.
Ia
hanya menasehatiku, tapi tidak memaksaku berubah. Hmm, mungkin ini yang bisa
disebut dengan sebuah ketulusan persahabatan.
Kalau
aku jadi dia, pasti sudah kutinggalkan orang bebal yang susah dinasehati atau
dikhawatirkan. Masalahnya, tiap kali mulutnya itu mencerewetiku, diriku malah
ingin tertawa. Wajahnya yang sangat ekspresif dan jujur, sudah cukup menyiratkan
semua kecemasannya.
“One,
two, three, mulaai!” Ipang melambaikan bendera amarah tanda balapan dimulai.
Motor
merah yang kukendarai menggerum kencang membelah malam yang sudah semakin dini.
Kesunyian dipecahkan suara-suara gas motor yang sedang bersaing menuju garis
finish. Baru mulai balapan, peluhku
sudah menggeranyangi dahiku. Sial, udara Surabaya yang begitu panas sudah
membuat kenyamananku berkurang. Aku paling tidak suka berkeringat. Ah ya,
keringat, aku sangat tidak menyukainya karena ketika berkeringat, berarti ada
dua hal yang terjadi padaku, kalau bukan udara yang panas berarti aku sedang
ketakutan.
Ketakutan
terbesarku bukanlah kematian. Ketakutan terbesarku adalah amarah Ayah yang tak
pernah berhenti menuntutku menjadi orang lain, sosok favoritnya.
“Kenapa
nilai ujianmu jelek lagi? Bukannya kamu sudah Ayah leskan mahal-mahal? Guru privat
yang datang itu adalah lulusan universitas terbaik di kota. Kerjaanmu cuma keluyuran
saja. Tidak mau belajar!” suara keras Ayah sangat lantang tiap kali murka.
Seember
air dingin akan disiramkan padaku. Tak peduli meski tubuh kurusku sudah menggigil.
Bahkan ketika Ibu berlari dengan membawa handuk besar untuk melindungiku,
keringat dingin justru membanjiri tubuhku. Aku sangat ketakutan. Rasa takut
yang sedemikian besar hingga mendorongku untuk mulai memberontak. Pemberontakan
yang kutemukan lewat balapan motor liar.
Ayah
selalu mengharapkanku menjadi seorang Dokter, seperti impiannya yang gagal ia
raih karena kekurangan biaya. Laki-laki yang sudah berhasil menyekolahkan
ketiga anaknya di sekolah-sekolah tebaik itu, memang bekerja keras speanjang
hari sebagai pegawai tingkat terendah hingga kini menjadi General Manager di sebuah
hotel ternama. Impiannya tidak pernah padam, namun sayangnya aku wajib
mewujudkannya sebagai anak sulung yang digadang-gadang sejak kelahirannya.
Aku
adalah seorang anak perempuan, tetapi ayahku mendidik selayaknya aku seorang
anak laki-laki. Ia tidak ingin aku tumbuh menjadi gadis manja, begitu alasan di
balik pukulan dan tendangan yang sering disarangkan di tubuh keringku.
“Awaaas!”
beberapa orang yang menonton balap liar dari tepi jalan berteriak padaku dan
juga pembalap motor lainnya.
Ajaib.
Hujan gerimis mulai turun. Suasana gerah pun mulai menyusut. Kesialan berikutnya
adalah, aku tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi turunnya hujan. Persetan
dengan hal itu. Kutingkatkan kecepatan motor, dan kusalip beberapa pembalap
lainnya yang kecepatannya sedikit berkurang akibat hujan yang turun semakin
deras.
“Apa
yang membuatmu terus bertahan di rumah meski Ayahmu bersikap begitu keras, Ar?”
tanya Angel suatu siang selepas kuliah.
Aku
tidak langung menjawab. Mataku waktu itu menerawang ke langit-langit kafetaria
fakultas kedokteran yang mulai ramai pengunjung. Angel masih menunggu
jawabanku, kedua tangannya bertumpu di atas tumpukan buku tebal yang menjadi
sahabatnya kemana-mana.
“Ibu
dan kedua adikku.” Jawabku akhirnya.
Angel
melengkungkan senyum manisnya. Pantas saja banyak laki-laki di kampus, termasuk
juga beberapa yang kutaksir, bisa bertekuk lutut di depannya.
“Kalau
begitu, berjuanglah buat mereka, jangan malah menyakiti diri sendiri.” Lanjut Angel.
“Menyakiti
diri sendiri?” tanyaku.
Angel
segera menyahut lagi,”Ya anggap saja kalau dengan mengingat Ibu dan
adik-adikmu, mereka bisa menjadi
reminder, semacam pengingat kalau kamu mulai mau balapan lagi. Aku nggak
nyalahin kamu sebagai cewek yang hobi balapan, masalahnya aku tahu apa alasannya
kamu ngelakuin itu.”
“Mulai
deh ceramahnya,” tukasku membuat lengkungan senyum Angel berubah lurus. Sebal.
“Kalau
kamu tidak berhati-hati waktu naik motor, dan malah menantang maut dengan
balapan liar, aku rasa kamu tidak benar-benar menyayangi keluargamu. Semua omonganmu
itu omong kosong. Kalau kamu sampai celaka lalu tewas, habis perkara. Tapi ada
air mata yang akan terus jatuh, itu air mata ibumu dan adikmu yang kamu sayang.”
Semua omonganmu itu omong kosong.
Aku rasa kamu tidak benar-benar
menyayangi keluargamu.
Seolah
waktu terhenti ketika ucapan Angel terngiang terus-menerus.
“Hei,
hati-hati!” seorang pembalap motor sport hijau mengumpat keras setelah aku
hampir menyerempet motornya.
Luar
biasa lucu sekali. Seseorang yang sedang memacu kecepatan motornya di jalanan,
mengumpat keras ketika motornya tak sengaja diserempet. Apakah mereka juga
masih takut mati? Kendali motorku semakin tidak stabil, ini pasti gara-gara aku
sulit berkonsentrasi.
One second left, rodaku mulai selip.
Third second left,
pandanganku mulai mengabur akibat kaca helm mengembun gegara hujan.
“Satu
koma? Nilai IP macam apa ini? Kamu bisa terancam DO kalau begini terus? Sebenarnya
apa yang kamu inginkan?” teriakan Ayah kali ini lebih kencang dari biasanya.
Sebuah
surat peringatan dari kampus kuberikan pada Ayah. Tentu saja ia tahu apa yang
kuinginkan. Aku ingin belajar bahasa dan sastra, bukannya mempelajari nama-nama
penyakit dan juga anatomi tubuh manusia yang membuatku muak.
“Kurasa
Ayah sudah tahu.” Ujarku dengan mata menantang.
Tak
perlu dijelaskan lagi bagaimana Ayah menampar pipiku. Semua itu sudah bukan
lagi menjadi cerita sedih. Hanya saja tatapan iba Ibu dan juga sorot takut dari
mata adik-adikku, kali ini tidak menyurutkan kakiku untuk mengambil kunci motor
dan menembus malam sunyi.
Kali
ini, maut jenis apa yang akan menyapaku? Patah kaki karena terserempet truk
sudah pernah kucicipi. Kepala nyaris hancur akibat terserempet aspal juga sudah
pernah kurasakan. Semuanya tidak berhasil mengantarkanku menuju dunia
berikutnya. Buat apa aku hidup lama-lama jika untuk bermimpi pun dilarang? Bukankah
orang yang tidak mempunyai mimpi dan dipaksa menjalani hidup orang lain sama
dengan zombie? Aku lebih pantas mati.
Bruuk. Sebuah benturan keras
mengembalikanku lagi di dunia nyata. Ada kilat-kilat cahaya menerobos mataku. Hujan
deras mengalir di pipiku, bibir dan tubuhku kuyup oleh bulir hujan sekaligus
air mata.
Kalau kamu sampai celaka lalu
tewas, habis perkara. Tapi ada air mata yang akan terus jatuh, itu air mata
ibumu dan adikmu yang kamu sayang.
Tubuh
pembalap yang memakiku tadi terguling-guling di jalan setelah ban motornya
selip. Kakiku mengerem mendadak. Kalimat Angel seolah menjadi hymne di
kepalaku.
Bukan
tubuhku yang sedang bersimbah darah itu, namun ketakutanku kali ini telah
mengalahkan rasa amarahku. Siluet wajah Ibu, adik-adikku, Angel, sibuk bergantian
menghantui pikiranku.
“Kendarai
motormu dengan benar. Gunakan helm dan juga jaga kecepatannnya, jangan
menggunakan emosi ketika mengendarainya.” Itu yang selalu dipesankan Angel padaku.
Kali
ini, aku patuh padanya. Karena kematian itu sedang terwujud di depan mataku. Darah
itu milik orang lain, namun aku sudah sedemikian gemetar ketika melihatnya.
(Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.' #SafetyFirst. Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan NulisBuku.com)
Tidak ada komentar
Posting Komentar