Bagaimana Kabar?


Bagaimana kabarmu? Itulah yang selalu kubayangkan di kepalaku ketika kudengar kabar kalau kakimu terluka saat sedang bekerja. Bagaimanapun juga meski sudah sebulan lebih kita saling tidak bertegur sapa di ruang pesan, aku selalu memindaimu dari kejauhan. Itulah gunanya punya banyak teman. Bagaimana ya, aku punya banyak pertanyaan untukmu namun sikapmu yang biasa-biasa saja setelah menerima kado ulang tahun dariku, penantianku untuk menunggu pesan darimu selanjutnya, membuatku untuk memilih hiatus sementara.

Mungkin kamu sedang bertapa mencari jawaban. Perbedaan-perbedaan prinsip yang bagimu mungkin butuh banyak pertimbangan, membuatku tahu diri untuk tidak terlalu menggantungkan harapan. Aku cukup tahu, dan aku tidak ingin memaksamu.

Seringkali aku berkhayal bisa bercengkerama berdua saja denganmu seperti waktu kita menunggu klien di bandara. Memang itu bukan kencan, tapi buatku waktu-waktu berdua seperti itu sangatlah langka. Kita tersenyum malu-malu. Kamu yang tidak berlama-lama menatap mataku, aku yang tertunduk tiap kali mendengarkan suaramu menyebut namaku. Padahal ini bukan pertama kalinya aku jatuh hati, tapi entah mengapa di hadapanmu aku menjadi perempuan gagu. Jujur saja, aku tidak pernah segugup ini sebelum-sebelumnya.

Bagaimana kabar?

Dua kata itu kuketik di ponsel pintar, lantas beberapa detik kemudian kuhapus lagi. Otakku semakin gelisah kalau dalam tidur ada kamu tiba-tiba berkunjung melalui mimpi. Momen dimana sesekali bisa bertukar salam singkat setelah aku tidak bisa terlalu sering bertemu denganmu ialah pemicu genderang debar di dalam dadaku. 

Kamu mungkin tidak tahu. Aku berusaha menghindar saat kita berada di satu tempat. Nyatanya, Tuhan memberikan kesempatan lewat pertemuan tak sengaja dan semua pertahananku jebol seketika. Kedatanganmu yang mendadak, tanpa pemberitahuan kau membuka pintu ruangan, tanpa sadar kini sering kunantikan. 

Bagaimana kabar? 

Ya ampun, aku memaki diriku habis-habisan. Jelas-jelas kamu sudah berusaha menyapaku duluan tiap kali ada kesempatan bertemu, masih saja hari ini bibirku kesulitan untuk mengeja namamu. Sekadar menayakan kondisi kakimu yang terluka itu saja aku malu. Dan sampai akhirnya kukatakan agar kamu segera pulang sebab kakimu yang diajak sulit berjalan, wajahku memerah seperti kulit kepiting rebus. Mengapa sulit sekali buatku mengungkapkan? Sulit sekali menjadi perempuan seperti aku.

Kadang aku terperangah dengan keajaiban harapan. Iya, aku cukup menahan diri untuk tidak terlalu mengikatmu lewat perasaan. Aku menyelami tatapan serta tumpukan pertanda yang pernah dan masih kauberikan. Baru dua hari lalu aku berdoa semoga saja kakimu tidak apa-apa, selalu kupantau kondisimu lewat penglihatan kawanku yang berada satu tempat denganmu. Cukup senang jika kamu masih bisa tertawa keras. Ternyata, sebuah urusan mengharuskanmu berkunjung ke tempatku.

Bagaimana kabar? Aku masih terjerat kerinduan. Kamu boleh menyebutnya apa saja. Buatku berujung satu kata saja meski tidak pernah terucap gamblang, yakni kusebut ‘sayang’.

2 komentar

Ila Rizky mengatakan...

Uhuk, ada yang sedang galau :P

Reffi Dhinar mengatakan...

hahahah, galaunya dibuat nyeni dikit :p