Pesan untuk Para Pencibir Kesendirian

Kalian tersenyum lantas berbisik-bisik di depan kami, kaum sendiri yang masih menanti hati murni, dengan topeng bernama simpati. Apalagi kami adalah perempuan yang notabene kalian nilai sudah seharusnya tidak lagi sendiri. Pertanyaan-pertanyaan dari yang munculnya dibungkus kelakar atau malah paling satir, dibuat seolah kalian peduli.

Padahal, kalian tidak sepeduli itu. Kalian hanya kasihan dan diam-diam mencibir dalam hati, menyebut jika kami terlalu pemilih.


Pernikahan Bukan Akhir, Melainkan Awal

Aku dan para kaum sendiri itu juga punya asa yang sama. Suatu hari kami ingin bersanding dengan seseorang yang bisa mendampingi hingga tua. Bagiku yang beberapa kali menemukan jalan buntu atau gagal ketika proses pengenalan dengan calon pangeran, tak hanya butuh kekayaan ataupun tempat tinggal nyaman. Hal pertama yang aku nilai, apakah kami sejalan (baik dalam agama maupun visi masa depan)? Apakah ia mampu menerima karakterku yang moody? Apakah aku tidak akan muak jika bersama orang ini terus-menerus? Dan yang paling penting, bertanggung jawabkah ia dengan pilihannya serta apakah kami bisa membangun sikap saling pengertian?

Jika ada seorang gadis yang membayangkan pernikahan sebagai akhir indah sebuah penantian, kami sarankan dia segera bangun dari mimpi sementaranya.

Pernikahan bukan hanya soal menata ruang dekorasi dan juga mendesain undangan tercantik. Pernikahan bukanlah kebahagiaan yang tiba-tiba datang dan tidak akan mengalami pasang surut. Kami belajar, jika pernikahan adalah komitmen dan tanggung jawab yang dibalut dalam kasih sayang persahabatan. Masa bulan madu tidak akan berlangsung lama. Mungkin kamu bisa jengkel dengan kebiasaan mendengkurnya, mungkin kamu bisa marah dengan kebiasaan malasnya. Semua bisa teratasi jika ada rasa pengertian. Kami belajar dari para orang tua yang masih bergandengan tangan penuh kasih hingga sekarang.


Hargai Hati Kami

Sampai di sini mungkin kalian menyebut kami idealis. Bukan idealis yang kami kejar. Justru kalianlah yang terlalu sempit berpikir. Kalian beranggapan jika ideal itu menikah di usia sekian, ideal itu jika menikah lalu segera memiliki keturunan, ideal jika kami sebaiknya menerima saja lelaki yang kasat mata mau mendekat. Justru idealisme kalian yang sesat.Toh jika kami sudah menikah, pertanyaan berikutnya adalah kapan segera menimang bayi? Apakah kami akan bekerja atau mengurus keluarga total di rumah? Jika kami memilih salah satu, apakah tidak sayang dengan opsi lainnya?



Bibir kalian tidak akan berhenti mencari tahu, tak peduli jika kami terganggu.Wajar saja jika kami akhirnya memilih mengabaikan kalian. Diam lalu pergi daripada marah berlebihan. Kami tersenyum, padahal kadang itu hanya pura-pura. Apalagi jika kalian menuduh yang macam-macam.

Dalam pencarian dan penantian, kami para kaum sendiri, memilih untuk mencapai impian. Kami tidak lupa jika kami juga tidak akan selamanya sendiri. Jadi tolong, jaga hati kami seperti kami menghargai pertanyaan kalian.

4 komentar

Dian Restu Agustina mengatakan...

Benar sekali Mba Reffi, pernikahan bukanlah akhir melainkan awal kehidupan yang pastinya butuh persiapan matang. Terus semangat ya Mba..!Wish U'll be a good motivator & inspirational writer :)

Reffi Dhinar mengatakan...

terima kasih atas supportnya, semoga bermanfaat :)

Adinizm mengatakan...

Seharusnya mereka yang selalu bertanya kapan nikah kapan nikah, baca tulisan ini deh ! Biar mereka paham bagaimana perasaan kami yang masih sendiri

Reffi Dhinar mengatakan...

@adinizm: Ketawa di luar, miris di dalam, haha yup I feel that.