Seperti Jong Hyun, Kita Punya Pertarungannya Masing-Masing


Saya adalah penggemar drama korea meski tak sampai menjadi penggemar K-Pop. Namun saya bisa memahami bagaimana shock dan terpukulnya fans Jong Hyun, salah satu personel boyband Shinee yang sudah terkenal di dunia internasional. Jong Hyun dikenal tak hanya karena penampilan fisik yang menawan, khas seorang idol, namun juga suara dan talenta menulis lagunya sudah sangat dikenal di dunia musik Korea Selatan. Karena banyaknya postingan mengenai mendiang Jong Hyun yang ditengarai wafat bunuh diri di usia cukup muda, masih 27 tahun, akhirnya saya turut membaca mengenai kiprahnya selama hidup. Hal yang menyentuh hati ialah ia sudah bertarung melawan depresi cukup lama hingga akhirnya pertarungan itu diakhiri dengan sebuah keputusan yang tragis, bunuh diri.


Bagi agama manapun, bunuh diri dianggap sebagai tindakan bodoh dan neraka adalah ganjarannya. Saya tak menepis hal tersebut. Tetapi alangkah sedihnya ketika membaca komentar-komentar tak bernada simpati dan cenderung menghina mendiang Jong Hyun di tengah para fansnya yang sedang berduka. Kita tak tahu bagaimana sedihnya sang idola dan beban berat seperti apa yang ia tanggung sampai mengambil keputusan yang terlalu mendadak. Depression is a silent killer.

Sumber gambar: Pinterest 

Secara fisik seorang penderita mental health bisa jadi terlihat sangat sehat dan ceria, tetapi jauh di dalam hati dan pikirannya, depresi akan menggerogoti kestabilan emosi sampai tidak bisa berpikir dengan jernih. Seharusnya mereka tak dihina atau dicacimaki, sepatutnya kita yang jauh lebih kuat mau memberikan dukungan.


Manusia memiliki pertarungannya sendri-sendiri. Seperti halnya saya yang kadang mengalami kecemasan berlebih jika sedang dirundung banyak masalah. Pertama kali saya merasakan hal itu adalah saat kuliah di semester akhir. Banyaknya tugas, bekerja freelance rangkap-rangkap dan juga adanya masalah pribadi membuat saya sering insomnia, sulit makan sampai mengalami mood swing yang parah. Hal itu bisa saya atasi dengan beribadah, curhat atau mendengarkan musik favorit. Masalah bisa terulang jika saya memiliki banyak deadline menulis secara bersamaan, dan karena sikap perfeksionis akan sebuah pekerjaan, hal itu bisa sangat mengganggu. Maka segera saya lepas hal-hal yang memang membebani dan mencoba mengambil pekerjaan dengan deadline yang tidak menyiksa. Saat ini mood saya juga bisa lebih terkontrol.


Apa yang saya alami barangkali hanyalah hal kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang sedang menjalani pertarungan dengan sisi gelap dirinya. Seorang kawan baik saya mengaku jika ia mengalami sindrom baby blues hingga sempat membenci bayinya sendiri. Padahal ia sangat menanti kehadiran si buah hati dan menjalani persalinan yang cukup sulit. Katanya,”Aku nggak tahu kenapa benci sama bayiku. Rasanya tiap kali dia nangis, aku pengen kabur dan marah. Aku takut melahirkan lagi. Aku takut mengalami sakit yang parah seperti dulu.” Beruntungnya, kawan saya memiliki suami yang siap sedia untuk ikut merawat bayi mereka dan juga tidak memaksa kawan saya dengan cara yang kasar. Secara perlahan ia membuat kawan saya belajar menjadi seorang ibu. Coba bayangkan jika si suami menyalahkan kawan saya dan menyebutnya sebagai ibu tak becus. Ada kalanya, laki-laki tak mau ikut campur dengan tetek-bengek merawat bayi dan menyerahkan sepenuhnya kepada istri. Betapa banyak kasus seorang ibu yang tega membunuh darah dagingnya karena sindrom baby blues atau tekanan rumah tangga yang tak tertangguhkan. Menurut para ahli, perempuan lebih rentan mengalami depresi.



Pertarungan dengan depresi sebenarnya sudah dirasakan nyata oleh penderitanya, hanya saja ketakutan akan pandangan sosial jika seseorang berkonsultasi ke psikiater sebagai pengidap kegilaan juga menjadi salah satu faktor enggan memeriksakan diri. Pemicu depresi bisa berbeda-beda, misalnya seorang anak bisa depresi dan bunuh diri jika mendapatkan nilai yang jauh dari harapan orang tua, seorang pria bisa depresi jika tak kunjung mendapat pekerjaan, seorang remaja bisa depresi karena putus cinta. Penyebab depresi bisa jadi terkesan sepele di kacamata orang lain. Namun tidak pantas jika kita meremehkannya, mengguruinya dan hanya menasehati mereka tanpa mau rendah hati untuk lebih banyak menjadi pendengar. Mereka butuh pelukan dan pengertian, bukannya penghakiman.


Jadi, mulailah untuk lebih mengerti. Bagi anda yang sedang mengalami kelelahan hebat dengan diri sendiri, segeralah cari pertolongan. Dan bagi kita yang sedang dimintai pertolongan, luangkanlah waktu untuk menjadi tempat keluh kesah sementara dan peluklah mereka bukan seperti pasien sakit jiwa, melainkan sebagai manusia yang membutuhkan banyak siraman kasih sayang. Tuhan pun akan selalu ada untuk kita yang sedang membutuhkan pendampingan.

6 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

orang seperti itu memang perlu didengarkan ya dan dimengerti

Reffi Dhinar mengatakan...

iya, mereka butuh banyak dukungan

Junita Susanti mengatakan...

wAH... aku juga sedih banget kak pas tahu berita kematian JongHyun, kirain hoax... salut deh untuk para Kpoper yang begitu luar biasa mencintai idola-nya, jadi artis gak selama enak ya ternyata.. hehe

Eni Rahayu mengatakan...

Sayang sekali ya, artis ganteng tapi matinya tragis,naudzubillah... Semoga kita selalu dalam lindunganNya ya

Arina Mabruroh mengatakan...

Aku jga pernah merasakan, saat bayi rewel, badan sakit, dikatain bukan ibu sebenarnya karena melahirkan SC, denger nyinyiran tetangga, fyuuh...
rasanya desperate banget, ngerasa jadi ibu yang nggak becus dan jadi sering nangis. alhamdulillah ada keluarga yang menguatkan.

Sekarang mah cuek aja sama nyinyiran orang, biar bahagia :D

Bunda Erysha mengatakan...

Bener banget bun. Daripada kita sibuk mengkritik mereka yang menyerah bertarung dengan diri sendiri. Lebih baik kita belajar berempati. Belajar untuk peka dengan kondisi orang lain. Belajar untuk lebih peduli dan merangkul mereka. Bukannya menyalahkan ya