Karena Saya Tidak Mau Menyerah

Pernahkah kamu bermimpi lalu lama kelamaan mimpi itu kamu pendam karena orang lain merendahkan? Saya pernah, tapi untungnya tidak lama. Dulu di masa kecil, semua teman-teman punya impian yang setipe seperti ingin jadi dokter, ahli medis, atau pilot. Rata-rata cita-citanya keren dan berbobot.



Sebenarnya saya punya impian, suatu hari ingin menjadi ahli bahasa atau penulis. Namun, karena tak ada yang bermimpi begitu,  impian pun beralih menjadi dokter gigi.

Hobi selalu berlanjut, sampai SMU saya masuk kelas IPA karena merasa kelas IPA itu lebih dipandang, padahal jiwa saya IPS, tapi saya benci Akuntansi. Lulus SMU, pilihan pun berkubang pada Farmasi, Kesehatan Masyarakat dan jurusan lain yang sains banget. Dan saya juga memasukkan jurusan HI di kolom SNMPTN. Alhamdulillah saya tidak lolos 😁

Karena sesungguhnya saya ikut setengah hati. Ini bukan jiwa saya, lalu Papa meminta saya mengambil jurusan Sastra Inggris karena prestasi bahasa tersebut sudah cukup bagus sejak zaman SD. Tapi saya tegas menolak. Alasannya, saya sudah lumayan bisa kalau untuk berbicara, mendengar atau menulis sederhana. Kalau saya harus menekuni lagi di bangku kuliah, saya takut mati bosan.

Teringat dengan buku-buku bahasa Jepang yang tidak bisa saya pahami, iya saya hobi membeli buku bacaan dalam bahasa Jepang. Padahal buku itu setara pelajaran tingkat advance, namun saya membatin jika suatu hari nanti saya harus bisa membacanya. Saya bertekad masuk jurusan Sastra Jepang.

Berdebat dengan Papa, gondok dan agak cemas apakah saya bisa lulus tepat waktu, membuat saya bertekad kuat agar bisa menjadi yang terbaik bagaimanapun caranya.

Dan, empat tahun itu seperti membuka keran yang terlalu lama buntu. Saya bahagia meski belajar keras tiap hari demi menjaga nilai. Saya akan galau kalau ada nilai B. Pernah ada satu nilai C karena keteledoran saya, satu-satunya nilai C dalam empat tahun sukses bikin saya malas makan. Lebay? Jelas tidak. Karena saya terbantu dari beasiswa. Saya bukan anak orang kaya, uang saku pun pas-pasan. Orang tua akan selalu membiayai penuh, tapi saya ingat dengan janji di awal kalau saya akan menjadi yang terbaik. Pun melihat Papa bekerja keras demi memberi anak-anaknya pendidikan terbaik membuat saya ingin menangis. Saya tahu diri untuk tidak bersikap manja.

Di momen kelulusan, saya memberi orang tua surat undangan wisuda. Mereka terkejut karena di tahun terakhir saya sama sekali tak pernah minta uang bimbingan, uang print dan biaya-biaya tugas akhir lainnya hingga biaya wisuda. Diam-diam saya bekerja freelance dengan menulis dan menerjemahkan.

Di titik ini ketika saya sudah bekerja menggunakan bahasa asing, belajar hal baru dari bahasa asing, bisa menabung sedikit-sedikit  dan traveling dari menulis, seketika membuka mata saya. Andai saya menjadi dokter, atau sesuatu yang bukan 'jiwa' saya, apakah saya akan bahagia? Andai saya menyerah di tengah perjalanan, apakah saya akan gembira?


Tak mudah, dan banyak yang mencibir pilihan-pilihan saya. Saya belum menjadi sesukses JK Rowling atau menjadi ahli bahasa super. Tapi saya adalah orang sukses yang berhasil mencapai impian saya di tiap fase. Saya bisa sampai di titik ini berkat doa orang tua dan dukungan para sahabat. Merekalah yang menjadi bensin di saat lemah.


Saya belum sempurna, tapi sesekali menghargai pencapaian pribadi bukankah bukan hal yang salah? Jadi apapun yang sudah kamu capai hari ini, sesederhana apapun itu, busungkanlah dada namun jangan lupa untuk tetap rendah hati.

4 komentar

Djangkaru Bumi mengatakan...

Aduh saya pernah mengalami putus ada ,dan akhirnya impian saya menjadi gagal total. Beruntunglah punya keluarga yang bisa memberi semangat.

titan gel mengatakan...

semangat

Reffi Dhinar mengatakan...

Dikuatkan lagi dengan semangat dari Tuhan :)

Reffi Dhinar mengatakan...

Terima kasih :)