Perempuan Penguat

Ma, aku mencintaimu, itu sungguh. Namun dulu di saat aku masih sangat kecil, ketika aku belum mengetahui apa itu hitam dan putih, aku pernah tidak menyukaimu. Dulu di saat aku baru duduk di sekolah dasar, Mama sangat membatasi ruang gerakku untuk bermain di luar rumah. Di saat teman-temanku bermain bebas sepulang sekolah, Mama akan mengawasiku supaya aku segera tidur siang. Di sore hari pun begitu. Aku wajib mengikuti kelas mengaji di salah satu TPQ dekat rumah. Praktis, hampir tidak ada waktu bermain buatku kecuali saat istirahat di sekolah.

Aku juga tidak akan pernah lupa saat Mama mengajariku mengenali kata dan mengenal angka. Mama akan berteriak keras jika aku tak bisa juga memahami bahkan jika aku berbuat kenakalan, Mama tak segan mencubit kakiku. Iya, Mama tak pernah memukul bagian tubuhku yang lain karena beranggapan itu bisa membuat cedera yang berbahaya. Tetapi meski hanya kaki, aku sangat marah waktu itu. Aku hanya anak kecil, kenapa harus memiliki jadwal ketat untuk belajar dan mengaji dan tidak boleh bermain bebas di siang hari? Kenapa ibu-ibu temanku lainnya bebas membiarkan anak-anaknya berkeliaran? Aku tak bisa meluapkan amarah itu hingga sengaja kutuangkan lewat tulisan. Tulisan pertamaku adalah keluhan-keluhan tentang sifat keras dan kedisiplinan Mama.

Dan semua itu berubah dalam satu kejadian yang tak akan pernah kulupakan.

Apakah Mama pernah ingat ketika aku mengalami kekalahan perlombaan untuk pertama kali? Aku dikenal sebagai siswi pintar dan selalu meraih juara kelas, sehingga pihak sekolah selalu mengirimku untuk ikut lomba akademik. Beberapa kali aku mendapat juara, dan saat itu aku sedang tidak beruntung. Aku kalah, tidak kudapatkan satu nomor juara sekalipun. Ternyata kalah itu tidak enak. Aku kehilangan nafsu makan. Buku-bukuku juga sama sekali tak kusentuh. Kukunci kamar dan menangis seharian. Lalu Mama mencoba membujukku, tapi bukan kalimat penghiburan yang keluar dari bibirmu. Mama malah berkata,”Kamu kalah di bidang Matematika, kan? Jangan menangis! Kalah itu biasa. Tunggu di rumah, Mama akan segera kembali.”

perempuan kuat


Lalu Mama keluar rumah mengendarai sepeda tua kita, menerobos hujan deras entah akan pergi ke mana. Hampir sejam aku menunggu. Setelah Mama pulang, aku bertanya-tanya. Mama menepuk kepalaku dengan kasih sayang dan bilang,”Aku sudah menemukan guru privat Matematika terbaik buatmu. Mulai besok kamu bisa datang ke rumahnya untuk les privat. Perbaiki kekuranganmu. Kalah itu biasa. Jika kalah, kamu harus mengetahui apa yang kurang lalu perbaiki. Bukannya sedih sampai tidak makan. Jadi, ayo makan sekarang.”

Ajaib. Kesedihanku terangkat seketika. Nafsu makanku pun kembali dan aku semangat belajar lagi. Berikutnya aku belajar lebih giat dan predikat juara bisa kuraih, meski bukan di perlombaan yang sama. Semangat untuk berkompetisi namun juga siap jika tidak menang sudah kutumbuhkan sejak kecil. Berkompetisi adalah ajang untuk mengasah mental sekaligus belajar rendah hati. Mama mengajarkan itu padaku.

Kini, di  saat aku sudah memasuki kehidupan dewasa, aku selalu terharu jika mengingat Mama. Mama adalah sosok perempuan yang siap mendidik anak-anak sekaligus menjadi istri yang selalu dirindukan Papa. Aku melihat betapa Papa selalu memandang Mama dengan penuh kasih sayang. Mungkin Mama bukanlah perempuan lembut yang selalu bermanja-manja, namun kau adalah sosok perempuan kuat bersuara lantang yang tak bisa diremehkan. Mama jugalah yang pertama kali mendukung impian-impianku. Katamu,”Perempuan memang harus bisa menjadi seorang ibu yang cerdas, istri yang pengertian namun tidak mudah tumbang.”

Jika Mama mudah putus asa, pasti Mama akan pergi dari rumah ketika Papa mengalami kebangkrutan. Namun Mama malah berdiri mendukung Papa, menguatkan hingga ekonomi kita membaik kembali. Terlalu banyak kata-kata cinta yang ingin kusampaikan pada Mama. Terlalu banyak pesan dan nasihat dari Mama yang menjadi penguat prinsipku. Jadi lewat tulisan ini, ingin kusampaikan, maaf aku pernah salah memahami caramu mencintaiku. Aku sekarang tahu jika Mama ingin agar aku tumbuh menjadi kuat meski aku perempuan. Mama ingin aku tumbuh menjadi cerdas agar anak-anakku kelak bisa kudidik dengan baik. Mama, aishiteru. Aku mencintaimu, selalu.

Tidak ada komentar