Dia Yang Mengetuk Pintu


Ini mimpi. Tentu saja aku tahu kalau ini adalah mimpi, lebih tepatnya mimpiku sendiri. Aku mencubit kedua pipiku, masih terasa sakit. Kemudian kugosok tanganku dan meniupnya, terasa hangat. Bagaimana caranya aku kemari? Tentu saja dengan cara tertidur. Aku sudah sangat mengenal tempat ini. Sebuah padang rumput hijau yang di tengahnya berdiri penginapan unik. Penginapan itu selama ini hanya kulihat dari kejauhan. Cerobong asapnya terus mengeluarkan asap beraroma sedap. Bagaimana aku tahu kalau bangunan yang tersusun dari balok-balok kayu itu sebagai penginapan? Mudah saja. Liha papan nama yang terpasang di luar pagar sedang itu, tertulis ‘Paradise Inn’ yang kalau diartikan Penginapan Surga. Papan nama berbentuk lengkung di bagian atas dan juga lurus di sisi lainnya.

“Ayo segera masuk ke sana,” perntahku pada kakiku yang jelas-jelas merasakan basahnya rumput yang sedang kuinjak.

Karena aku sering mampir ke tempat ini ketika sedang tertidur lalu bermimpi, maka sudah bisa kuperkirakan di mana pintu masuknya dan juga aku mudah beradaptasi dengan keramaian di dalamnya. Orang orang sedang sibuk dengan makanan, bersenda gurau di ruangan yang ternyata cukup luas. Dari halaman depan, penginapan ini terlihat seperti  pondok kayu sederhana. Oya, aku lupa jika ini adalah alam mimpi. Tentu saja semua hal aneh bisa terjadi di sini.

Kruyuuk. Perutku bergemuruh. Memalukan. Di alam mimpipun aku bisa kelaparan. Oya aku ingat, sebelum tidur tadi, aku hanya menghabiskan satu bungkus snack keripik balado berukuran sedang. Tidak makan malam dengan menu yang tepat, sepertinya membuat lambungku memberontak.

Ketika duduk di satu-satunya meja yang kosong, aku mulai merasa gelisah. Ada seseorang yang sedang mengawasiku. Pengunjung yang duduk merapat dengan kawan atau mungkin keluarga mereka, tidak memberiku celah untuk mengira siapa yang kira-kira sedang mengawasiku.

“Rio?” pekikku dalam hati.

Kenapa lagi-lagi dia muncul di mimpiku? Apakah dia tidak punya alam mimpi sendiri? Aku segera pergi menuju tangga yang menghubungkan ruang makan di lantai bawah menuju kamar-kamar penginapan di lantai berikutnya. Rio tidak mengikutiku. Aku memilih untuk bersembunyi di sebuah kamar yang terbuka. Ceklik, pintu itu bisa kukunci rapat.

Satu menit. Dua menit. Lima belas menit, lalu sebuah ketukan halus mengejutkanku.

“Hana,” kata Rio segera setelah kubuka pintu itu.

Terjadi aksi dorong-dorongan antara aku dan Rio dengan pintu di antara kami. Tanganku sudah licin berlumuran keringat. Dalam satu dorongan lumayan kuat, Rio berhasil merangsek masuk.

“Jangan tutup pintumu!” katanya tegas.

**

Ceritaku yang sedang kutulis baru saja selesai saat Rio sedang masuk ke dalam kantor. Sedikit mengejutkan karena potongan rambut terbarunya sama persis dengan yang ada di mimpiku.

“Hana, kenapa kamu bengong?” Rio menghampiri mejaku dengan senyum paling manis yang bisa ia buat.

Sekuat tenaga aku tidak ingin menatap wajahnya lama-lama. Ingat Hana, dia adalah Rio, pemuda yang pernah mencuri ciuman pertamamu di malam Ospek lima tahun lalu. Dia adalah pemuda yang sudah sangat kau benci karena tingkah bengalnya. Gara-gara dia, aku menjadi jomblo mulai dari awal kuliah hingga saat ini kami bekerja satu kantor. Ciuman kilat yang dilakukan di depan banyak orang membuatku digelari Nyonya Rio secara mendadak.

“Semalam sepertinya aku bermimpi tentang kamu. Ah, semacam lucid dream ya, aku ingat dengan jelas kronologisnya,” kata Rio,”di dalam mimpi itu aku mendobrak pintu yang semula kamu kunci,” bisiknya lembut di telingaku.

Jantungku berdegup cepat. Pintu itu sepertinya berarti sesuatu.

“Kamu juga bermimpi?” tanyaku gugup.

“Kenapa wajahmu pucat?” Rio keheranan,”tentu saja aku bisa bermimpi. Hmm, mungkin itu artinya pintu hatimu akan sedikit terbuka untukku? Bisa jadi kan? Who knows?” ujarnya serawa tertawa lebar.

Tidak ada komentar