Walking Tour Mengenang Sejarah Kawedanan Krian



Walking tour ini bikin candu. Makanya ketika Rumah Budaya Sidoarjo mengumumkan jadwal tamasya, saya gaspol aja daftar. Walking tour mengenang sejarah di Kawedanan Krian ini membuat saya jadi makin cinta kota kelahiran saya sendiri, Sidoarjo. Ternyata, banyak spot menarik yang bisa dijadikan bahan cerita.


Kawedanan Krian sekarang namanya menjadi Kecamatan Krian. Dahulu, daerah tersebut menjadi bagian dari Karisedenan Surabaya. Rombongan mengunjungi kecamatan  Balongbendo, Krian, Prambon, Tarik, dan Wonoayu. Tentu saja persiapannya penting. Gunakan pakaian dan alas kaki nyaman, topi atau payung, dan kondisi fisik prima karena waktu itu di bulan Desember 2023, Sidoarjo masih jarang hujan diiringi panas menyengat.



Bagian Sejarah Bisnis Gula Zaman Kolonial

Tujuan jalan-jalan kali ini untuk menyusuri sisa masa peninggalan Hindia-Belanda di Kawedanan Krian. Pada masa Hindia-Belanda, ada sekitar 20-an pabrik gula berdiri. Pada era tersebut, daerah-daerah di Sidoarjo banyak dijadikan perkebunan gula. Tidak heran kalau daerah Krian ini sampai sekarang masih banyak tanaman tebunya, rupanya ini sudah sejak dulu kala.

walking tour kawedanan krian
Dapat brosur dan tanda peserta


Ekonomi Berkembang karena Pabrik Gula

Semasa pemerintahan Hindia-Belanda, di Sidoarjo memiliki banyak kebun tebu. Banyaknya pabrik gula tersebut menciptakan keramaian seperti pemukiman karena terdapat perputaran ekonomi di sana.


Bisa dibilang, pabrik gula ini menyerap tenaga kerja kaum pribumi juga. Meningkatnya kondisi ekonomi masyarakat, membuat pertambahan penduduk pun semakin cepat dan pemukiman semakin meluas.


Menurunnya Bisnis Gula

Bagaimana bisa saya tahu tentang sejarah kondisi ekonomi masyarakat di Kawedanan Krian? Tentu saja dari storyteller yang turut mendampingi kami. Di dalam bus mini, storyteller menceritakan sejarah. Apalagi peserta tamasya mendapat camilan mengenyangkan, air mineral, dan brosur yang berisi rangkuman sejarah tempat yang akan kami kunjungi.


Setelah bercerita tentang perkembangan ekonominya, saya juga tertarik dengan masa menurunnya bisnis gula di Sidoarjo pada masa penjajahan Jepang.


Banyak pabrik gula ditutup karena negara Jepang tidak punya pengalaman dalam menangani  bisnis gula. Setelah Jepang kalah oleh Sekutu, Belanda berusaha kembali menguasai bisnis gula dan mengembangkannya.


Walaupun terlihat menjanjikan, bisnis gula juga sempat mengalami krisis. Dalam kurun waktu 1850-1940 itu banyak krisis terjadi, seperti Perang Dunia 1. Akibatnya, terjadi surplus gula karena permintaan gula menurun dan krisis malaise yang membuat bisnis gula hancur.



walking tour kawedanan krian
Di depan rumah pejabat pabrik gula


Bangunan Saksi Sejarah Bisnis Gula

Yang paling menarik dari sesi tamasya semi walking tour tentu saja mengunjungi objek bangunan historikalnya. Sedih sekali melihat sisa bangunan bersejarah di Sidoarjo berjumlah sedikit. Tidak seperti Malang dan Surabaya yang masih tetap dirawat atau minimal dijadikan bagian sejarah kota.


Rumah Ahli Kimia Pabrik Gula

Bangunan pertama yang  kami kunjungi adalah rumah ahli kimia Pabrik gula Popoh. Pabrik Gula Popoh ini masih satu manajemen dengan Watoetoelis. Di Sidoarjo, pernah ada asosiasi  Arsitek Hindia-Belanda yang memperbaiki struktur bangunan Hindia-Belanda.


Menurut para arsitek tersebut, selera dan pilihan desain bangunan awal di sekitar pabrik gula termasuk buruk karena pendirinya berasal dari militer. Para arsitek Hindia-Belanda di Sidoarjo pun merenovasi bangunan dengan lebih cantik.


Depan rumah kuno


Tidak diketahui siapa nama ahli kimia tersebut, tetapi kami bisa membayangkan situasi zaman dulu dengan khidmat. Salah satu ciri atap bangunan yang ada di Sidoarjo ini adalah atapnya yang curam karena curah hujan cukup banyak. Ketinggian atap juga berguna untuk membuat sirkulasi udara lancar dan lebih sejuk. Rumah tersebut sekarang menjadi Dinas Pendidikan Wonoayu


Pegadaian, Solusi Masalah Ekonomi Sejak Dulu

Tujuan kunjungan kedua adalah ke Pegadaian. Saya juga baru tahu kalau Pegadaian ini kehadirannya sudah sejak zaman kakek nenek buyut belum lahir, hahaha. Bangunan Pegadaian ini berdiri tahun 1912.



walking tour kawedanan krian



Tujuan dari pegadaian ini berdiri untuk mencegah dampak rentenir. Karena perkembangan ekonomi meningkat dan masyarakat semakin ramai, muncullah rentenir di pasar-pasar tradisional dengan bunga besar mencekik leher.


Pada 1912, ketika sedang jaya-jayanya pabrik gula, rentenir ini tumbuh seperti jamur. Dari sebuah pegadaian, lalu berkembanglah pada 1916 hingga muncul Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra. 


walking tour kawedanan krian


Kongres pegawai pegadaian akbar dilaksanakan tahun 1919 di Bandung. Diskusi dalam kongres termasuk membahas hak-hak pekerja. Selanjutnya, pada 1920, muncullah perkumpulan kaum buruh. Bisa dibilang perkumpulan tersebut menjadi cikal bakal serikat pekerja modern.


Bangunan Terbengkalai dan Kisahnya

Perjalanan tamasya memakan waktu seharian. Kami berangkat pukul 9 dan sampai Rumah Budaya Malik Ibrahim Sidoarjo sekitar pukul 5 sore. Ketika berpindah lokasi, kami naik mini bus, tetapi ada sesi jalan kakinya pasti. Ketika memasuki jam makan siang, kami mampir ke Kolega Cafe yang juga bangunannya bersejarah.


walking tour kawedanan krian
Bekas tangsi Belanda yang katanya horor


Spot menarik berikutnya adalah sebuah bekas tangsi Belanda. Sayangnya, sudah banyak yang hancur. Pada penjajahan Jepang, tempat itu dipakai untuk menyiksa tawanan tentara Belanda. Kawasan Krian ini dulu juga menjadi saksi tragedi G30S-PKI.





Jadi, bisa dimaklumi kalau ada cerita-cerita mistis yang menyertai. Saya saja merasa sesak dan sedih ketika masuk. Mungkin karena sisa memori yang cukup menyedihkan itu membuat hati jadi sedih.


Perjalanan kami selanjutnya menuju kantor Kawedanan Krian. Gedungnya sudah banyak mengalami perubahan dan kini jadi perpustakaan. Pada 1899, dibangun sistem telekomunikasi telegram dan dipasang di kantor kawedanan ini untuk berkomunikasi dengan karesidenan lainnya hingga gubernur jenderal. 




Perjalanan ditutup di sebuah bangunan yang dulunya menjadi tempat manufaktur alat berat dan menjadi bagian dari dinas PU (Pekerjaan Umum). Saya mengunjungi rumah yang juga sudah terbengkalai tanpa catatan dan tertera tahun 1880.





Kemungkinan ini rumah orang penting dari bupati yang sedang mengecek wilayah irigasi. Bangunannya juga dekat saluran irigasi bersejarah Rolak Songo.





Perjalanan kali ini membuat saya semakin penasaran dengan bagian kota Sidoarjo lainnya. Walking tour mengenang sejarah Kawedanan Krian dan bisnis gula membuat saya seolah menjelajahi waktu kembali di awal abad 20-an. (Baca Juga: Wisata Sejarah Kota Malang)





1 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

Keren ya , jalan2 sambil menambah wawasan. Aku juga kalau lagi senggang suka ikutan jalan2 history, bikin asyik