Terpesona Da Lat, Vietnam, Meski Susah Mencari Makanan Halal






Hari kedua dalam perjalanan saya untuk trip KL-Dalat-Malaka ini pastinya ke Dalat, Vietnam. Saya kepincut pesona Dalat di konten Reels yang membuat saya ingin menghabiskan waktu selama dua hari di sana. Saya terpesona melihat Da Lat meski susah juga mencari makanan halal di sana


Ada teman yang bertanya, “Kok cuma dua hari? Nggak rugi?”


Harap maklum, saya budak korporat yang tidak bisa cuti lama-lama. Jadi kesempatan untuk menggunakan libur tanggal 25-29 Januari lalu saya pakai untuk berkunjung ke tujuan yang saya cari. Saya juga kesengsem Malaka karena suasananya seperti Penang dan lebih murah ongkosnya dari Kuala Lumpur.


Memulai dengan Air Mata

Lho, bukannya solo traveling itu menyenangkan? Kenapa kok saya membuat subjudul seperti di atas? Jadi, ceritanya, saya naik  Batik dan Air Asia untuk perjalanan Surabaya-KL serta KL-Dalat. Saya kira Batik serta Air Asia ini tidak ketat soal bagasi kabin karena waktu naik Scoot dulu juga saya bawa koper kabin dan satu tas kecil bisa aman-aman saja tanpa ditimbang.


Dok. Pribadi


Ternyata, saya salah. Ketika saya di Kuala Lumpur menuju Dalat, bagasi saya ditimbang. Ini menggunakan Air Asia. Saat pulang (nanti artikelnya terpisah) dari KL ke Surabaya, saya naik Batik pun ditimbang.


Koper kabin kosongan saja beratnya sudah 2 kg, mustahil juga kalau mau total 7 kg untuk koper dan tas kecil yang dijinjing. Alhasil, saya menambah biaya bagasi kabin untuk tiga rute penerbangan yang kalau ditotal bisa buat biaya dari Surabaya ke Singapura, hiks. 


Uang yang jaga-jaga mau saya pakai buat oleh-oleh pun terpakai. Saldo saya mulai bikin nangis. Oke, tetapi saya berusaha tenang dulu supaya perjalanan ke Dalat tetap bisa saya nikmati.


Praktif Afirmasi dan Dapat Keajaiban

Sebagai pelaku dan mentor Mindset Shifting, saya tahu kalau sedih berlarut hanya akan memperburuk situasi yang saya alami. Lebih baik saya fokus untuk menarik energi baik. Jadi, saya ucapkan dalam hati afirmasi seperti ini, “Alhamdulillah, bisa traveling ke tempat yang aku idamkan. Aman dilindungi dan rezeki mengalir hingga aku berkelimpahan selama perjalanan.”


Selang satu hari, saya menerima email notifikasi dari Seedbacklink kalau ada beberapa job pesanan dari klien untuk saya tuliskan artikelnya di blog ini. Tidak lama kemudian, klien yang menggunakan jasa saya sebagai penerjemah Jepang freelance juga mentransfer fee sekaligus memesan satu job terjemahan lagi.


Di sela waktu menunggu bus dan di bandara, saya mengetik di smartphone sampai jempol capek. Hati saya gembira karena memang benar saya mendapat banyak keajaiban. Akhirnya, sebelum liburan selesai, saya mendapatkan kiriman uang lagi yang jumlahnya sama dengan nominal pembayaran semua bagasi kabin.




Dalat Hari Pertama

Penerbangan dari Kuala Lumpur ke Da Lat relatif lancar. Saya sudah membaca kalau cuaca Da Lat itu sejuk, jadi bayangan saya seperti di Batu, Jatim atau Tawangmangu. Turun dari pesawat, saya hanya melihat penumpang yang mau naik setelah kami turun. Bandaranya kecil dan proses imigrasi juga tidak rumit. 


Keluar dari bandara menuju taksi Grab yang saya pesan, saya langsung disambut cuaca sejuk. Wah, ini mah asyik soalnya tidak sepanas Ho Chi Minh. Saya mencari tahu informasi bus dari bandara ke pusat kota, ternyata ruwet. Naik taksi online jauh lebih nyaman. Harganya pun sekitar 200 ribuan rupiah selama 40 menitan dari bandara ke hotel. 


Lucunya, di tengah perjalanan, Pak Sopir berhenti sebentar. Saya kira dia mau cek ban, eh ternyata ngopi gaes, ha ha ha. AC mobil dimatikan, kami berbicara lewat Google Translate. Kemampuan saya dalam bahasa Vietnam modal Duolingo masih jelek karena saya pakai buat belanja, bukan komunikasi sehari-hari.


Tak lama kemudian, saya melihat jalanan Da Lat yang asli bersih banget. Udaranya makin ke kota, makin sejuk. Waduh, saya udah mikir kalau makin malam pasti bakalan menggigil, nih.

Sampailah saya di hotel tempat saya menginap. Jalanannya lumayan meliuk-liuk naik turun, mungkin karena ini dataran tinggi.


Pesona Stasiun Da Lat

Spot pertama yang saya kunjungi di Da Lat adalah Stasiun Da Lat. Saya mengincar spot ini karena selain saya suka dengan tempat bersejarah, memang saya punya ketertarikan dengan kereta. Transportasi favorit saya itu kereta. Andai saya bisa naik kereta untuk menjelajak Asia Tenggara yaa.


Stasiun Da Lat bukan sekadar stasiun kereta biasa. Tempat ini menjadi saksi bisu sejarah kolonial Prancis di dataran tinggi Vietnam. Begitu menginjakkan kaki di sana, kamu akan langsung merasakan aura nostalgia yang kuat, seolah terlempar ke era 1930-an.


Dok. pribadi


Dengan gaya Art Deco yang khas, jendela kaca patri berwarna-warni, dan menara jam ikonik, stasiun ini memancarkan pesona klasik yang sulit ditolak. Meskipun kini hanya ada beberapa perjalanan kereta wisata singkat yang beroperasi, terutama menuju Trai Mat untuk menikmati Pagoda Linh Phuoc yang megah, Stasiun Da Lat menjadi daya tarik utama yang wajib dikunjungi. 


Museum sejarah kereta (dok. pribadi)


Saya tidak naik kereta wisatanya karena memang budget-nya saya alokasikan untuk membeli oleh-oleh. Apalagi saya hanya dua hari satu malam di kota cantik ini. Setelah puas berfoto di depan stasiun, saya masuk melihat penggalan perkembangan kereta api dan takjub saat melihat kereta-kereta kuno yang mengingatkan saya dengan kereta menuju Hogwarts. 


Hendak mengejarmu eaa (dok. pribadi)


Bagian dalam kereta wisata ini juga bikin betah. Saya bisa masuk ke dalam untuk mengamati bagian interior kereta wisata. Eh, jadi keingat adegan klimaks Ae Shin dan Eugene Choi di drakor Mr. Sunshine yang bikin mewek berderai-derai itu. Saya salut dengan usaha Vietnam dalam melestarikan bangunan bersejarah. Ho Chi Minh saja masih mempertahankan banyak aset bersejarah, ternyata Da Lat pun sama bagusnya.

Dok. Pribadi

Menikmati Makanan Halal yang Sulit Ditemukan

Tantangan selama di Vietnam itu tentu menemukan restoran yang menjual makanan halal. Kalau di Ho Chi Minh, saya dapat menemukan tempat makan halal relatif mudah terutama karena tempat menginap saya waktu itu dekat dengan Benh Thanh Market. 


Namun, ketika di Da Lat, ternyata saya harus usaha setengah mati. Kebetulan, saat di Kuala Lumpur, saya membawa perbekalan camilan buat menahan lapar. Maklum kalau punya GERD itu harus lebih rewel soal jam makan. Alhamdulillah, selama di Da Lat, meski agak geser dari jam makan, lambung saya sangat bahagia bisa berkompromi.


Berbeka informasi di Google, saya pun memilih hotel yang tidak jauh dari tempat makan halal. Di kepala ini sudah terbayang makan hidangan khas Vietnam yang disajikan dengan halal dan sekalian saya bungkus untuk sarapan di hotel. 


Setelah puas menikmati pemandangan di Stasiun Da Lat, saya menuju restoran Sarah Halal Food. Oh ya, keliling Da Lat ini saya lakukan dengan naik GoJek, jadi aman saja. Tarifnya juga tidak jauh beda dengan Indonesia, kisaran 10 sampai 12 ribu kalau jaraknya 4-5 km. 


Apes. Ternyata Sarah Halal Food tutup. Saya pun mencari lagi tempat makan yang lain padahal dari siang belum terisi sama sekali nih. Hanya cokelat yang masuk ke lambung. Akhirnya, saya menuju Halal Food Dalat Hajah Hawa. Saya memesan pho hangat dan beberapa roti bhan mi untuk bekal di malam hari.


Dok. Pribadi



Hari pertama yang tak mudah. Saya pun masih mensyukuri karena ada banyak hal menarik yang saya temui meski harus menahan lapar beberapa jam, haha. Perjalanan ini belum selesai. Tunggu cerita saya soal Da Lat yang lebih seru berikutnya, ya.

(Baca Juga: Solo Traveling KL-Dalat-Malaka yang Tidak Disengaja)


Tidak ada komentar