Terpesona Estetika Da Lat yang Dingin Penuh Kejutan



 

Saya meremehkan Da Lat. Terpesona estetika Da Lat di Reels Instagram dan Youtube, saya mengamsusikan jika suhunya seperti kota Batu, Malang. Tanpa membaca review lokasi wisata seperti yang bisa ditemukan di Situs Resmi Naga169 Travel, saya hanya membawa perbekalan seadanya.

Jalan-jalan sendirian selama lima hari empat malam melewati Malaysia lalu ke Da Lat, Vietnam, tentu membuat saya sebisa mungkin tidak membawa banyak barang tidak perlu. Apalagi, bagasi kabin saya terbatas.

Namun, meskipun terkejut dengan suhu udara Da Lat di bulan Januari, saya lebih banyak terkesimanya dengan lokasi-lokasi yang dreamy banget dan juga kultur masyarakatnya.

 

Kafe Ghibli yang Viral

Selain Da Lat Railway Station yang bersejarah, tempat mana lagi yang ingin saya datangi banget? Tentu saja, sebagai wibu dan Japanese Interpreter, saya kepincut Still Cafe yang didesain unyu nan estetik dengan nuansa Ghibli.

Mungil, tetapi berkesan

Dari luar, kafe ini tidak terlihat menonjol. Hanya ada petunjuk nama Still Café dengan bendera-bendera Vietnam kecil. Sejak di Ho Chi Minh, saya merasakan aura nasionalisme orang Vietnam ini sangat kuat, ya.



Di Indonesia, saya melihat bendera berkibar itu hanya di sekolah dan kantor sebagai pelengkap halaman depan. Rumah saya--termasuk masyarakat Indonesia lain—kebanyakan mengibarkan bendera atau aksesorisnya saat bulan Agustus.

Vietnam tidak seperti itu dan ini saya temukan lagi di Still Cafe. Dari halaman depan, saya harus menuruni anak tangga. Barulah terlihat kecantikan kafe yang membuat saya ingin menangis karena saking cantiknya.

Kafe ini tidak hanya berada di satu bangunan. Pondok-pondok kayu kecil ala rumah Jepang dengan bentuk bangunan memanjang ke belakang membuat saya penasaran untuk menjelajah lebih lanjut. Cuaca sejuk Da Lat, pengunjung yang berdandan seperti cewek Jepang, membuat kesannya saya tidak sedang berada di Vietnam.



Nyeni dan Terjangkau

Tiap sudut kafe ini menarik buat dijadikan tepat berfoto. Makanya, setelah menikmati makanan dengan minumannya, banyak pengunjung yang berdandan sekalian membawa kamera khusus seperti DSLR.

Ghibli banget


Saya tidak mencoba kopi karena ini sudah jadi musuh besar lambung, jadi saya hanya menikmati cokelat panas. Setelah foto-foto (dengan minta bantuan pengunjung lain), saya membeli makanan di area dalam kafe. Harganya relatif terjangkau yang kalau dihitung dalam rupiah itu kisaran 30 ribuan ke atas.

Tidak hanya nuansa kafe yang nyeni, kamu juga bisa belanja souvenir lucu-lucu di toko artistik. Justru harga suvenirnya ini menurut saya lebih mahal dari harga makanan dan minuman, sih. Jadi, saya tidak membeli oleh-oleh di area kafe.

 


 

Orang Da Lat yang Unik

 Di artikel sebelumnya, saya bercerita kalau cuaca Da Lat tidak terduga sangat dingin sekali. Bahkan, ketika semakin malam, suhu mencapai belasan derajat Rasanya sama seperti ketika saya sedang di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah.

Ketik malam tiba, setelah sorenya saya menikmati syahdunya Still Cafe, niatnya saya ingin jalan keliling menuju pasar malam yang menjual oleh-oleh dan camilan. Ternyata, suhunya mencapai 11 derajat, kawan-kawan. Jaket kain, kaos dobel, sarung tangan rajut, syal ala kadarnya masih tidak bisa menghalau.

Apes banget karena mengira kalau suhu Da Lat mirip kota Batu. Harusnya, saya membawa jaket gunung, penutup kepala hangat, dan syal yang tebal. Uang tunai saya tipis pula. Niatnya mencari ATM, eh, ternyata sulit sekali mencari mesin ATM. Saya jalan kaki sambil melirik Google Maps. Lapar, capek, kedinginan, KOMPLIT!

Nongkrong tetap jalan

Di cuaca dingin menusuk tulang dan angin dingin bikin muka seperti masuk freezer, saya melihat banyak orang lokal dan wisatawan nongkrong di pinggir jalan denga bangku pendek khas Vietnam.

Tentu saja mereka rata-rata menikmati kopi panas sambil ngobrol. Orang lokal terlihat kentara karena pakaian mereka tidak setebal wisatawan seperti saya. Ada yang pakai kaos oblong dan ada pula yang pakai tank top. Walah, pengin pinjam kulitnya satu, haha.


Saya mencari toko oleh-oleh dekat hotel yang kata Google Maps hanya 10 menit jalan kaki. Aduh, ternyata nyasar. Akhirnya, saya naik GoJek saja. Untuk menahan lapar, saya makan bhan mi halal yang saya beli sejak siang hari. Maklum susah menemukan makanan halal kalau malam begini di Da Lat.

Rencana ke pasar malam saya batalkan karena tidak kuat dingin. Waktu mau kembali ke hotel, saya hampir tersesat. Untungnya, lewatlah turis Jepang yang lagi ngobrol dan saya bisa menangkap kalau mereka menyebut nama hotel yang saya inapi. Oke, saya ikuti mereka dengan memberi jarak. Rupanya mereka menginap di depan hotel saya. Alhamdulillah.



 Sebelum tidur, saya melamun sambil melihat pemandangan luar hotel. Tower listrik indah yang mirip Tokyo Tower di malam hari membuat saya bergumam, “Ini kenangan terindah di tahun ini. Jalan sendiri, capek, tapi banyak cerita asyiknya.”

Kejutan pagi hari

Pagi telah tiba. Sebagai penggemar brisk walk, rasanya kurang afdal kalau tidak menyempatkan diri ke ikon Da Lat untuk menikmati bhan mi (yang masih tersisa karena saya beli untuk stok sampai pagi) sambil olahraga.

Sengaja tidak bawa jaket karena niatnya olahraga, oh ternyata masih kaku di pori-pori, huhu.

Saya naik GoJek lagi lalu turun di Alun-Alun Lam Vien. Dari alun-alun ini, kita bisa melihat bangunan ikonik lainnya, Da Lat Opera House. Suhu udara menunjukkan 14 derajat. Saat saya berjuang buat jalan kaki keliling alun-alun, gila, saya bertemu ibu-ibu warga lokal yang duduk meditasi khusyuk. Angin dinginnya padahal kencang banget.

Ibu-ibu Da Lat meditasi
depan Opera House


Tidak perlu waktu lama, saya bertemu orang muda dan tua yang jalan cepat atau lari dengan baju tipis layaknya orang olahraga di negara tropis. Asli, saya sampai melongo. Saya akhirnya lanjut sarapan pho hangat sebelum keliling di jalan naik turun khas dataran tinggi sambil memotret bangunan-bangunan cantik yang masih dirawat dan digunakan.

(Baca Juga: Terpesona Da Lat Meski Susah Cari Makanan Halal)

Terpesona estetika Da Lat ini benar-benar membuat saya sadar kalau level jatuh cinta ke Vietnam semakin dalam. Saya bersyukur karena meski bahasa Vietnam pas-pasan dan pertama kali traveling ke negara tetangga sendiri, saya bisa melewati krisis-krisis kecil selama perjalanan dengan aman dan gembira. Tunggu tulisan saya saat di Malaka, ya. 

Tidak ada komentar