3 Hal Ini Menjadi Tanda Kita Belum Sepenuhnya Merdeka




Sebal sekali rasanya ketika melihat rentetan status dan juga artikel yang dibagikan teman-teman baik yang berbau agama maupun penuh dengan unsur diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan hanya sekadar trend lucu-lucuan berkata ayla view saja bisa membuat beberapa pihak nyinyir. Apakah ini yang sudah dikatakan merdeka?

Indonesia adalah negara yang sangat unik dan istimewa. Tak hanya dari ribuan pulau dan laut yang membentang dari Sabang sampai Merauke, tetapi juga dari keanekaragaman pola berpikirnya. Yang berasal dari suku Jawa pasti berbeda pola berpikirnya dari saudara tanah Papua. Yang agamanya berbeda apalagi. Namanya saja sudah berbeda cara beribadah dan apa yang disembah, tentu saja masing-masing penganut akan sangat yakin dengan apa yang dipercaya.

Di hari kemerdekaan kali ini, gema kebahagiaan dan nafas perjuangan diunggah lewat media upacara bendera dan juga semangat lewat lomba-lomba. Berbagai event diselenggarakan dengan embel-embel perayaan kemerdekaan. Gegap gempita dimana-mana. Namun apakah itu yang dicari?

Para pejuang kemerdekaan, mengorbankan darah, nyawa dan mengenyampingkan urusan pribadinya demi melawan penjajah. Kita juga sudah tahu betul bagaimana detik-detik proklamasi yang juga diwarnai ketegangan. Tak ada  yang gratis demi bebas dari belenggu penjajahan. Nyatanya, di masa sekarang kita terlalu larut dengan kata ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan’ sampai lupa dengan cara menghargai saudara setanah airnya sendiri.

Saya pun masih sering alpa dan tak sempurna dalam memaknai kemerdekaan. Banyak hal yang bisa menjadi tanda jika kita belum sepenuhnya merdeka.

·         Merasa sebagai suku dan ras yang paling baik
Masih banyak di antara kita, bahkan saya sendiri akan berkata dalam hati jika bertemu dengan seseorang dari suku berbeda, tabiat serta ciri fisik yang mencolok. Hanya karena perbedaan itu, membuat kita mudah memberi mereka julukan macam-macam. Jika ada teman yang berasal dari Ambon atau Madura, kita bisa dengan mudahnya meledek logat mereka. Ditambah lagi, selalu merasa jika menjadi suku paling superior dibanding yang lain. Ledekan macam,”Dasar Jawa, makanya lamban. Kulitmu item banget, kaya orang Papua. Jangan pelit-pelit, kaya orang Cina. Duh, kaku banget deh sikapnya, dasar orang Medan.” Sering terdengar dan tanpa sadar kita pernah melontarkan. 

Meskipun dalam balutan bercanda, kita tidak pernah tahu bagaimana perasaan orang yang kita ledek. Dulu para pejuang kemerdekaan bersatu tanpa melihat ras dan suku. Ingat dengan perkumpulan pemuda dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon dan banyak perkumpulan pemuda berbeda suku yang menjadi cikal bakal Sumpah Pemuda? Mereka berasal dari daerah dan adat istiadat yang beragam  namun berjanji untuk menjunjung persatuan.

hari kemerdekaan indonesia
Add caption

·         Omongan tentang perempuan
Kalau yang ini tak hanya menyindir kaum lelaki di negeri kita, tetapi juga perempuannya. Bagi lelaki yang masih belum bebas dari budaya patriarki dan menganggap perempuan sebagai hamba sahaya, maka kecerdasan dan pendidikan lebih tinggi bisa membuat minder. Muncul meme diskriminatif yang memicu banyak kontoversi di jagad medsos. Seorang perempuan yang pendidikannya tinggi digambarkan sulit menikah karena laki-laki takut mendekat. Memang kecerdasan tak hanya didapat dari bangku kuliah, tetapi jika perempuan dilarang mengenyam bangku sekolah lagi, dilarang bekerja lagi karena dianggap seharusnya tak boleh mengungguli pria, bukankah ini sebuah pemenjaraan hak asasi? Perempuan harus mengutamakan keluarga, namun jika ia memang memiliki passion besar serta gairah untuk berkarya, tak sepatutnya dirinya selalu dilarang. Menghargai suami tanpa meremehkan, menyeimbangkan peran dalam keluarga dan pekerjaan, mengenyam pendidikan tanpa membuat diri menjadi tinggi hati adalah keutamaan yang harus perempuan pegang. 


Begitu pula dari kaum perempuan. Yang menjadi full time mother, nyinyir dengan ibu yang juga berperan sebagai wanita karir. Yang punya pekerjaan bagus di perusahaan, mengejek perempuan bergelar sarjana yang memilih menjadi ibu rumah tangga tanpa bekerja. Bahkan paling keterlaluan, hanya karena ibu melahirkan lewat operasi caesar, seorang ibu bisa menulis status yang sangat menyakitkan. Dipanas-panasi pula dengan ceramah ngawur mengenai ibu yang memilih operasi caesar berarti sudah dibisiki jin. Sebegitu lemahnyakah posisi perempuan kita? Apa ini yang disebut merdeka, jika satu sama lain saling menganggap dirinya sebagai perempuan paling sempurna?



·         Kebebasan kebablasan
Merdeka itu memang bebas, namun kebebasan yang bijak tetap harus bisa dipertanggungjawabkan. Contoh mudahnya adalah bijak menggunakan medsos. Medsos adalah halaman kehidupan yang mudah diakses orang lain. Tak pantas jika kita mengumbar keburukan keluarga sendiri, menghina orang lain secara terang-terangan atau upload foto tak pantas di medsos. Demi mendapatkan like, kita terlalu mengekspos hal-hal yang sebaiknya tidak perlu diumbar-umbar. Jika ada yang memberi saran atau kritik membangun, malah bullying yang didapat. 

Yang lebih sering terjadi lagi adalah bebas menafsirkan sesuatu sampai baper kebablasan. Tak semua yang diposting teman di media sosial itu menyindir diri kita. Penduduk Indonesia itu sangat banyak jumlahnya. Ada cerita teman A yang mungkin mirip dengan cerita teman B. Jangan sedikit-sedikit baper dengan status orang lain lalu membenci diam-diam. Atau sebaliknya, karena terlalu iri, lalu stalking medsos seseorang demi bersiap  membangun sekumpulan haters yang mudah dipengaruhi untuk sama-sama membenci. Jika tak suka dengan postingan seseorang, sebaiknya akunnya jangan diikuti. Jika benci cukup unfriend


Saya pun masih perlu banyak belajar. Memerdekakan diri dari pikiran negatif adalah pekerjaan rumah yang tak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Jangan menjadi bangsa yang mudah dipecah belah hingga mudah mencurigai saudaranya sendiri. Tak ada yang lebih rendah dan lebih tinggi.  Indonesia itu satu.  Perbedaan adalah harmoni yang justru indah ketika serasi berpadu.

3 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

betul sekali aku setuju mas

Dian Restu Agustina mengatakan...

Saya selalu suka dengan tulisan Mbak Reffi..Saya follow blognya ya Mbak:)

Btw, setuju banget! Berbeda itu malah indah.

Reffi Dhinar mengatakan...

bu tira: saya cewek buu haha
mbak dian: monggoo mbaak makasii,