Dalam
tulisan kali ini saya tidak membagi pengalaman pribadi tapi saya ingin membagi
sebuah berita yang baru saja saya baca kemarin. Berita tersebut telah membuat
saya miris dan saya pikir hal ini juga bisa dikategorikan sebagai sebuah
tragedi kemanusiaan yang dibekingi dan dilindungi oleh negara.
Saya membaca di harian Jawa Pos
edisi 2 Juni 2013 mengenai masalah pembatasan kelahiran yang diberlakukan di
Negeri Tirai bambu, Republik Rakyat Cina. Cina telah membuat peraturan tiap
keluarga hanya boleh memiliki satu anak, jika lebih dari satu maka wajib
dikenai denda. Peraturan tersebut sudah diterapkan dari tahun 1980. Ketatnya pemberlakuan
peraturan serta denda yang sangat besar membuat tiap keluarga yang memiliki
anak lebih dari satu, harus menerima kenyataan-kenyataan pahit.
Seperti yang diceritakan seorang
wanita bernama He She Yong yang harus
kehilangan anak keduanya dengan cara menyakitkan. Dua puluh tahun lalu wanita
yang tinggal di kota Shishi, provinsi Fujian tersebut dipaksa melahirkan anak
kedua saat usia kandungan masih 8 bulan oleh anggota medis yang menanganinya. Anak
itu terlahir selamat dan menangis keras, akan tetapi bukannya diberikan pada
ibunya, perawat dan dokter membawa si jabang bayi ke ruangan lain lalu
menyatakan bahwa bayinya telah meninggal dunia.
Yang lebih memprihatinkan lagi,
dunia internasional sempat dihebohkan beredarnya foto seorang wanita yang bernama
Feng Jianmei, tergeletak berlumuran darah akibat aborsi yang dipaksakan pada
usia kandungan sekitar 7 bulan. Akibat beredarnya foto tersebut, Tiongkok
dikecam negara-negara lain. Apalagi sepertinya peraturan satu anak tersebut
hanya berlaku bagi rakyat jelata. Dalam berita di harian Jawa Pos itu
disebutkan pula bila orang kaya dan berpengaruh tidak menghiraukan peraturan pemerintah
karena mereka mampu membayar denda dengan mudah. Sutradara terkenal Zhang Yi
Mou memiliki tujuh anak dan tidak pernah diganggu oleh pemerintah Cina. Li Qingshan
seorang pejabat pemerintah memiliki
empat anak dari tiga istri. Sungguh sebuah fenomena yang sangat berkebalikan
dan membuat miris.
Membaca berita tersebut membuat
saya berpikir. Apakah pembatasan kelahiran yang juga diterapkan di Indnesia
dengan program KB (Keluarga Berencana) apakah akan efektif menekan laju
pertambahan penduduk? Atau apakah akan muncul kejadian-kejadian memilukan bila
peraturan terlalu ketat diberlakukan seperti di Cina? Aduh saya bergidik
sendiri ketika membayangkan hal-hal tersebut.
Keluarga berencana sendiri telah diterapkan
dari zaman pemerintah orde baru. Walaupun ada pengaruh penurunan jumlah penduduk
tapi bagi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, tetap saja ditemui
permasalahan anak yang dilahirkan terlalu banyak sehingga tak bisa terawat
dengan baik, mengalami kurang gizi serta tidak mendapatkan pendidikan yang
layak.
Dari sini sepertinya program KB
juga tak terlalu memiiki pengaruh signifikan dalam usaha pengendalian laju
kelahiran. Coba bayangkan bagi sebuah keluarga miskin, jangankan memikirkan
bagaimana cara mengatur jarak kelahiran anak-anaknya, memikirkan besok mau
makan apa rasanya menjadi persoalan yang jauh lebih penting untuk dipikirkan.
Mungkin sebaiknya pemerintah kita
lebih memfokuskan pemerataan kesejahteraan penduduknya. Pemberian kesempatan
pendidikan gratis bagi anak-anak kurang mampu juga perlu ditingkatkan. Kita lihat
saja negara-negara maju seperti Singapura dan Jepang yang taraf kehidupan dan
pendidikan masyarakatnya sudah sangat maju, urusan memiliki anak akan
dipikirkan dengan perhitungan yang cermat agar anak-anak yang dilahirkan
nantinya memiliki masa depan yang cemerlang. Memiliki anak lebih dari dua juga
tidak masalah bila kesejahteraan orang tuanya sudah sangat terjamin. Tapi jangan sampai juga negara kita mengalami masalah yang dialami oleh negara Jepang dan Singapura. Karena memiliki anak dianggap menghabiskan biaya besar, banyak wanita dan pria dewasa yang memilih melajang atau menunda usia pernikahan hingga negara-negara maju tersebut mengalami penurunan jumlah kelahiran yang sangat pesat tiap tahunnya. Pemerintah Indonesia seyogyanya mampu menyeimbangkan pemerataan dan tingkat kesejahteraan penduduk dengan kesadaran membentuk keluarga harmonis serta memiiki masa depan yang baik. Semua hal yang terlalu kurang atau berlebihan tentunya akan membawa damak yang kurang baik, jadi harus dalam porsi yang seimbang. Bagaimanapun anak adalah karunia Tuhan yang harus dijaga baik-baik, bukan?
Begitulah kesan dan pendapat saya,
bagaimanakah pendapat anda?
6 komentar
Kagak setuju... Kan banyak anak banyak rezeki... :D
iya, selama orang tua mampu memberi yg terbaik utk anaknya,,hehe
wah tajam juga pendpatnya mbak. ^^..
memang sebaiknya antara pemerintah dan masyarakat harus memiliki sinergi yg baik dalam program KB sekalipun.. siapapun berhak utk menentukan jumlah anaknya bukan? :)
iya mbak, sebenarnya yg terpenting bukan jumlah anaknya, tai bagaimana sikap orang tua dalam merawat dan mendidik anak2nya.. saya rasa siapapun muda-mudi zaman sekarang yg hendak menikah sudah wajib memperhitungkan segala kebutuhan masa depan termasuk biaya utk calon anak2nya.. ^_^
Posting Komentar