Maryam dan Mobil Sedan


Langkah-langkah kaki gadis kecil kurus dan berkulit sawo matang itu agak terseok-seok karena dia tak bisa mengejar benda yang kecepatannya di atas kecepatan larinya. Mungkin bagi orang lain yang sedang melihat, gadis kecil itu akan dianggap sedang bermain-main seperti anak seusianya. Tapi sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatinya, gadis kecil berbalut kulit dan tulang itu sangat menyukai apa yang ia kejar sekarang yaitu sebuah mobil sedan warna hitam metalik milik tetangganya yang kaya raya.
Setelah sekitar lima belas menit berlari, lama-kelamaan gadis kecil itu berhenti, bukan karena putus asa, tapi tulang kakinya yang ceking seolah sebatang lidi itu menolak untuk menuruti kemauan pemiliknya. Peluh bercucuran sebesar biji jagung membasahi tubuhnya. Rambutnya yang dikepang dua begitu berantakan karena terpaan debu dan sengatan matahari yang aduhai panasnya.
Nduk, kowe lapo ngos-ngosan nang kene?” suara lembut seorang pria setengah baya memanggil lembut putri ceking itu.
Tidak ada jawaban, hanya mata yang mengawasi mobil sedan hitam yang semakin kecil terlihat di depannya,”Oalah, kamu barusan mengejar mobil sedannya Pak Min lagi?” Pria itu mengenali apa yang dilihat putrinya barusan.
“Ayo kita pulang, setelah ini waktu ashar dan kamu harus berangkat ngaji. Mobil Pak Min kan sudah jauh.”
“Tapi Maryam masih ingin melihat mobil sedannya, Pak. Kan cuma setahun sekali Pak Min pulang ke kampung.”rungut Maryam sambil memilin kepang rambutnya.
Bapak tersenyum, dan menggandeng lembut tangan putrinya. Bapak berpikir kalau Maryam hanya sedang terpesona dengan barang langka yang ada di kampung mereka. Memang langka untuk ukuran kampung kecil yang terletak jauh di dalam kawasan hutan lindung milik Perhutani Madiun. Mintoro yang disebut Pak Min adalah TKI sukses yang kini memiliki usaha di Surabaya. Entah sejak kapan Maryam menunjukkan ketertarikannya terhadap mobil sedan. Mobil sedan warna hitam itu sering sekali menjadi bahan lamunan Maryam dan telah menelusup jauh di dalam mimpi-mimpinya hingga ia beranjak dewasa.
***
 “Pak, tadi aku ngobrol dengan Ngatinah,” ujar Ibu suatu sore pada Bapak yang sedang asyik bercengkerama dengan burung emprit jawa dalam sangkar.
“Hmm.” Bapak hanya bergumam singkat.
Saat itu Maryam yang sudah berusia 18 tahun sedang duduk mengajari dua adik kembarnya belajar matematika. Maryam sudah hafal sikap ibunya, kalau ada embel-embel nama Bu Ngatinah, istri pak Mintoro disebut-sebut pasti ada saja hal baru yang dikeluhkan ibunya.
“Pak Min, sudah bisa beli mobil sedan lagi. Sekarang sudah ada tiga kan jumlahnya. Bapak kapan bisa seperti itu? Sepeda motor saja kita cuma punya satu. Rumah kita juga nggak dibangun-bangun sampai sekarang. Lihat Pak, gentengnya sudah banyak yang bolong.” Ibu mulai mengeluhkan lagi semua hal yang memang sudah Bapak ketahui.
Bapak menghela nafas berat lalu ia duduk di kursi pentil sambil menghisap rokok kreteknya,”Kan sudah Bapak bilang, kalau Bapak sanggup, pasti Bapak bisa membelikan. Sementara ini yang paling penting kita bisa makan tiga kali sehari, nggak punya utang sama mengurus biaya sekolah anak-anak. Ojo ngersulo ae tho
Maryam seolah ikut merasakan beban yang ditanggung Bapak. Pekerjaan Bapak yang hanya sebagai buruh tani Pak Lurah tentunya tak bisa dibandingkan dengan Pak Min, tetangganya yang sudah sukses di kota. Maryam saja tidak pernah berani minta macam-macam pada bapaknya. Untuk berangkat menuju sekolahnya yang terletak di kecamatan, Maryam harus rela jalan kaki sekitar satu jam. Kampung Maryam yang terletak jauh di tengah hutan lindung pohon jati milik Perhutani, tidak memiliki akses angkutan umum.
“Umpama sampeyan menuruti apa yang aku sarankan. Pasti hidup kita sudah seenak Pak Min dan keluarganya.” Ibu sudah seringkali meminta Bapak untuk mengikuti jejak Pak Min menjadi TKI di Arab Saudi. Tapi Bapak selalu menolak, menurutnya lebih baik menjadi buruh untuk menggarap sawah negeri sendiri daripada hidup dan bekerja di negara lain. Bapak juga tidak sanggup meninggalkan keluarga kecilnya.
Ibu selalu iri dengan kehidupan tetangganya. Selalu saja ada barang yang ibu minta. Kadang-kadang kalau Bapak sanggup membelikan, Bapak akan memberikannya pada Ibu, tapi Ibu tidak pernah merasa puas.  Kali inipun Bapak tidak berniat memperpanjang perdebatan sehingga ia hanya memlih diam mendengarkan rentetan keluhan Ibu selanjutnya sampai Ibu diam dengan sendirinya. Karena merasa kesal dan tidak dihiraukan, Ibu masuk ke dalam rumah dengan wajah bersungut kesal.
Nduk.” Ayah memanggil dari teras rumah.
Dalem, Bapak panggil Maryam?” sahut Maryam.
“Iya, tinggalin Bagus dan Bagas dulu, Bapak mau bicara sama kamu.”
Maryam lalu keluar dan mengambil duduk di kursi pentil sebelah Bapak,”Ada apa Pak?”
“Sebentar lagi kan kamu lulus SMK, habis ini mau melanjutkan ke mana?”
“Maryam ingin kerja di Surabaya Pak, Bulik Warti sudah mengizinkan saya tinggal di rumahnya, di daerah Semolowaru katanya.”
Bapak lalu menoleh dan menatap lekat-lekat wajah putri semata wayangnya,”Kamu nggak ingin kuliah. Eman-eman kalau sekolahmu tidak dilanjutkan, dari SD sampai sekarang kamu sering meraih juara umum.”
Maryam menunduk tak bisa menjawab. Sebenarnya dia ingin sekali bisa seperti teman-temannya yang dengan sukacita menceritakan rencana kuliah. Sejak kecil Maryam memiliki cita-cita sederhana. Ia ingin sekali menjadi pengusaha sukses agar bisa naik mobil sedan seperti Pak Min, tetangganya.
“Kalau kamu mau, nanti Bapak bisa usahakan biayanya.”
“Nggak usah Pak. Maryam nggak mau ngerepotin Bapak. Ibu juga sudah setuju kalau Maryam kerja, supaya bisa bantu biaya sekolah adik-adik.”
Hati Bapak merasa sangat trenyuh. Maryam adalah putri kebanggaannya yang tak pernah menuntut. Tiap pagi setelah sholat subuh dan membersihkan rumah, Maryam tak pernah mengeluh walau harus berangkat dan pulang sekolah dengan jalan kaki. Bapak juga tak bisa memaksa Maryam. Ketika putrinya ini memutuskan sesuatu, akan sulit sekali menggoyahkan pemikirannya. Sifat itu persis seperti dirinya.
***
Surabaya, kota yang disebut –sebut kota metropolitan kedua setelah Jakarta telah menyihir Maryam dengan salah satu pesonanya yaitu banyaknya mobil sedan yang berseliweran di jalan raya. Setelah menerima pengumuman kelulusan, Maryam segera bersiap-siap pergi melanjutkan mimpi demi keluarga kecilnya. Walau sangat berat hati, Bapak tidak bisa melarang, tekad Maryam telah mengeras serupa prasasti batu di hatinya.
Sudah sebulan Maryam tinggal di kota metropolis ini. Dengan bantuan Bulik dan Pakliknya, Maryam bisa bekerja di sebuah dealer mobil bekas sebagai pegawai admin. Maryam merasa sangat senang. Tiap hari dirinya bisa dengan bebas melihat dan menyentuh beberapa mobil sedan bekas namun terawat baik di tempat kerjanya. Gajinya yang memang tak seberapa, tidak menjadi persoalan bagi Maryam. Sebagian besar gajinya, ia kirimkan ke desa dan sebagian lagi ia tabung.
Mobil-mobil sedan itu membawa kebahagiaan masa kecil Maryam kembali. Sosok gadis kecil kurus kering yang berlarian mengejar mobil sedan tetangganya. Mimpi untuk memiliki dan mengendarai mobil sedan hingga pelataran rumah kayunya yang sederhana. Maryam menganggap mobil sedan adalah mobil yang memiliki bodi paling anggun dibandingkan mobil lain. Keanggunan itu membawa perasaan khidmat bagi Maryam, perasaan yang mungkin tak bisa dimengerti orang lain di sekitarnya.
***
“Nduk, kamu bisa kirim uang lagi? Kemarin ibu lihat gelang emasnya Bu Ngatinah baru lho, harganya lima ratus ribu aja, nanti emasnya juga bisa buat simpenan.”
Kepala Maryam berdenyut mendengar permintaan ibunya,”Kan sudah Maryam kirimkan delapan ratus ribu minggu lalu Bu, uang Maryam ini disimpen untuk tabungan.”
“Iya sudah habis untuk beli perlengkapan sekolahnya si kembar. Nggak mungkin juga Ibu minta Bapak, uang dari Bapak habis buat kebutuhan makan sebulan sama bayar listrik.”
Maryam mendesah panjang. Dia ingat sebulan lalu ibunya sudah dibelikan Bapak cincin emas baru, yang uangnya terkumpul setelah Bapak menabung selama empat bulan. Tapi kalau sampai Ibu meminta perhiasan lagi, rasanya tidak tega,”Iya bu, minggu ini, Maryam kirim uangnya.”
Kalau sudah menyebut nama Bapak, Maryam tak tega menolak permintaan Ibu yang tak habis-habis. ‘Duh, mana bisa terkumpul buat beli mobil sedan kalau uangnya habis melulu?’ Maryam berkeluh-kesah dalam hati.
“Nduk, tadi yang telpon siapa?” tanya Bulik Warti.
“Dari ibu, Bulik.”
“Minta kiriman uang lagi?”
Pertanyaan Bulik tak bisa langsung dijawab oleh Maryam,”Bulik paham kok, kamu juga ingin menabung buat masa depanmu. Tapi kalau kamu cuma kerja kaya sekarang, Bulik rasa uangmu nggak akan cukup. Kamu nggak ingin kuliah?”
“Tidak bisa Bulik, kalau Maryam kuliah, siapa yang akan membantu Bapak?” Maryam paham, kalau dirinya bisa menuntut ilmu lebih tinggi dan mendapat pekerjaan yang lebih baik, perekonomian keluarga pasti akan tertolong. Tapi bagaimana caranya, kalau tiap bulan ibunya selalu meminta uang tambahan pada Maryam.
“Bulik dan Paklikmu sudah rundingan. Kami sepakat untuk bantu biaya masuk kuliahmu. Nanti kamu bisa kuliah sambil kerja dan biaya SPP-nya bisa kamu bayar sendiri. Bagaimana? Kamu ini anaknya pintar, sayang kalau hanya lulus SMK.”
“Bulik, Maryam sudah merepotkan Bulik dan Paklik di sini. Maryan nggak mau menyusahkan Bulik lagi, sungkan.”
“Bulik kan nggak punya anak, kamu itu keponakan yang paling Bulik sayangi. Udah jangan sungkan, Bulik dan Paklik sudah anggap kamu seperti anak sendiri.”
Maryam menangis terharu seraya memeluk Buliknya. Ternyata di tengah dunia serba gila seperti sekarang, masih ada orang yang begitu memperhatikannya. Keesokan paginya Maryam berangkat kerja dengan penuh semangat. Impian lama untuk menjadi mahasiswa dan membuat bangga Bapak akan segera terwujud,’Pak, kalau Maryam lulus dan jadi orang sukses, nanti Maryam bisa beli mobil sedan dan bawa Bapak keliling desa.’lamunan Maryam berputar-putar di udara.
Kali ini hari yang berbeda. Maryam telah mendaftar sebagai mahasiswa dengan bantuan Bulik Warti. Maryam tak sabar ingin mengabari Bapak, sekarang ia bisa mewujudkan mimpi Bapak dan merintis mimpinya. Ada yang janggal, tak seperti biasanya, Paklik pulang kerja lebih cepat dan berkumpul bersama Bulik seolah sedang menunggu kepulangannya.
“Nduk, barusan ibumu telpon.” Mata Bulik memerah sambil menahan tangis.
“Kenapa Bulik, apa Ibu mencari saya tadi. Atau ada kejadian di rumah?” Kaki Maryam sudah begitu lemas, perasaan takut mencengkeram benaknya.
“Bapakmu kecelakaan tadi siang, dia jadi korban tabrak lari mobil sedan yang lewat di kota waktu Bapakmu ingin menjual beras hasil panennya.” Paklik menjawab dengan suara bergetar menggantikan Bulik yang sudah hampir pecah tangisnya.
“Bapakk...bapak saya bagaimana?”
“Kepala Bapakmu mengalami pendarahan sangat hebat. Barusan dikabarkan sudah meninggal, Nduk,” jawab Paklik.
Maryam terduduk lemas. Pandangannya menggelap seiring tangisan kencang Bulik Warti. Kertas pendaftaran kuliahnya, ia genggam begitu erat. Bayangan Bapak menggenapi seluruh sel otaknya. Tak ada ucap selamat tinggal. Hanya gelap yang melekat di mata Maryam.




Tidak ada komentar