Dinamika Surabaya Dalam Balutan Puisi



Judul : Semanggi Surabaya
Penulis : Yudha Prima, dkk
Jumlah Halaman : 158 halaman
Tahun Terbit : Mei 2013
Penerbit : FAM Publishing

Surabaya adalah sebuah kota yang kaya akan sejarah dan tak kalah unik dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Sebagai kota metropolitan kedua setelah Jakarta, wajar saja jika Surabaya menjadi kota yang menjanjikan banyak harapan bagi warganya. Buku antologi puisi gagasan FAM (Forum Akif Menulis) Surabaya ini, memberikan potret Surabaya dari berbagai sudut pandang dan kisahnya.

Eksotisme sejarah kepahlawanan tak lepas dari kota yang sudah berusia tujuh abad ini. Betapa identik antara cerita heroisme dengan Surabaya hingga disebut sebagai kota pahlawan. Simak saja cuplikan puisi berjudul “Sang Pejuang” karya Laura Crismadhani di halaman 18.

Suara teriakan terdengar lantang
Tak terbesit rasa takut untuk maju
Berbekal keberanian yang membara
Melantunkan suara hati yang gelisah

Ya, Surabaya adalah kota yang akan selalu dikenang dengan keberanian pejuangnya.tewasnya Jenderal Mallaby di tangan arek-arek Surabaya, adalah sebuah catatan sejarah monumental tak hanya bagi publik Surabaya d Indonesia, melainkan juga dunia. Simbol pahlawan dari sudut pandang lain yakni guru juga ditulis dengan apik oleh Najbul Mahbub dalam puisinya yang berjudul “Pahlawan Nasional (Antara Jasa dan Gelar Kita)”, halaman 81.

Pernik kota Surabaya dengan ikon khasnya, juga menawarkan bait-bait cerita yang menarik untuk disimak. Tak hanya kisah yang tersembunyi di tiap objeknya, potret sosial masyarakatnya juga dibidik dengan apik oleh para penulis. Puisi yang berjudul “Perak seperti Perakmu” karya Rizka Andarosita, halaman 35, mengisahkan kerinduan seorang anaknya pada ayahnya. Kerinduan tersebut membuncah saat ia berdiri di sisi sungai Kalimas. Ikon Surabaya yang fenomenal yaitu Jembatan Suramadu, juga dijadikan objek puisi oleh beberapa penulis dalam antologi puisi ini. Tak hanya keindahannya, cerita miris soal pencurian baut dan lampu di area jembatan megah tersebut, juga menjadi sindiran halus bagi kita dan juga bagi pemerintah kota.

Surabaya tak selalu bermetamorfosa maju dan baik dalam pembangunannya. Puisi karya Yudha Prima yang berjudul “S.O.S dari KBS” setidaknya memberi kita wawasan terkini mengenai kondisi memprihatinkan Kebun Binatang Surabaya (KBS). Berikut cuplikannya di halaman 68,

Komodo itu
MATI
Phyton Reticulatus itu juga
MATI
Anoa itu juga
MATI

Modernisasi menggusur ciri khas lokal, itu juga terjadi di kota Surabaya. Puisi karya Vivid Habib yang berjudul “Nasib Semanggi” dan puisi yang berjudul “Surabaya Penuh Luka” karya Hesbullah, cukup mewakili perubahan miris tersebut. Tak luput tiap titik kecil perubahan yang menghapus keindahan dan cita rasa Surabaya, rupanya mendapat perhatian yang jeli oleh para penulis tersebut.

Tak hanya kekaguman dan kritikan yang dituliskan dalam lembar-lembar antologi puisi ini. Harapan dan doa juga disematkan pada Surabaya, seperti cuplikan puisi karya Muhammad Sofyan Arif berjudul “Surabaya, Temukan Teduhmu Kembali”, halaman 96.

Jika berkenan kuingin menunduk menangisimu, Surabaya
Mengapa?
Karena kuingin engkau berdiri menemukan teduhmu
Kembali

Surabaya
Kau harus jaga identitasmu
Pada jalan penuh debu dan berbatu
Lalu kau bersihkan, saat sudut harap tak jumpa di jiwa
Sewaktu tangan mu merah luruh percuma,
Menatap asusila merajalela

Puis–puisi lainnya memiliki keelokan ceritanya sendiri. Buku antologi puisi ini ditujukan untuk memperingati Hari Jadi Surabaya ke-720 lalu. Bagi anda yang mencintai sejarah atau ingin menikmati wisata Surabaya, disarankan untuk membaca buku Semanggi Surabaya. Ikon kota yang dikisahkan menarik, dinamika yang merenda baik, serta sejarah yang akan terus melekat pada kota dengan lambang ikan Sura dan Baya ini. Semoga Surabaya selalu menjadi kota indah dan semakin baik di masa mendatang.

Tidak ada komentar