Beragam Jenis Keputusasaan dengan Tujuan Kematian




Judul Buku : Negeri Tanpa Perasaan
Penulism: Alanda Khariza dan Fajar Nugros
Jumlah Halaman :186 halaman
Tahun Terbit :April, 2011
Penerbit :Ufuk Publishing House

Bagaimana pendapat anda ketika bunuh diri dijadikan kegiatan yang legal? Sebuah sindiran dan absurditas menarik dari kumpulan cerita bertema bunuh diri ini, akan membawa kita dalam petualangan menegangkan yang bersumber dari pemikiran radikal manusia. Keputusasaan dalam beragam bentuk, manusia yang sudah bosan dengan kehidupan, berkumpul menjadi satu untuk mengikuti kegiatan Bunuh Diri Massal 2008.

Cerita-cerita dalam buku ini adalah rangkaian tulisan dalam blog dengan tokoh yang sama. Penulis utamanya adalah Fajar Nugros, seorang sutradara berbakat, dan Alanda Khariza, peraih Global Change Maker yang populer lewat tulisannya dalam blog. Bermunculan side story atau bisa disebut fan fiction dari berbagai sudut pandang. Yang menggemparkan bukan hanya alur cerita yang cenderung gelap, namun bagaimana ide tulisan ini menjadi pemantik semangat menulis blogger-blogger yang lain.

  Adalah si Ketua Panitia Bunuh Diri Massal yang menggagas diselenggarakannya event penuh pro dan kontra itu. Ide kecilnya untuk meringankan beban negara RI dari ledakan jumlah penduduk, membuat pemuda setengah waras itu merencanakan kegiatan massal. Si Ketua membagikan kartu nama berupa ajakan untuk bunuh diri bersama pada orang-orang berwajah muram dan putus asa. Di luar dugaan, pendaftar membludak mencapai tiga puluh ribu orang. Alasan-alasan kematian pun cukup beragam. Mulai dari bosan hidup, bosan miskin, kecewa terhadap pemerintah, tidak ingin dikucilkan, atau ingin membuktikan jika kematian pun bisa ditentukan oleh tangan manusia sendiri bukannya Tuhan.

Tempat bunuh diri awalnya ditentukan di lapangan Monas pada tanggal 22 September 2008. Namun, karena mendapat tentangan dari pihak kepolisian, makan acara bunuh diri massal direncanakan di gedung MPR RI. Tempat dimana wakil rakyat enak-enakan ongkang-ongkang kaki atau sesekali tertidur saat sidang sedang berlangsung, menjadi tempat menarik bagi rakyat yang merasa tidak terwakili itu bunuh diri. Baik dari tulisan Fajar, Alanda dan beberapa blogger lainnya yang dirangkum dalam buku ini, menganalogikan secara cerdas antara putus asanya rakyat yang tak pernah didengarkan suaranya dengan acara bunuh diri yang menjadi terlihat wajar. Sungguh cerdas dan berbahaya.

Tokoh-tokoh figuran seperti sekretaris si ketua, Susi Similikity dan si anak magang, justru memberikan warna tersendiri dalam buku unik ini. Jika Ketua Bunuh Diri Massal dan beberapa calon peserta mewakili kegelapan dan keputusasaan hidup, Susi Similikity dan si anak magang menunjukkan sisi sinis dan lucunya kehidupan. Inilah dunia di mana ada orang yang bisa santai dan tertawa lepas, semetara yang lain sedang berjuang bertarung dengan kegelapan dalam hatinya. Siapa yang peduli? Buku ini juga menyebutkan beberapa masalah sosial yang hangat diperbincangkan pada saat itu seperti bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Pembaca akan diajak merasakan naiknya tensi ketegangan ketika tanggal eksekusi acara semakin dekat. Kisah-kisah lain beberapa peserta bunuh diri seperti Jojo dan Sidhasadya ialah potret buram kehidupan manusia. Seorang anak muda yang kurang mendapatkan kasih sayang orang tua, kehidupan anak yang selalu didikte dan ingin dikenang, menjadikan alasan menarik untuk bunuh diri. Tokoh perempuan juga diceritakan, meskipun perempuan dilarang mengikuti acara ini. Perempuan putus asa dalam cerita “Pengantin Padang”, akhirnya justru menemukan alasan untuk tidak bunuh diri. Perempuan digambarkan lebih kuat daripada pria dalam mengelola rasa sakit. Perempuan dilarang ikut agar suaranya tidak menganggu peserta yang seluruhnya pria hingga menggagalkan terlaksananya acara.

Kematian massal tersebut digagalkan oleh seorang peserta bernama Jojo. Dari tokoh Jojo inilah, justru point of interest sekaligus klimaks cerita memuai penuh kelegaan. Jojo adalah peserta bunuh diri istimewa, ia memilih cara matinya sendiri tidak seperti 999 peserta lain yang akan mati di kursi listrik. Jojo membenci alasan si Ketua yang ingin mati karena cinta. Tindakan pengecut itu membuat Jojo kesal karena Ketua akan mengorbankan ratusan nyawa lain. Jojo menembak tewas si Ketua. Kini ia sangat bahagia karena tak perlu mati jika ingin dikenang masyarakat luas, dirinya telah menjadi pahlawan. Peserta lainnya juga sangat lega setelah Jojo berhasil mencegah kematian massal terjadi. Saya berpikir maka saya ada (Rene Descartes), bukannya saya mati maka saya ada. Kematian Ketua Bunuh Diri Massal menyisakan kebahagiaan. Bunuh diri bukanlah jalan terbaik. Sungguh sebuah pesan akhir yang sangat kontradiktif dengan alur sepanjang cerita, tetapi sangat mengena.

Tidak ada komentar