Taro's Eyes


Sumur gelap itu membuatku tertarik untuk melongok ke dalam. Dari luar pondasinya tidak terlalu menarik, hanya berupa tumpukan batu bata berwarna kelabu yang diselimuti pasukan lumut. Ada sesuatu, entah apa yang membuatku merasa ingin mengetahui sisi dalam sumur tua itu.

“Taro, nani o miteiruno? (Apa yang sedang kamu lihat Taro?)” Mama memanggilku dari teras Istana Himeji,”jangan terlalu lama berada di dekat sumur itu, itu sumur terkutuk,” lanjut Mama.

Mama dan Papa melangkah keluar dari Istana Himeji. Kamera Nikon warna hitam sedikit berayun mengikuti langkah Mama. Sedikit-sedikit Mama berhenti untuk memotret dengan kamera yang ia kalungkan di lehernya.

“Mengapa sumur ini terkutuk?” tanyaku pada Mama.

“Kita tidak bisa menceritakan kisahnya di sini. Mama suka tempat ini. Begitu kuat auranya namun juga penuh rahasia. Ada rahasia leluhur kita di sini,”

“Natsume, sudah hentikan omong kosongmu. Jangan menjejali otak Taro yan gmasih kecil itu dengan kisah-kisah khayalanmu,”tegur Papa., ia kini juga sibuk meneliti ke dasar sumur tua.

“Ini berbeda., Istana Himeji adalah tempat eksotis yang memiliki kisah mengerikan di baliknya,” sahut Mama sedikit tak terima.

“Ya, itu semua adalah kisah bohong yang dipakai pengelola istana untuk menarik wisatawan. Apalagi tipe wisatawan yang suka cerita mistis sepertimu,” ujar Papa, ia menggandeng tanganku untuk berjalan menjauhi sumur,”yang kutahu, bermain terlalu dekat dengan sumur itu berbahaya karena kamu bisa terjatuh dan tidak bisa kembali, Taro,” lanjut Papa.

“Taro-kun, kochi ni furimuite (Lihatlah ke sini, Taro)” sebuah suara lembut mampir di telingaku setelah aku hampir sampai pintu gerbang luar Istana Himeji.

Sontak aku menoleh dan mendapati seorang wanita cantik mengenakan yukata ungu berbunga-bunga pink sedang menatap tajam ke arahku. Padahal jarak kami cukup jauh, mungkin sekitar dua ratus meter, namun aku bisa mendengar suara halus yang kuyakini itu suaranya mampir di telingaku.

“Kamu kenapa, Taro?” tanya Papa sambil mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahku.

“Papa lihat perempuan memakai yukata ungu di sana?” tanyaku sambil menunjuk ke arah bawah menara tepat di samping sumur tua yang kulihat tadi.

Papa mengernyitkan keningnya. Mama tersenyum penuh kemenangan,”Tidak ada tamu atau pengurus istana yang mengenakan yukata di hari sedingin ini Taro, oh mungkin saja kau baru saja melihat youkai (sejenis hantu),” tukas Mama kegirangan. Dari wajahnya aku seolah bisa membaca,’tuh kan sudah kubilang apa,’

“Hentikan khayalanmu, Natsume. Kau tidak lihat, Taro sudah mulai gemetaran?” Papa mulai meninggikan suaranya.

Aku tak peduli dengan perdebatan kecil Papa dan Mama. Yang kutahu, wanita beryukata ungu itu terus menatapku dengan dingin. Sekelilingku berubah hening, hanya ada aku dan wanita asing itu.

“Okaerinasai, Taro-kun. Hisashiburini (Selamat datang, Taro. Lama tidak bertemu),” mulut wanita itu membuka perlahan, suaranya mencapai jangkauan dengarku. Hawa dingin melingkupi tubuhku.

“Yameyou, yameyou (berhenti, berhenti). Aku tidak kenal kamu!” pekikku histeris. Aku ingin memejamkan mata namun tak bisa. Mata wanita itu memaksaku untuk membalas tatapannya.

“Taro, ada apa?” Mama menyentuh kedua pipiku dengan cemas.

“Ayo kita bawa ke rumah sakit saja, Natsume!” Papa dengan sigap menggendong tubuhku yang terus berteriak histeris. Suara Papa mengembalikanku di kondisi semula. Sosok wanita itu menghilang bersamaan dengan pandanganku yang menggelap.
***
“Taro, apa kamu mau bergelung di kamar terus sampai hari ulang tahunmu besok?”  seru Papa dari luar kamar. Nada suaranya terdengar sebal.

Seperti biasa, pagi ini keluargaku sedang melaksanakan ritual Sabtu Bersih mereka. Rumah kecil yang terletak di sisi Sungai Senba, wilayah tengah kota Himeji. Sudah dua minggu ini Mama sibuk berkelana di ruang bawah tanah rumah kami. Ada banyak benda-benda kuno warisan almarhum ojiichan (kakek), yang menarik perhatian Mama. Baru enam bulan kami pindah ke rumah warisan ini. Aku masih merindukan suasana Kobe dan lingkungan lamaku.

“Oniichan (kakak), ayo bangun,” Yuri, adik perempuanku yang baru berusia tujuh tahun, menarik selimut dan menggelitik hidungku.

Kubalas gelitikan Yuri dengan mengangkatnya tinggi-tinggi,”Wuaa, turunin Yuri, oniichan,” Yuri menjerit karena ia takut ketinggian.
Papa masuk ke dalam kamar, lap kotor tersemat anggun di bahunya.

“Cepat bantu, Mama. Sepertinya ia butuh bantuan untuk mengangkat peti dari ruang bawah,” perintah Papa.

Aku mengiyakan dengan suara enggan. Yuri terus membuntutiku dengan suaranya yang terus ribut. Esok usiaku menjadi tujuh belas tahun, terkadang aku merasa risih dengan kemanjaan Yuri. Mama sedang menatap takjub pada sebuah peti kayu berlumut di ruang penyimpanan bawah tanah. Aku tak suka gelap. Bau lembab dimana-mana membuatku mual.

“Ayo cepat bantu Mama mengangkat peti ini,”

Aku terkejut. Ada sosok lain di samping Mama yang belum pernah kulihat. Sial, hal ini terjadi lagi. Kukucek mataku beberapa kali sebelum akhirnya bayangan hitam itu menghilang.

“Ini apa ya?” Mama berusaha membuka gembok peti. Aku meminta Mama sedikit menjauh, lalu kupukul kuat-kuat gembok besi berkarat itu dengan palu yang disediakan Papa.

Di dalamnya hanya terdapat surat-surat kuno dan foto lama. Yang menarik perhatian Mama adalah sebuah salinan tua yang berisikan silsilah keluarga. Yang menarik perhatianku bukanlah isi peti kayu lapuk di depanku, tapi seseorang yang berdiri tak jauh di belakang Mama. Sepertinya hanya aku yang bisa melihat.

Sato ojiichan dengan pakaian kesukaannya, piyama warna abu-abu, sedang berdiri dan tersenyum padaku. Kepalanya masih belepotan darah, seperti terakhir kali aku menemukannya tergeletak di kamar mandi rumah ini empat tahun yang lalu. Tubuhku sama sekali tak bisa bergerak. Setelah berusaha memfokuskan pikiran, aku segera masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian.

“Mau kemana , Taro?” tanya Papa dan Mama hampir berbarengan.

“Jalan-jalan pagi, aku ingat ada urusan yang harus kuselesaikan hari ini,” tanpa memedulikan omelan Mama dan Papa aku berlari keluar rumah, kulihat ojiichan masih tersenyum dengan noda darah di kepalanya.
***
Sudah delapan tahun berlalu semenjak aku meninggalkan tempat dengan dominasi cat warna putih ini. Lokasi bangunannya yang terletak di perbukitan tampak angkuh- menunjukkan kelas sosial penghuni di dalamnya pada zaman dahulu. Aku benci kembali ke sini. Tetapi ada sesuatu yang menarikku untuk pergi, apalagi sesudah peristiwa menakutkan tadi pagi.

“Papa mengajak siapa? Kenapa orang itu terus mengikuti Papa?”

Tanyaku pada Papa dengan merinding hebat. Sepulangnya dari acara wisata kami di Istana Himeji, aku sering melihat penampakan-penampakan aneh di sekitarku. Tepat sebulan setelah aku melihat perempuan mengenakan yukata ungu di Istana Himeji, seolah duniaku dipenuhi makhluk aneh. Perempuan dengan rambut terurai dan lidah menjulur, makhluk botak yang sering mengikuti Papa dan ternyata ia tinggal di rumah lamaku, serta serentetan hal aneh yang membuatku histeris.

“Lebih baik kita lakukan upacara pengusiran setan, ada seorang miroku (pendeta pria) di jinja (kuil) dekat sini yang Mama kenal,” saran Mama namun mendapat penolakan keras dari Papa.

Papa bekerja sebagai wartawan. Ia hanya percaya dengan hal-hal logis yang bisa dibuktikan fakta. Berkebalikan dengan Mama yang selalu percaya dengan kekuatan di luar nalar manusia. Aku masih ingat ketika Mama membawaku diam-diam untuk bertemu dengan  miroku kenalannya.

“Anak ini mewarisi amarah dari leluhurnya,”

“Apakah penglihatannya tidak bisa ditutup?” tanya Mama khawatir, aku sedang duduk diam di sisi altar warna merah. Miroku itu sedang didampingi seorang nenek berambut putih.

“Bisa, tapi suatu hari nanti tanpa sebab yang pasti, penglihatannya dapat terbuka kembali. Kemarilah nak, jangan takut dengan nenek yang duduk di sisiku. Ia adalah miko (pendeta wanita) yang melindungi jinja ini,”

Aku terkejut. Mata miroku ini berkilat meyakinkan. Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang sama- mampu melihat apa yang orang lain tak mampu lihat.

“Aku nggak mau dibawa ke psikiater seperti kata Papa, aku nggak gila,” celotehku. Sejak saat itu aku tak perlu melihat makhluk-makhluk mengerikan lagi. namun perkataan miroku itu benar. Hari ini, tanpa sebab yang jelas indera keenamku terbuka lagi.

Istana Himeji berdiri dengan gagah di hadapanku. Besok akan diselenggarakan Oshiro Matsuri yang sangat terkenal. Praktis di kota kecil seperti Himeji, sebuah festival akan sangat ditunggu-tunggu masyarakatnya. Aneh, gerbang utama Istana terbuka. Iseng aku masuk ke dalamnya. Tak ada yang berubah, semua masih tampak tenang. Beberapa orang sedang sibuk menata hiasan. Perempuan itu hadir lagi. Kali ini jarak kami lebih dekat, wajahnya cantik tapi pucat.
Ia pergi begitu saja setelah melihatku. Aku harus membuktikan apakah ia manusia atau bukan. Ia berhenti di depan menara utama Istana Himeji. Tangannya menunjuk ke sisi timur. Aneh. Bagian kaki menara yang semula sepi tiba-tiba saja dipenuhi banyak orang. Mereka mengenakan kimono dan hakama.
“Demi kehormatan Raja, maka aku akan mempersembahkan kematian suciku ini!” seorang pria berpakaian serba putih duduk bersimpuh. Sebilah belati panjang ia siap hunuskan di perutnya. Aku bersusah payah mencoba menghentikan. Pria itu menusukkan belati di perutnya sendiri. Ususnya terburai dan ia mati perlahan.

“Bertahanlah pak, saya akan panggil ambulans. Hei kalian kenapa kalian diam saja melihat orang lain sedang mencoba bunh diri hah?”aku marah melihat keacuhan orang-orang aneh ini.

Grrk,grrk. Sebuah suara deguk mengejutkanku, seolah nafas yang dipaksa keluar dari tenggorokan. Pria yang baru saja tewas bunuh diri itu menolehkan wajahnya padaku. Tak lama ia bangkit seperti tak terjadi apa-apa. Darahnya terus mengalir membasahi tanah hingga mencapai jinsku. Aku terkejut. Kerumunan orang di sekelilingku juga menatapku dengan tatapan mengerikan. Segera aku berlari masuk ke dalam Istana Himeji. Perempuan beryukata ungu itu hadir lagi. kini ia menaiki sebuah menara, lalu tiba-tiba menghilang.

“Watashi o sagashiteru? (kamu sedang mencariku?)” bisik halus mengejutkanku.

Wanita asing tadi sudah berdiri di sisiku. Aku tak bisa bergerak. Wajahnya sangatpucat, aku yakin jika ia bukan manusia. Bau busuk memenuhi udara puncak menara.

“Apa yang kamu inginkan? Anata wa dare desuka? (Siapa kamu?)” kataku dengan suara tercekat.

Ia tersenyum, lebih tepatnya sebuah seringai mengerikan menghiasi wajah pucatnya. Wanita atau mungkin hantu wanita itu melayang mendekatiku. Ingin kupalingkan wajahku namun mataku tersedot ke dalam matanya,”Ju on (dendam),” ucapnya lirih, kemudian lenyap sekali lagi.

Sreek, sreek. Langkah kaki diseret terdengar menaiki tangga menara. Dua orang wanita beryukata ungu masuk ke dalam puncak menara. Mereka membawa kain lap, sepertinya tak ada yang menyadari keberadaanku.

“Kamu akan melaporkannya pada Raja, Okiku?” tanya si gadis berkepang dua sambil mengelap benda-benda berkilau keemasan yang tertata rapi.

Wanita bernama Okiku itu adalah sosok wanita mengerikan beryukata ungu, hanya saja kali ini penampilannya lebih manusiawi,”Tentu saja, kuharap dengan melaporkan rencana pemberontaan itu, Raja akan berterimakasih padaku dan mau merawat putraku di istana,”

“Putramu adalah anak Raja, tidak seharusnya ia tinggal di luar istana,”

“Tetapi ia lahir dari hubungan terlarang, walau darah Raja mengalir dalam dirinya,” keluh Okiku muram.

Sampai di situ tiba-tiba mereka menghilang. Greet, greet. Suara kaki diseret disertai bunyi gaduh menuju puncak menara. Tubuhku yang bisa digerakkan segera mencari sudut yang gelap dan aman. Meskipun aku yakin, mereka takkan melihatku.

“Dasar pencuri, hukuman apa yang pantas bagi pencuri benda pusaka istana!’ seorag pria mengenakan pakaian prajurit menendang wajah Okiku.

“Aku tidak mencuri, lagipula aku sudah menyelamatkan nyawa Raja, bagaimana bisa aku dituduh seperti ini?” Okiku tetap berusaha bangkit dengan wajah berlumuran darah.

“Menurut titah Raja, bunuh saja manusia tak berguna ini. Buang mayatnya di dalam sumur!”

Berikutnya aku tak sanggup melihat lagi. Okiku dibunuh dan tubuhnya dimutilasi dengan keji. Ada dorongan kemarahan di dadaku. Kuberanikan diriku kemudian kuterjang para pengawal biadab. Mereka sadar. Tubuh Okiku yang tak terbentuk mereka ambil satu-satu dan dilemparkan ke arahku.

Aku berlari menuruni menara. Lorong-lorong istana yang tak kukenal membuatku semakin panik. Prajurit-prajurit bengis itu terus mengejarku. Nafasku hampir putus. Kakiku kebas tak sanggup berlari lebih jauh lagi.

“Doko ni iku? (mau pergi kemana?)” hantu Okiku muncul lagi. Kali ini dalam versi yang lebih mengerikan.
Entah apa sebabnya, aku mengikuti langkah hantu tapan tangan dan kaki itu. ceceran darah terus mengalir dari tubuhnya. Bau anyir menguar di udara.

“Mereka mengejarku! Tentara-tentara gila itu meihatku memergoki perilaku sadis mereka terhadapmu!” pekikku putus asa.

Akhirnya kami sampai di tepi sumur. Aku jatuh terduduk lalu menangis. Aku sudah pasrah jika memang hanya sampai di sini batas akhir hidupku. Hantu Okiku mendekatkan wajahnya di depan wajahku. Aneh. Ia pun turut menangis, buliran air mata darah mengalir di wajah pucat pasinya.

“Wajahmu mirip dengan wajahnya. Kau memang reinkarnasinya, namun hatimu berbeda dengannya,”

Itulah kalimat terakhir yang bisa kuingat. Okiku lalu terjun ke dalam sumur. Aku tak bisa menahannya, kakiku memutuskan untuk ikut jatuh bersamanya.
***
“Sadar Taro!” lamat-lamat aku mendengar suara Mama. Apakah ini surga? Aku baru saja mati, tapi belum-belum sudah merindukan keluargaku.

“Tubuhnya mulai bergerak,” kali ini suara Papa.

Cahaya menyiauan menyambut terbukanya mataku. Perlahan aku sadar, jika aku masih terikat dengan ragaku di dunia. Aku belum kehilangan nyawa,”Ada apa denganku, Ma, Pa?” tanyaku dengan suara lemah.

“Kami menemukanmu pingsan di dekat sumur Okiku,” pungkas Papa. Raut wajahnya begitu lelah,”kamu sudah menghilang hampir dua hari, pagi ini petugas penjaga Istana Himeji melaporkan keberadaanmu yang tiba-tiba saja sudah tergeletak di samping sumur ini,”

“Pengihatanmu terbuka kan?” tanya Mama cemas. Aku menjawabnya lewat anggukan lemah,”mama membaca surat-surat kuno milik ojiichan, sejarah kelahiran keuarga kita yang masih berkaitan dengan Okiku,”

“Awalnya itu rahasia memang, tetapi kekeliruan dan tuduhan terhadap Okiku harus diluruskan, Ma,” sahutku

“Arigatou,” desir halus merayapi tengkukku. Aku memalingkan wajah. Dari kejauhan, kulihat arwah Okiku sedemikian cantiknya. Ia lenyap masuk ke dalam istana.

Tidak ada komentar