Aroma Yang Tertinggal

Aku tidak pernah membenci hujan seperti sekarang. Buat tiap orang, hujan membawa ketenangan, sebuah hasrat sejuk setelah diliputi kerontang. Gara-gara hujan, aku merindu padamu. Itu melelahkan.

Kenapa tiap kali hujan turun, aku harus teringat padamu? Gelitik tawa saat kita menunggu hujan di ruang yang sama, ajakanmu untuk pergi menerobos hujan di suatu sore yang tiba-tiba, atau cengiran konyolmu yang bermain air banjir sembari mengamatiku diam-diam. Semuanya memutarbalikkan otakku hanya menujumu. Kamu menjadi egois tanpa pernah sengaja.

Aku kecanduan. Saat kau tak ada di jangkauan mataku, aku sesak nafas ingin terbang ke tempatmu. Apa yang kaupikirkan, apa yang kaulamunkan, apa yang kauinginkan, aku ingin mengetahuinya. Gawat. Jangan-jangan, kamu akan membuatku overdosis debaran.

Aku jadi terpikir untuk membuat dua bait kisah untukmu.

Menari
Itu aku dan siluetmu
yang menanti ketukan nada berikutnya
Meski sumbang
Buat kita tergelak riang

Aroma menguar
dari hembus karbondioksidamu
Kuhirup sebagai oksigenku
Menari
Hingga tawamu lebur di rongga dadaku

Kamu tidak pernah terdeteksi memakai parfum. Cukup suaramu yang bisa membuatku ingin berlari sembunyi agar kau tidak mendapati pipiku yang berubah merah. Aroma ini, kasat mata. Hanya bisa dideteksi oleh indera abstrak, yakni intuisi jiwa.

Tidak ada komentar