Pilihan


Wanda tak tahu lagi arah rumahnya. Dari tadi ia berputar-putar kompleks dan sadar jika beberapa kali sudah melewati rumah kontrakannya yang kecil tetapi hangat itu. Sumpek. Marah. Kesal. Satu per satu rasa yang membuat moodnya sangat jelek beberapa hari ini bercampur aduk menjadi satu. Biasanya, dia akan sangat riang gembira jika waktunya pulang ke rumah. Kali ini tidak ada perasaaan seperti itu. Kontrakan mungilnya tidak lagi mnejadi tempat yang nyaman unutk pulang, setidaknya untuk saat ini.

Beberapa panggilan masuk tidak dipedulikan Wanda. Ketika panggilan telepon yang mungkin keduapuluhkalinya masuk, Wanda mengangkat ponselnya kemudian memencet tombol off. Mobilnya menggelinding pelan dan kini malah keluar dari gerbang kompleks perumahan.

“Aku nggak mungkin ketemu pengkhianat itu.”  Batin Wanda dalam hati.

Hanya dalam tiga hari, hidupnya yang sempurna berubah menjadi jungkir balik. Hidup Wanda adalah sebuah mimpi indah yang terwujud nyata. Pada mulanya Wanda pun berpikir seperti itu. Sepaket kehidupan dengan Ryan dan juga jagoan kecilnya, Dimas, mulanya menjadi hal dimana ia selalu rindu pulang.

Dan akhirnya Wanda tahu jika semua momen manis itu pasti akan ada masa kadaluarsa. Mobilnya terus melaju sampai ke sebuah minimarket 24 jam yang di depannya berjajar meja dan kursi kosong. Cocok untuk orang-orang yang hobi begadang atau mungkin sedang tidak punya uang untuk membeli makan di restoran. Cukup membeli mi instan cup dan juga air panas yang disediakan di minimarket, maka kita bisa duduk sampai bosan di depan minimarket.
Wanda menghentikan mobilnya dan mengambil jaket rajut yang bisa membuatmya hangat. Seperti yang dibayangkannya, Wanda membeli dua cup mi instan lalu membeli sebotol air mineral serta satu kaleng kopi kalengan. Ia berencana begadang semalaman.Untung besok hari Minggu dan kantornya libur.

Perempuan di awal tiga puluhan itu mengaduk mi instannya dan membaui uap hangat yang keluar menggoda selera. Uap mengenai matanya sampai pandangannya kabur, menitikkan beberapa tetes air mata.

“Andai turun hujan, pasti aku bisa lebih puas untuk menangis,” pikirnya lagi.

Seminggu lalu, Wanda merasa sedang berada di puncak hidupnya. Perusahaan media  tempatnya bekerja, menawarkan promosi jabatan baginya. Dari seorang staff copywriter menjadi Creative Manager, menggantikan Ibu Herlina yang sebentar lagi  pensiun.
Posisi baru menawarkan segudang kesempatan baik buatnya. Terutama untuk pemulihan kesehatan Dimas yang butuh dana banyak untuk perawatan jantung lemahnya.

“Kamu dipromosikan menjadi manajer? Lalu bagaimana nanti dengan Dimas?” tanya Ryan, suami Wanda, dua hari lalu.

“Bagaimana apanya, Mas? Kalau aku dipromosikan menjadi manajer, pasti keuangan kita akan lebih membaik.” Kilah Wanda berusaha membenarkan keputusannya untuk menerima tawaran promosi jabatan itu.

“Kamu yakin bisa membagi waktu antara pekerjaanmu dan juga memperhatikan Dimas? Saat ini saja kamu sudah kelabakan. Dimas baru tiga tahun, yang dia butuhkan adalah kasih sayang ibu dan ayahnya, bukan baby sitter,”

Kalimat Ryan begitu lembut, tetapi menyinggung Wanda. Emosi Wanda tersulut hingga ia memilih diam dan masuk ke kamar. Jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas malam, dan ia baru saja pulang setelah lembur gila-gilaan untuk menyelesaikan deadline pekerjaan. Bukankah ini semua demi keluarganya? Jika hanya mengandalkan penghasilan Ryan sebagai dosen muda di kampusnya, tentu saja kebutuhan mereka tidak akan cukup. Yang dipikirkan Wanda hanyalah Dimas dan bagaimana cara mengumpulkan uang demi operasi jantung yang bisa memperpanjang hidup Dimas.
Belum habis emosi Wanda, tadi pagi tak sengaja ia membaca pesan masuk untuk suaminya ketika Ryan sedang mandi pagi. Pesan itu dari Anisa, sahabatnya.

“Bagaimana rencana kita, Ryan? Jangan sampai Wanda tahu. Kutunggu di tempat janjian kita nanti, jam lima sore.” Tulis Anisa dalam pesannya.

Jantung Wanda berderap begitu membaca pesan aneh dari Anisa. Ada rencana rahasia apa antara sahabatnya dengan Ryan? Apa jangan-jangan, Ryan melakukan hal, ah Wanda tidak bisa melanjutkan dugaannya. Semakin ia menduga,semakin ia tersiksa sendiri.

“Cobalah bekerja dari rumah saja. Lagipula tulisanmu juga sudah banyak diminati penerbit bukan? Buka kursus menulis, bahasa Jepang atau mungkin kamu bisa mengajar orang Jepang bahasa Indonesia speerti waktu kamu kuliah dulu. Biar Dimas lebih banyak bersama ibunya,” Ryan pernah menyarankan Wanda seperti itu, tetapi Wanda menolak kuat-kuat.

Kalau dia berhenti bekerja di kantor, tentu akan sangat menyusahkan. Kebutuhan perawatan Dimas yang menghabiskan pengeluaran paling besar, membuat Wanda pusing.

“Uang itu bisa dicari, biarkan aku yang bekerja keras di luar, Insha Allah Dimas akan mendapatkan perawatan terbaik.”

Dimas baru bisa menjalani operasi kalau dia sudah berusia lima tahunan. Sementara itu, Wanda dan Ryan hanya bisa menjaga buah hati mereka sampai mencapai usia yang cukup untuk operasi. Wanda masih bingung dengan pilihannya untuk menerima promosi jabatan atau menjaga Dimas di rumah, sampai ia membaca pesan aneh d ari Anisa.
Ketika rasa penasarannya sangat mengganggu, Anisa meminta izin cuti setengah hari dan menunggu di depan kampus tempat suaminya mengajar pada jam empat sore. Di jam itulah, Ryan biasanya pulang dari kampus, kemudian mengajar  di sebuah bimbingan belajar.

“Jadi sekarang jadwal mengajarmu berubah ya, Mas?” batin Wanda.

Anisa, sahabatnya yang menjadi single parent di usia muda, adalah sosok perempuan yang pasti menarik perhatian Ryan. Semenjak kematian suaminya, Wisnu, Anisa memilih untuk berhenti dari kantor dan berwirausaha. Sekarang ia memiliki toko online dan juga satu toko cukup besar di sebelah rumahnya. Bekerja sambil mendidik anak semata wayangnya adalah pilihan Anisa yang sering dipuji-puji Ryan.

Mungkinkah sekarang hati Ryan mulai berpaling di saat Wanda disibukkan dengan pekerjaannya?
Buktinya cukup kuat. Tadi sore ia memergoki Ryan sedang mengunjungi sebuah kafe es krim. Anisa sedang menunggu dengan manis bersama Adam yang terus berceloteh riang. Mereka berbicara akrab seperti keluarga kecil yang bergembira. Wanda mengutuki dirinya sendiri, menyalahkan diri sekaligus kecewa pada Ryan.

Kalau memang tidak menyukainya yang bekerja di luar, seharusnya ia tidak main belakang dengan perempuan lain. Jika memnag sudah tidak lagi cinta, sebaiknya mereka berpisah baik-baik. Pengkhianatan adalah kejahatan perasaan yang tidak bisa dimaafkan.

“Alhamdulillah akhirnya ketemu juga, kamu kenapa tidak pulang, Wan?”

Sebuah suara yang dikenali Wanda menghentikan lamunan Wanda. Mi cup yang sudah setengah hangat masih dibiarkan terbuka, belum tersentuh bibirnya.

“Ayo pulang,” ajak Ryan lagi.

“Aku nggak mau pulang, Mas.” Sahut Wanda sengit. Air matanya sudah tak bisa ditahan lagi.

Ryan sama sekali tak mengerti mengapa istrinya menangis. Wanda memalingkan muka dan menangkupkan wajahnya di atas meja. Bahunya turun naik dengan suara sesenggukan.

“Wanda kenapa kamu menangis? Ini kan hari ulang tahunmu,” suara lembut Anisa mendorong emosi Wanda semakin memuncak.

“Berani-beraninya kamu da..tang,” kata-kata Wanda terputus setelah dilihatnya kue Anisa sedang membawakannya kue ulang tahun.

“Happy birthdaay, Wandaa. Aku takut kejutan kami tidak berhasil, padahal aku dan Mas Ryan sudah rnerencanakan jauh-jauh hari. Tadi sore juga kami melakukan persiapan terakhir, tetapi kamu malah tidak pulang.” Anisa terus berceloteh,”sudah ada orang tuamu yang hadir di rumah. Kamu malah tidak kunjung pulang.”

Jadi? Pertemuan tadi sore itu bukan seperti yang Wanda bayangkan?

“Untung aku ingat kebiasaanmu kalau sedang suntuk, pergi ke minimarket dan makan mi sendirian. Aku senang bisa bertemu denganmu di sini. Kenapa kamu menangis, Sayang? Ada masalah di kantor?” Ryan mengusap kepala Wanda.

Dugaan yang tidak berdasar seringkali membuat perasaan khawatir liar berlebihan. Wanda memeluk Ryan erat-erat. Baru saja ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan dirinya akan kehilangan keluarga kecilnya. Ia takut, amat sangat takut.

“Mas Ryan, maafin aku ya,” Wanda menghapus air matanya,”minggu depan aku mau resign saja dari kantor. Sepanjang malam ini aku sudah banyak berpikir.”

Ryan terkejut dengan keputusan tiba-tiba Wanda,”Tapi itu kan impianmu?”

“Lebih bagus lagi kalau aku lebih banyak bersama Dimas dan juga Ryan. Aku bisa punya lebih banyak waktu di rumah.” Ujar Wanda yakin.

Buat apa karir yang tinggi dan juga gelimang gaji yang besar jika ia berisiko kehilangan keluarganya? Dirinya sudah cukup lama bersikap egois. Wanda tahu itu. Besok pagi ia akan menghadap Bu Patricia, atasannya, untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai di kantor. Wanda sudah mantap dengan pilihannya.


(Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ''Pilih Mana: Cinta Atau Uang?'' #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan NulisBuku.com)

1 komentar

Edi Padmono mengatakan...

Pilihan yang cerdas, istri dirumah lebih terjaga dan lebih tentram