Lilin-lilin Kecil

Lilin-lilin kecil berpendar di ruang tamu kita. Petir di luar masih terus menggelegar, dan aku masih menunggumu sembari menepuk nyamuk yang hinggap di pipi cekungku. Lilin-lilin kecil sedikit bergoyang redup saat angin lembut bertiup dari kisi-kisi jendela. Kelihatannya angin lebih cerdik dari yang kukira. Buktinya, aku masih terus menggigil meski jaket kulit tebal milikmu sudah kukenakan, walaupun kaus kaki tebal sudah membungkus kakiku yang mirip jarum, katamu.

"Lilin itu seperti matamu, Tania,"  katamu suatu malam ketika listrik dipadamkan PLN.

Lilin itu cahayanya samar-samar. Tetapi siapapun selalu mencarinya di tengah nihilnya listrik. Katamu, begitulah mataku. Meski aku diam di tengah kerumunan, hatimu akan tenang jika bisa menemukan sorot mataku. Kita tak perlu banyak bercakap, cukup saling menatap dan semua kegelisahan akan lenyap.

Jam dinding sudah berdentang satu kali. Ini sudah menjelang matahari bangun lagi, tetapi kamu masih belum juga datang. Ah, kuhalau pikiran-pikiran buruk. Kamu selalu asyik dengan kesibukan pekerjaanmu. Masalahnya, belum ada pesan singkat dan juga dering telepon darimu. Lilin-lilin kecil ini saja yang menemaniku malam ini.

"Masih belum tidur?" suaramu mengejutkanku.

Aku mengangguk. Lilin-liin itu mulai bergoyang semakin meredup. Kamu mengelus lembut dahiku. Air mata dingin menetes dari matamu, ke pipiku.

"Tidurlah, ini terakhir kalinya aku datang. Sudah hari keempat puluh. Aku sudah tidak bisa lagi pulang ke rumah," bisikmu lembut.

"Berangkatlah," ujarku merelakan.

Lilin-lilin kecil pun padam. Saklar lampu menyala oleh tangan Arimbi, puteri manis kita yang beranjak remaja. Dia tersenyum maklum. Matanya sama persis seperti matamu.

"Ibu sedang rindu Ayah? Besok kita ke makamnya, sekarang tidur dulu ya, sudah larut malam," kata Arimbi.

Kamu pun menghilang dari pandangan, bersama dengan lilin-lilin yang sudah padam.

sumber gambar : google



Tidak ada komentar