Pencipta Keberanian

Ucapan selamat dari kawan-kawan dan juga rekan kerja, tak berhenti membanjiri telepon dan juga kotak pesanku. Sudah kubuktikan satu hal pada mereka, mimpi yang kukoarkan semenjak kecil, sudah mulai menunjukkan wujud nyata. Akhirnya aku menerbitkan buku, dan buku itu terpilih sebagai finalis sebuah sayembara nasional.

“Sudah dijual di toko buku?” Tanya salah satu kawanku.

“Belum, masih dijual online. Tetapi aku beruntung karena bisa ditebitkan indie dengan cuma-cuma,” ujarku singkat.

Pada mulanya, tulisan-tulisan itu terlalu takut untuk kujadikan nyata. Semua tulisan dan imajinasi liar yang kububuhkan dalam kertas, tidak pernah kutunjukkan pada dunia. Karena aku terlalu takut untuk kalah, sebab aku terlalu takut untuk menghadapi penolakan. Semua tulisan itu kukekap sendiri, sampai suatu hari sebuah peristiwa membangunkanku dari rasa malu berlebih.

Siang itu, mungkin saat aku masih duduk di kelas 2 SD, aku mengurung diri seharian di kamar. Sepertinya duniaku gelap waktu itu. Semangat menggebu, terhempas ke jurang terbawah. Aku menyebut diriku bodoh berulangkali sampai menyentuh makanan pun enggan. Penyebabnya hanya gara-gara diriku kalah di sebuah lomba cerdas cermat tingkat kabupaten Sidoarjo. Kebanggaan yang kubawa setelah lolos di tingkat kecamatan, langsung luruh berganti dengan rasa malu setelah yang kuperoleh hanya kegagalan. Aku merasa tidak berguna.

“Kenapa kamu malu? Kamu sudah berjuang semampumu, jangan murung seperti ini,” kata Mama, prihatin melihatku patah semangat.

“Aku malu, Ma. Sekolah sudah berharap banyak padaku, tetapi aku malah kalah.” Kataku lesu waktu itu.

Mama tidak banyak bicara. Kemudian ia keluar rumah dengan mengendarai sepeda kecil kami, walaupun di luar sedang hujan deras. Aku tak tahu ke mana Mama pergi.

Yang mengejutkan, sepulangnya dari luar, Mama membelai kepalaku dengan lembut. Rambut dan tubuhnya yang basah kuyup, tidak dihiraukan.

“Mulai besok kamu les Matematika di guru terbaik di desa. Kamu gagal lomba di pelajaran Matematika, bukan? Sudah, jangan menangis lagi. Kekalahan itu bukan untuk ditangisi, tetapi untuk pelajaran supaya kamu mau memperbaiki poin-poin kekuranganmu. Kompetisi bukan untuk sombong-sombongan, tetapi ajang mengukur kemampuan. Tetaplah berani namun jangan lupa rendah hati,” pesan Mama padaku.

Aku tergugah berkat nasihat Mama. Tangis haru keluar dari mataku, tiap kali terkenang peristiwa itu. Tubuh Mama yang basah kedinginan tidak dipedulikan, hanya demi menumbuhkan lagi semangat belajarku. Jadi, suatu hari di pertengahan 2013, tantangan besar untuk impian masa kecilku muncul.

Sayembara menulis yang diselenggarakan oleh penerbit mayor sekaligus indie AGPublishing, mendorongku untuk segera menuliskan novel pertama yang selama ini hanya kureka-reka dalam otak. Menulis novel di sela pekerjaan sebagai penulis artikel, mengerjakan skripsi dan juga menjadi penerjemah bahasa Jepang freelance, membuat jadwal istirahatku kacau.

Namun, kata Mama, jangan takut dengan kegagalan. Kompetisi adalah untuk mengukur kmampuan. Kalah menang bukanlah akhir kehidupan.
Dan yah, novel berjudul ‘Triangle’s Destiny’ berhasil menjadi sepuluh besar terbaik sayembara. Tidak menjadi juara utama memang, tetapi impian masa kecilku terwujudkan. Sebuah buku dengan namaku sebagai penulisnya, berhasil diterbitkan. Sejak saat itu, sudah puluhan antologi bersama yang terbit secara indie dan juga sudah ada yang terpajang di toko buku. Aku masih akan terus bermimpi di sela waktu kerjaku. Dear Mama, engkaulah inspirasi yang menjadi pencipta keberanianku.


(Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co)




Tidak ada komentar