Impian Itu Dari Lembaran Kertas


Memang saya sering menuliskan bab tentang kisah saya yang satu ini, bagaimana asal mula saya jatuh cinta dengan aktivitas tulis-menulis. Walau sering saya tuliskan, kenangan masa kecil inilah yang menjadi pemicu semangat untuk memperjuangkan impian. Apa sih kenangan itu? Yaitu berjualan buku tulis yang isinya tulisan tangan saya kepada kawan-kawan sekelas.

Mulanya saya lebih dulu menyukai kegiatan membaca apalagi sejak umur lima tahun saya sudahm lancar membaca tanpa mengeja. Semua itu berkat kegigihan Mama dalam mengajari mengenali aksara. Apalagi Papa yang hobi membaca, secara rutin membelikan saya majalah anak-anak baik yang banyak tulisan atau lebih banyak gambarnya sebagai media latihan membaca. Dari majalah anak-anak seperti Bobo dan Mentari, saya jatuh hati dengan dunia petualangan dan imajinasi. Ternyata cerita sehari-hari bisa dijadikan kisah yang menarik dari berbagai sudut pandang. Lambat laun imajiansi saya semakin berkembang liar, bersamaan dengan hobi saya yang lain yaitu menonton film kartun para princess Disney.

Dari sekedar menuliskan curhatan iseng tentang Mama dan juga hobi menulis diary, saya mulai mencoba untuk menuliskan cerita. Saya mencoba untuk menulis dengan berbagai genre sesuai dengan apa yang saya baca di majalah-majalah anak-anak. Buku tulis menjadi korban. Saya menulis di sebuah lembaran kertas dan mulai terlatih untuk menulis di media yang lebih banyak halamannya. Ternyata, guru dan juga kawan-kawan sekelas di sekolah dasar menyukai cerita yang saya tulis. Teman-teman sekelas minta dibuatkan cerita. Spontan saja saya bilang,”Kalau mau kubuatkan cerita, bayar ya.” Ajaibnya mereka mau.
Selanjutnya saya mulai berpikir untuk membuat buku versi saya sendiri. Saya tak mau hanya menulis di lembaran seperti basanya. Saya ingin membuat buku sederhana yang isinya tulisan saya sendiri. Itulah sebabnya saya memotong kertas bergaris dari buku tulis menjadi dua persegi panjang. Untuk kover saya beri kertas bufalo warna-warni. Kertas berbaris dan juga kertas bufalo saya jadikan satu menjadi bentuk buku hanya dengan menggunakan stapler. Sebuah katalog berisi genre dan judul tulisan juga saya buat sehingga calon pembeli bisa bebas memilih. Tiap buku saku itu saya hargai lima ratus rupiah. Senangnya, dari hasil berjualan buatan sendiri, saya bisa menabung tnapa terlalu  memberatkan orang tua.

Dari situlah saya berangan-angan ingin memiliki buku cetak sendiri. Saya membayangkan sedang menandatangani buku karya saya, dan kini mulai ada beberapa buku solo serta antologi yang terbit dan pembaca selalu minta tanda tangan meskipun dijual indie. Kenangan masa kecil tersebut tidak akan pernah lekang. Mimpi itu selalu punya cara untuk bertemu kembali.

4 komentar

Dian Kelana mengatakan...

Kalau kamu sudah punya cerita saat masih kecil, saya baru bisa menuliskannya setelah saya tua. Itu juga setelah saya aktif sebagai blogger. Keinginan menulis sih sudah lama, tapi media tempat saya menulis itu yang belum saya punyai. Pernah menulis dengan mesin ketik portabel, tapi saya tidak pernah bisa menuntaskannya, sehingga hanya membuang-buang kertas.

Reffi Dhinar mengatakan...

tak ada yang sulit selama mimpi itu digenggam mbak :D

Jefferson L mengatakan...

wah, cerita passion menulisnya keren. udah dari dulu banget dong ya berarti hobi nulis. dan sekarang semakin maraknya digital writing pun semakin mempermudah passion itu. emang keren sih kalau ngebayangin kita lagi menandatangani buku karya kita sendiri... haduh

Reffi Dhinar mengatakan...

hihihi, sudah ttd buku sendiri jugakah? :D