Kalau Bicara Ego


Manusia itu dilahirkan dengan kumpulan ego. Ego untuk menjadi pemenang, ego untuk mencintai dan juga ego untuk membenci. Sejak lahir dan tangisan bayi kita memekakkan telinga, ayah,ibu dan juga para ahli medis yang membantu proses persalinan akan mencari cara agar kita segera tenang. Ego untuk menjadi pemenang perhatian itulah yang mula-mula kita lakukan- tanpa sadar.

Jika bicara soal karakter manusia lewat teori psikoanalisis Freud, kita hanya mendapatkan tiga gambaran yaitu id, ego dan superego. Tiga prinsip ini membagi manusia dari masih berupa hasrat dasar atau naluriahnya, mulai memikirkan perasaan orang lain hingga menjadikan kepentingan orang lain lebih tinggi dibanding kepentingan pribadi. Masalahnya untuk mencapai kasta tertinggi superego, dibutuhkan satu hal yang namanya keikhlasan.

Manusia, termasuk saya, sesungguhnya sering berpura-pura tanpa sengaja. Kita berpura-pura senang dengan keberhasilan teman di dalam pekerjaan, padahal diam-diam bergunjing di belakang soal yang buruk-buruk tentangnya. Ditambah lagi keluar dari mulut satu, bertambah bumbunya lagi. Bayangkan jika sudah mencapai belasan mulut, berapa banyak bumbu berlebihan tentang sebuah  gunjingan yang mulanya tidak terlalu tajam. Sampai akhirnya sampai di telinga yang digunjing, lantas bisa rusaklah sebuah hubungan baik. Semua bencana bermula dari ego ingin memojokkan. Sederhana namun mematikan.

Kalau bicara ego dalam perasaan, seseorang yang sedang jatuh cinta pasti ingin orang yang dicintai bisa merasakan hal yang sama. Padahal pada kenyataannya, selain kisah yang bahagia, ada yang namanya kegagalan hubungan. Dua orang yang awalnya sama-sama jatuh cinta pun bisa menjadi saling membenci di tengah perjalanan. Tidak ada yang menjamin sebuah  kebahagiaan akan berlangsung terus-terusan. Yang menjadi masalah adalah jika suatu hari kebahagiaan itu gagal di tengah jalan dan ego kita untuk mempertahankan diri terlalu besar, yang terjadi adalah kegilaan.

Ego untuk dicintai selain mencintai, bisa membuat seseorang bisa melakukan dua hal. Orang itu mungkin akan berjuang demi cintanya atau malah tidak mengutarakannya sama sekali. Kalau pada kasus yang kedua, orang itu bisa jadi takut perasaanya diabaikan atau ditolak mentah-mentah . Ego untuk melindungi diri dari rasa sakit membuat seseorang menutup rapat-rapat hatinya. Belum lagi kalau sudah bersentuhan dengan gender. Ego perempuan dan ego laki-laki bisa menjadi sebuah polemik tersendiri.

Jikalau ada seseorang yang katanya membenci orang lain tanpa sebab, kemungkinan besar egolah penyebabnya. Orang lain tidak melakukan tindakan jahat tetapi secara fisik lebih menarik dari diri, bisa membuat hati tiba-tiba membenci. Cuma kita jago ngeyel sampai sok-sokan bilang,”Nggak tahu, aku benci aja sama dia, nggak jelas sebabnya,”
Tidak ada yang namanya jatuh cinta tiba-tiba, benci tiba-tiba atau marah tiba-tiba. Nonsense. Ego adalah produsen utama dari segala rasa, baru direduksi oleh logika dan juga perasaan agar hasilnya bisa lebih mendamaikan orang lain atau lingkungan sekitar.

Anda mungkin sekarang bertanya, so then how to handle my bad ego? Jawabannya, saya tidak tahu karena saya sendiri adalah sama manusia biasanya seperti anda. Itulah sebabnya anda butuh sahabat atau orang terdekat yang bisa menerima semua kekurangan dan kelebihan. Merekalah yang akan menilai anda secara objektif. Dari sini anda bisa belajar mengelola ego.

Tidak ada komentar