Judul
Novel : Entrok
Penulis : Okky Madasari
Jumlah
Halaman : 282 halaman
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Entrok adalah sebuah potret kaum marginal yang
dibuat dalam potongan cerita dari dua sudut pandang permepuan berbeda generasi.
Rahayu dan Marni sukses mengajak saya untuk menyelami dua kisah dengan latar
belakang sosial dan politik di kehidupan mereka masing-masing. Tulisan Okky
Madasari ini sesungguhnya mengusung isi yang sangat padat, sangat lugas dalam
menyindir, namun masih renyah untuk dibaca.
Cerita ini dibuka dari kehidupan Rahayu dan ibunya, Marni
yang menderita sakit jiwa. Bab pertama belumlah menceritakan semuanya. Baru di
bab kedua, kita akan diajak berkenalan dengan masa kecil Marni yang hanya
tinggal dengan ibu kandung yang ia panggil Simbok. Masa kecil yang sangat
sederhana mulanya dilalui Marni tanpa pernah banyak bertanya. Baru saat ia mulai
beranjak remaja dengan pertumbuhan fisik yang makin kentara, mendorong satu
keinginan kecil Marni yang tidak bisa dipenuhi Simbok. Ia ingin memiliki entrok, atau bahasa indonesianya bra.
Entrok yang banyak
dijual di pasar, tidak bisa dibeli oleh Simbok. Marni sangat ingin memiliki entrok seperti sepupunya dan juga
temannya yang cantik. Terbayang-bayang entrok
mendorong pikiran Marni untuk mencari uang lebih banyak. Pada tahun limapuluhan,
perempuan bekerja hanya diupah bahan makanan, amat sangat jarang yang menerima
uang. Marni tak puas hanya menjadi pengupas kulit singkong seperti Simbok, ia
pun menawarkan jasa sebagai kuli di pasar. Setelah perjuangan keras, entrok pertama bisa ia beli. Pundi-pundi
uang yang dihasilkan Marni, dikumpulkan untuk mulai berdagang.
Tak pernah ada cita-cita lain yang diturunkan orangtuaku selain bisa makan hari ini. Tapi aku mempunyai harapan dan mimpi. Setidaknya untuk entrok. (Halaman 45)
Insting bisnis Marni sudah terasah sejak remaja. Ia menikah
dengan Teja, laki-laki yang malah tidak banyak berkontribusi banyak untuk perekonomian
rumah tangga. Marni tumbuh sebagai perempuan pemuja aliran animisme dan dinamisme
yang umum dipercaya warga desa di masa itu. Perekonomian yang baik, memiliki
anak gadis yang cerdas, tidak diikuti keharmonisan dalam keluarga.
Rahayu, putri semata wayang Marni, tumbuh dengan rasa malu dan
kebencian pada ibu kandungnya. Selain berdagang, Marni juga beralih profesi
menjadi seorang rentenir. Para tetangga desa yang sukarela meminjam dan mau
diberi bunga, di mata Rahayu sebagai sumber kejahatan ibunya. Namun Marni merasa
tidak melakukan kesalahan karena para peminjam datang tanpa dipaksa. Ditambah lagi
Rahayu sangat membenci kepercayaan yang ia anut. Rahayu beriman sebagai muslim
serta menghindari semua praktek kepercayaan leluhur.
Novel ini memotret secara cerdas sebuah fragmen kehidupan
warga desa yang sampai sekarang masih bisa kita temui. Budaya rasan-rasan, satu
cerita kecil dibumbui dengan cerita lain dan juga prasangka terhadap kemajuan
yang datang karena rasa iri. Rahayu memberontak pada ibunya dan menyebut jika
ibunya sebagai kaum murtad. Ia memilih untuk jarang pulang ke rumah ketika
mulai mengenyam bangku kuliah. Di sisi lain Rahayu juga miris dengan
ketidakkonsistenan warga desa yang menghujat ibunya. Mereka menuduh ibunya
memiliki pesugihan dan juga menghina profesi Marni sebagai rentenir, namun
mereka masih saja terus datang meminta utangan.
Aku sebenarnya heran. Kalau orang-orang bilang berdosa, kenapa Pak Waji yang guru agama meminjam uang padanya? Kalau dia bilang Ibu pemuja leluhur, kenapa dia mau minta tolong pada Ibu?. (Halaman 83)
Suasana politik di Orde Baru yang diceritakan lewat sudut pandang
Rahayu juga sangat menarik. Bagaimana pongahnya para tentara pada masa itu dan
juga bagaimana politik disetir oleh partai penguasa diumbar tanpa sungkan oleh
penulis. Gara-gara bersinggungan dengan ketidakadilan jugalah, Rahayu sampai
harus mengalami masa pahit hingga terpisah lama dari keluarga serta melihat kematian
suaminya.
Novel ini memiliki klimaks yang baik, walau tidak
semenggelegar yang diharapkan sebab ending cerita sudah diungkap di bab awal.
Hal ini menjadi sedikit kelemahan agar kita mau membaca di bab akhir. Tetapi penulis
sangat piawai dalam menyajikan cerita mengenai kekuatan perempuan, ketidakberdayaan
mereka, serta bagaimana mengolah perasaan setelah tahu jika mencintai bisa berakhir
mengenaskan, bahkan cinta seorang ibu pada putrinya. Tulusnya cinta juga bisa
mengobati semua permusuhan di masa lalu meski harus melalui episode terpisah
dalam kehidupan mereka.
Tidak ada komentar
Posting Komentar