Review Sophismata: Dunia Politik dan Percikan Asmara


novel sophismata

Judul Buku               : Sophismata
Penulis                     : Alanda Kariza
Jumlah Halaman       : 268 halaman
ISBN                      : 978-602-03-5674-7
Tahun Terbit            : Cetakan pertama, 2017
Penerbit                  : PT Gramedia Pustaka Utama


Cerita romantis adalah genre yang selaku punya banyak basis penggemar terutama di dunia perbukuan nasional. Kali ini Alanda Kariza, penulis muda yang cantik dan berprestasi ini menerbitkan satu lagi buku fiksinya dengan ramuan roman atau asmara, namun berbalut nuansa politik yang kental. Lewat tokoh Sigi, Timur dan juga Johar kita akan diajak mengintip bagaimana sebenarnya trik-trik para politikus di negeri ini dan rumitnya kehidupan Sigi yang sama sekali tidak menyukai dunia politik tetapi sudah terlanjur bekerja di dalamnya. Politik adalah dunia abu-abu, tak ada yang benar-benar salah atau sungguh-sungguh benar.

Cerita ini lebih banyak menceritakan tentang bagaimana Sigi menjalani pilihan pekerjaannya dan juga bagaimana ia berusaha memahami dunia politik yang sudah tiga tahunan berusaha ia dekati. Walaupun bekerja sebagai staf administrasi dengan tim Johar Sancoyo, seorang politikus yang dikaguminya, Sigi masih saja tak mengerti mengapa dunia politik bisa menjadi favorit bagi seseorang yang ingin dekat dengan kekuasaan. Baginya, politik tak pernah bersih dan penuh dengan tipu daya. 

Johar Sancoyo adalah salah satu anggota DPR yang dulunya menjadi pendiri partai idealis bernama PGSI. Namun setelah dianggap menjadi penggerak kaum muda, di tengah perjalanan berpolitiknya, Johar malah bergabung dengan partai yang lebih memiliki kekuasaan yaitu PRP. Pertemuan dnegan Timur, sesama alumni di sekolah menengah atas yang mewawancarai Johar, membuka kembali pintu hati Sigi untuk mulai jatuh cinta lagi. Setelah Sigi dan Timur semakin dekat, terungkaplah jika Timur sedang merintis calon partai baru yang akan memperjuangkan idealismenya dan juga untuk seluruh lapisan masyarakat. Mirip dengan Johar di masa muda. Sigi yang tak suka berpolitik terlanjur menyukai pribadi dan visi Timur yang bercita-cita ingin membangun negeri lewat panggung politik. 

Meski tak terlalu tebal, buku ini cukup padat dalam menggambarkan bagaimana cuplikan politikus di Indonesia untuk mencapai kekuasaan. Johar memiliki visi dan misi untuk memajukan koperasi, padahal sesungguhnya ia mengincar kursi menteri. Perlahan kekaguman Sigi menjadi luntur karena Johar tak lagi seperti di masa mudanya yang berjuang demi idealisme. Menurut Sigi, politik bisa mengubah banyak hal termasuk sifat seseorang. Dialog antara Sigi dan Timur juga dibangun dalam suasana yang tak romantis namun justru intelek. Sigi bertanya banyak soal politik dan bagaimana Timur ingin mengembangkan Partai Indonesia Setara yang ingin dikembangkannya.

Melalui Timur, kita memperoleh pembelajaran dan teori politik dunia yang populer tanpa perlu membuka buku ensiklopedi. Penulis terlihat sudah melakukan riset yang detil soal dunia politik meski hal itu di luar kebiasaannya. Alanda adalah seorang gadis yang sudah banyak mendirikan organisasi muda dan menyelenggarakan konferensi tingkat nasional. Dunia politik adalah asing baginya. Namun Alanda berani keluar dari zona nyaman lalu menulis buku ini.

Hal yang juga menjadi titik berat dari novel Sophismata adalah nuansa feminis yang diwakilkan oleh pemikiran dan dilema yang harus dihadapi Sigi. Bisa dibilang mengambil Sigi sebagai titik utama cerita adalah sebagai duta yang membawa pesan tersirat agar posisi perempuan lebih dihargai termasuk di dunia politik sekalipun. Kritik lainnya adalah bagamana strata pendidikan bisa menjadi batu sandungan seseorang yang hasil kerjanya sangat baik, tetapi tak bisa naik jenjang karirnya, hanya karena belum S2. Sigi yang merasa punya kompetensi setelah tiga tahun bekerja di bawah naungan Johar tanpa cela, tak bisa menjadi Staf Ahli hanya karena belum menempuh pendidikan magister atau S2. Seperti pada cuplikan ini.

“Sigi, bangun. Johar itu politisi. Dia pintar bicara demi mendapatkan apa yang dia mau, termasuk membuat kamu melakukan apa yang bisa kamu lakukan dengan baik. Sejak awal dia tidak pernah berniat memberikanmu posisi tenaga ahli, karena memang tidak bisa. Ada peraturannya. Kamu harus S2 dulu untuk bisa mendapatkan posisi itu...” (halaman 93)

Komentar Sigi yang sangat jujur dan membuat Timur harus kerapkali berpikir ulang soal visi dan misi berpolitiknya, juga sangat menarik untuk diresapi. Sebagai partai baru yang digadang-gadang akan mewakili suara rakyat tanpa peduli ras, suku dan agama ternyata pendiri dan pengurusnya tidak ada yang wanita. Sigi menyindir di sebuah kesempatan berdialog dengan Timur.

“Kok laki-laki semua? Katanya Indonesia Setara?” protes Sigi (halaman 58)

Sayangnya meski banyak gizi di dalam novel ini, rasanya hubungan Timur dan Sigi malah terlalu datar. Kedekatan yang dimulai dari hubungan semalam, berkembang tanpa bumbu konflik yang membuat penasaran. Seharusnya penulis juga bisa lebih intens lagi menangkap celah yag bisa digunakan untuk membangun perbedaan pandangan Timur dan Sigi menjadi konflik yang cerdas. Porsi Sigi dan bagaimana ia berusaha memahami politik serta mengurusi masalah Johar yang tak selalu penting, justru mendapat jatah lebih banyak. Ramuan konflik yang lebih intens dan menghayutkan jusru lebih kuat di novel “Beats Apart”, karya Alanda sebelumnya. Untungnya suasana romantis masih bisa terbangun melewati pertengahan novel. 
 
 Dan novel ini tetap layak menjadi buku yang harus dibaca terutama bagi penggemar karya Alanda Kariza. Setidaknya membuka wawasan kita soal perpolitikan yang mungkin terasa di awang-awang. Smart and smooth!

Tidak ada komentar