Menjelajahi Potongan Keindahan Tersembunyi di Kota Blitar


Liburan panjang Natal dan Tahun Baru sudah menggelitik banyak orang untuk menjadwalkan liburan ke tempat-tempat baru, termasuk saya juga. Saya, Devi, Sari dan juga Metha, empat orang  gadis yang senang traveling kebetulan memiliki jadwal libur yang sama meski tempat kerja kami berbeda-beda. Jadi setelah mencocokkan tanggal, diputuskanlah liburan dari tanggal 23 sampai 25 Desember 2017 lalu kami menjelajahi kota Blitar.


Kota Blitar bukanlah kota yang asing buat saya. Sejak kecil, saya sudah beberapa kali pergi ke kota tersebut tetapi ujung-ujungnya hanya mengunjungi makam dan bekas rumah tokoh Proklamator Nasional, Bung Karno. Ikon utama wisata Blitar lainnya tak sepopuler kompleks makam Bung Karno. Oleh sebab itu, berbekal  sedikit pengetahuan dan gambar-gambar dari instagram, kami menyusun itinerary sendiri menuju tempat wisata yang tak kalah menariknya. Hotel dan juga mobil beserta driver sudah didapat, kami juga sudah membayar uang muka sewa peralatan kemah. Di hari kedua nantinya, kami berencana untuk berkemah di kebun teh, dan hanya di hari pertama saja menginap di hotel.


Semua persiapan sudah selesai, tinggal membeli tiket kereta api. Blitar dianggap sebagai kota dalam jangkauan jarak dekat dari Surabaya sehingga tidak bisa dipesan online. Repotnya, bila ingin naik kereta dalam jarak dekat, pembeli harus antre di stasiun sejak pagi. Singkat cerita, hal ini membuat saya dan teman-teman jadi kapok naik kereta dalam jarak dekat. Karena apa? Kami mendapat tiket berdiri, tanpa tempat duduk! Kalau mau naik bus pun rasanya sangat tidak mungkin, mengingat saat ini jalur darat Surabaya-Malang-Blitar sudah sangat macet dan salah satu kawan saya memiliki fobia naik bus. Kami pun pasrah dan tetap gembira karena yang mendapat tiket tanpa tempat duduk tidak hanya kami berempat, tetapi ratusan penumpang.


Cobaan belum berhenti sampai di situ. Tiket keberangkatan sudah ada di tangan dan kami akan berangkat pukul 8.30 pagi pada tanggal 23. Lucunya, Sari malah baru berangkat pukul 7.30 dari rumahnya menuju Stasiun Gubeng. Entah mungkin karena sedang apes, Sari yang menaiki taksi Uber sampai berganti naik ojek online karena mobil yang tak bisa merangsek kemacetan. Hasilnya, dia tertinggal kereta. Dan harus rela naik bus sendirian dari Terminal Purabaya.


Karena banyaknya penumpang kereta menuju Blitar yang tidak mendapat tempat duduk, alhasil mendadak kami bertemu dengan banyak orang yang siap duduk bergantian. Tidak ada egoisme di sini. Saya yang memiliki gangguan skoliosis ringan di  pinggang kiri, pasti akan merasa nyeri jika terlalu lama berdiri. Dan sebuah keluarga baik di dalam kereta, mau duduk dan berdiri bergantian sampai di kota Blitar. Sementara itu ternyata perjalanan Sari jauh lebih melelahkan lagi. Bus kota yang ia tumpangi dari terminal Purabaya terjebak kemacetan parah di Malang, sehingga bus itu berbalik ke terminal Arjosari dan membuat Sari harus berganti bus. Ia baru sampai jam tiga sore di Blitar sementara saya dan teman-teman lainnya sudah selesai makan siang serta berfoto-foto di kawasan Candi Penataran.
Di kereta bergantian duduk 


Nah, lokasi makan siang dekat Stasiun Blitar itu bernama Ayam Bakar Bu Mamik. Makanannya sangat enak dan termasuk murah. Sambal yang mantap dan bumbu meresap sampai ke daging ayam membuat lidah saya seperti merasakan masakan buatan koki paling hebat. Teman-teman saya pun mengamini jika makanan restoran yang berlokasi di Jalan Kalimantan 11A Blitar  itu memiliki rasa yang enak. Perjalanan dari tempat makan  sampai Candi Penataran hanya memakan waktu 30 menit. Kebetulan saat itu cuacanya agak panas dan lembab. Tiket masuk ke candi juga gratis. Pengunjung hanya mengisi buku tamu lalu boleh menjelajah masuk ke kawasan candi.

Ayam bakar Bu Mamik 

Candi Penataran adalajh kompleks candi yang cukup megah di Jawa Timur dan terletak tak jauh dari Gunung Kelud. Seperti candi hindu lainnya, desainnya pun cenderung ramping memanjang tanpa adanya stupa seperti candi beragama Buddha. Dari prasasti yang ditemukan di sekitar candi, kemungkinan Candi Penataran dibangun pada saat Raja Srengga dari Kerajaan Kediri memimpin, sekitar tahun 1200 Masehi. UNESCO menetapkan candi ini sebagai salah satu calon situs warisan dunia pada tahun 1995. Candi ini dibentuk secara simetris. Ada bagian halaman depan di bagian sisi barat laut Candi Penataran yang dibangun arca. Ada beberapa candi dalam kompleks ini dan yang sering menjadi jujukan para wisatawan, termasuk saya adalah candi induknya. Dari candi yang dibangun paling besar ini, saya bisa melihat keseluruhan kompleks candi yang sangat menghijaukan mata. Sangat indah apalagi jika dilihat dari atas. Rupanya ada relief cerita Ramayana di bagian tubuh candi induk, letaknya di bagian teras utama.


Berfoto di kompleks Candi Penataran membuat saya seolah terlempar ke masa lalu. Begitu banyak menghasilkan banyak renungan masa silam. Di zaman dulu, nenek moyang kita memiiki cita rasa seni tinggi dan begitu menghargai arsitektur asli Indonesia. Seharusnya kita sebagai generasi muda bisa turut melestarikan atau menciptakan karya yang bisa dikenang hingga anak cucu. Mengunjungi candi atau gedung bersejarah memang saya usahakan masuk dalam agenda jalan-jalan jika berkunjung ke sebuah kota.


Setelah puas mengelilingi Candi Penataran, jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Sari mengirim pesan lewat chat room jika dia sudah hampir sampai Terminal Blitar. Kami pun bersiap-siap dan beranjak meninggalkan candi. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Sari sampai di terminal dengan wajah pucat dan agak lelah. Kami tertawa karena baru pertama kali ini mengalami kesialan saat hendak traveling,”Namanya traveling, ini yang  bikin kenangannya berkesan.” Kata saya. Perjalanan tak terduga dan masalah yang mendadak muncul di tengah perjalanan, melatih kita agar lebih tangguh lagi.
Setelah berkumpul, perjalanan dilanjutkan untuk menuju hotel. Kami memesan Patria Garden Hotel sebagai tempat bermalam di hari pertama. Di luar ekspektasi, hotel ini ternyata sangat nyaman dan bisa dihuni sampai enam orang. Dengan nuansa Bali dan juga tempat yang nyaman, saya dan teman-teman seolah tinggal di rumah kontrakan, bukannya hotel. Konsep penginapannya sendiri memang tidak dibuat per kamar namun dibentuk seperti perumahan. Ada tiga kamar tidur dengan dua bed di masing-masing kamar. Ada dua kamar mandi, satu dapur dan juga satu televisi.
Suasana kamar Patria Garden Hotel 


Di hari kedua kami meluncur ke Gua Luweng. Objek wisata ini kami ketahui dari postingan instagram mengenai Blitar. Lucunya, driver kami tidak tahu soal wisata ini dan kami pun hanya mengandalkan Google Map. Bisa dibilang, technology had saved our holiday. Berputar-putar selama dua jam lebih, dan melewati jalan berliku sampai lewat persawahan dan hutan (saya pikir kami salah jalan), akhirnya kami pun sampai.


“Anda sudah sampai.” Kata si Google Map. Saya celingukan mencari papan nama atau spanduk bertuliskan Gua Luweng. Mulai deh ada perasaan janggal, jangan-jangan kami tersesat dan si Google Map itu salah? Setelah bertanya pada penduduk sekitar dengan bahasa Jawa halus sebisanya, saya tahu jika lokasi Gua Luweng sudah dekat. Namun tidak akan ada guide yang membawa kami hari itu. Katanya, semua guide sedang bekerja. Hah? Kalau begitu objek wisata ini tidak terurus dong? Pikir saya.


Karena sudah melewati perjalanan yang cukup jauh, kami semua nekat untuk pergi ke lokasi gua tanpa pemandu. Jalur pertama saja sudah bikin deg-degan. Kami harus melalui jalur sungai yang pasti licin dan pastinya akan sangat berbahaya kalau sampai jatuh. Setelah itu perjalanan dilanjutkan melewati jalan setapak dan semak-semak. Kami menemukan banner lusuh yang bertuliskan Gua Luweng. Sampai di sana, kami takjub. Ada air terjun kecil dan mata air yang mengalir masuk  ke dalam gua. Sebenarnya sangat indah apalagi kami bisa bebas menikmati pemandangan dari ketinggian. Namun karena tidak ada pemandu dan tidak membawa perlengkapan safety, kami tidak bisa menjelajah masuk ke ceruk gua. Posisi paling indah dan misterius berada di dalam ceruk gua karena ada lubang di langit-langit yang menjadi terobosan cahaya matahari. Mungkin karena tidak diurus dengan baik, tempat ini jadi kehilangan peminat dan benar-benar sepi saat ini. Tidak ada pengunjung lain selain rombongan kami. Puas berfoto-foto sebentar, perjalanan dilanjutkan ke kebun teh Sirah Kencong.
Jalur pertama Gua Luweng
Masih belum sampai Gua Luweng

Air terjun Gua Luweng 


Di pikiran saya, jalan menuju  Sirah Kencong itu mungkin hanya seperti dataran tinggi biasa. Tak berliku dan sangat menyenangkan. Kenyataannya, saya dan teman-teman benar-benar salah duga lagi. Jaraknya tak terlalu jauh, tetapi belokannya sangat banyak dan curam. Ditambah lagi mobil kami baru mencapai daerah Sirah Kencong ketika magrib menjelang. Saya banyak berdoa di dalam hati. Ada bagian jalan yang sedang diperbaiki sehingga kami seperti sedang naik mobil off-road. Seru tapi juga cemas. Saya bisa bernapas lega saat mencapai pos pertama kebun teh Sirah Kencang. Kami turun untuk melakukan registrasi, yang mencengangkan rupanya perjalanan menuju tempat kemah masih super jauh lagi.


“Kalau mau ke atas, kalian bisa trekking, tapi jalurnya cukup jauh dan ini sudah malam. apa kalian berani?” kata  salah satu di antara bapak-bapak di pos utama. Katanya jarak menuju tempat kemah masih delapan kiloan lagi. Mobil pribadi tidak akan bisa naik ke atas karena jalurnya berbatu besar-besar, tidak ada penerangan dan juga sama sekali tidak ada aspal. Otomatis hanya mobil jenis jip hartop seperti yang digunakan di Bromo saja yang bisa naik. Dengan membayar biaya tambahan untuk satu kali naik dan satu kali turun keesokan paginya, kami berempat naik. Driver pun kami ajak karena dia tidak pernah kemping. Ternyata gila! Jalannya benar-benar membuat kami harus berusaha menjaga keseimbangan. Tempat duduk yang keras dan berusaha supaya barang-barang perkemahan yang kami sewa tidak berhamburan membuat perjalanannya sangat tidak nyaman. Tetapi saya dan teman-teman bisa tertawa lepas karena sama sekali tidak menduga jika perjalanan hari ini jauh dari kata nyaman.  Awan yang bebas polusi dipenuhi bintang-bintang. Udaranya pun semakin dingin. Jarang-jarang bisa kami dapatkan di kota.


Sesampainya di lokasi, kami berlima termangu. Terus ini cara membangun tenda bagaimana? Kami membolak-balik tenda yang pasrah, udara semakin dingin karena sudah semakin larut. Untungnya ada beberapa bapak pendaki yang mau membantu. Setelah pusing selama setengah jam, tenda pun berdiri. Beberapa pendaki Gunung Butak sudah melanjutkan perjalanannya. Perut yang keroncongan mendorong kami untuk meyalakan kompor portable.
“Eh kompornya nggak bisa nyala,” seru kami kecewa. Entah kenapa kompor portable ini mendadak ngambek. Badan sudah capek dan lapar membuat kami berusaha mencari ide. Ada bekas api unggun yang bisa kami nyalakan. Dan kami pun memasak air panas untuk menyeduh mi cup yang sudah kami bawa.


Saya sangat menikmati momen ini. Tidak ada sinyal ponsel dan tidur di tengah alam bebas itu adalah hadiah buat saya. Ketinggian adalah tempat yang selalu membuat saya ingin kembali. Ketika mata semakin mengantuk, saya dan teman-teman menuju matras dan sleeping bag masing-masing. Karena mudah tidur di mana saja, saya segera terlelap. Di spot yang dinamai Wukir Negoro masih belum ada fasilitas MCK. Jadi saat di tengah malam buta saya ingin buang air kecil, saya keluar sendirian dari tenda dan mencari lokasi yang sudah dibuat sebagai lokasi MCK. Hanya berupa lubang dengan WC tanpa air dan tutupan dari seng. Berdoa terus saya lakukan dalam hati. Maklum lokasi di alam bebas begini dan tanpa ada orang lain yang menemani juga membuat saya sedikit was-was. Saya membawa air mineral untuk membersihkan diri dan cuci tangan.


Berfoto dari pos pantau

Happy Camping

Beautiful Landscape 


Dan Sirah Kencong menjadi lokasi favorit saya di Blitar kali ini. Setelah matahari terbit. Terlihat pemandangan menakjubkan dari Wukir Negoro. Ada beberapa spot perkemahan di Sirah Kencong, Wukir Negoro adalah spot tertinggi kedua, dan yang paling rendah adalah Brak Papat. Di sini kami bisa mencoba berfoto dari pos pantau yang membuat seluruh panorama kebun teh dan juga pegunungan tertangkap mata. Kopi nikmat dibuatkan seorang bapak pendaki yang baru pulang dari Gunung Butak. Saya merasakan betapa hangat rasa persaudaraan meski kami tak saling mengenal. Jauh dari keluarga dan keramaian, namun menemukan banyak orang yang mau membantu itu juga hal yang indah, bukan?

Kopi buatan bapak pendaki 

 Rasanya semalaman di kebun teh hingga jam 9 pagi, membuat saya enggan pulang. Namun hari terakhir liburan sudah tiba. Dan kami harus segera menuju tempat terakhir sebelum bersiap-siap pulang. Setelah mengembalikan perlengkapan kemah, kami menuju Kampung Coklat, sebuah wisata oleh-oleh dari cokelat yang sangat tersohor di Blitar. It is a paradise for me!! Saya adalah penggemar banyak makanan, tapi cokelat dan es krim adalah camilan favorit  sejak balita hingga selamanya. Sesudah kalap belanja cokelat untuk diri sendiri dan juga keluarga, kami mencari lokasi untuk makan siang sekaligus mandi. Sejak satu malam sebelumnya hingga pulang dari Sirah Kencong, saya dan teman-teman masih belum sempat mandi. Jadi dengan celana training dan kaus lusuh beserta muka kucel, kami belanja di tengah-tengah ibu-ibu yang berdandan cantik.

Suasana Kampung Cokelat 


Surga cokelat


Liburan ke Blitar kali ini sangat menantang terutama dari banyak kejadian di luar dugaan yang membuat kita tertawa, jengkel tapi sekaligus gembira. Pulang ke Surabaya pun tiket yang kami terima masih tanpa tempat duduk namun kami bisa bercakap-cakap berisik sampai terpingkal-pingkal membicarakan banyak hal. Sekali lagi saya bersyukur kepada Tuhan karena bisa diberi kesempatan untuk mengulik keindahan tersembunyi di kota Blitar. Semoga potongan keindahan itu lebih diperhatikan masyarakat dan pemerintah setempat supaya tidak terabaikan. Happy traveling!!

7 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

wow banyak juga ya, yang saya tahu hanya makam bung karno saja

Reffi Dhinar mengatakan...

hehe, keren kok, hanya saja yang Gua Luweng masih kurang diperhatikan

BlogSabda.com mengatakan...

yaaa ampunn mbakk, bisa gitu yaa.. lain kali setiap "keapesan" travelling itu adalah berkah.

Seperti mbak bilang, membuat kita bisa jadi tangguh.

Hebatnya kelompok dara ini bis amencapai gua luweng tanpa pemandu, cukup niat yang gigih aja didalam hati akhirnya kesampaian jugaa..

Reffi Dhinar mengatakan...

alhamdulillah, tiap traveling selalu menemukan pengalaman baru salain petualangan baru, hehe...

Johanes Anggoro mengatakan...

Wow sepertinya seru sekali. Blitar meski ga se-wah malang wisatanya tp cukup worth it dikunjungi.
Btw di spot camping itu bener2 hanya rombongan kalian?

Reffi Dhinar mengatakan...

kebetulan pas waktu itu di spotnya kami Wukir Negoro emang ada tenda kami aja hahaha,,yang lainnya kemping lebih ke bawah lagi

Ainun mengatakan...

wow ga nyangka kalo Blitar ada wisata alamnya seperti ini. Ibu aku asli Blitar dan aku blm pernah explore Blitar, jadi kudet nih soal Blitar