Tak banyak orang paham dengan apa makna
wordpreneur yang sering saya sebutkan. Kebanyakan mengira jika seorang
wordpreneur hanya berkutat di bidang tulis-menulis saja. Padahal, wordpreneur
yang saya maksud di sini adalah sebagai seorang penyuka beragam bahasa dan juga
tentunya dalam dunia menulis. Wordpreneur adalah jiwa saya.
Bukankah berbicara pun merupakan bagian dari
berkomunikasi? Seharusnya kita tak mengkotak-kotakkan kata wordpreneur dalam
seni menulis saja, seseorang yang juga mahir mengolah kata secara verbal atau
lisan seperti public speaker dan interpreter pun sepatutnya disebut juga
sebagai wordpreneur. Dan saya tak bisa lepas dari bahasa asing maupun menulis. Lewat
dua hal itulah saya mengalami perjalanan yang luar biasa serta mengatasi
keterbatasan dalam pendidikan hingga mencari nafkah.
![]() |
image source: Women.com |
Saya menguasai dua bahasa asing yaitu bahasa
Inggris dan Jepang, serta masih akan mempelajari bahasa-bahasa asing lain. Mulanya
ketika mempelajari bahasa Jepang di masa kuliah, banyak orang yang mencemooh
pilihan studi saya.
“Bahasa asing yang utama itu bahasa Inggris
aja. Emang lulusan Sastra Jepang bisa kerja apa? Siapa yang mau nerima lulusan
Sastra Jepang? Mau jadi TKW?”
Komentar-komentar miring itu tak membuat saya
surut dalam belajar. Saya berusaha dua kali lebih keras dari kawan-kawan yang
lulus dari jurusan bahasa di SMU-nya. Beasiswa yang saya peroleh adalah pada mulanya, hingga saya
bisa mencari kerja sambilan di semester akhir dan terjun di dunia interpreter
yang semula saya pikir akan sangat sulit dicapai. Kondisi ekonomi keluarga
yang kencang di segala sisi, membuat saya tak ingin menjadi sarjana gagal yang
kesulitan mencari kerja. Saya bertekad untuk menjadikan bahasa yang saya pelajari
dan dunia menulis yang saya cintai sejak kecil akan menjadi ladang keberkahan.
Dan itu tak semudah yang saya kira.
Awal
Mula Menjadi Interpreter
Semula saya pikir jika menjadi English atau
Japanese Intrepreter akan berpakaian formal dan dalam situasi meeting yang
tenang. Ternyata setelah terjun di dunia interpreter yang sesungguhnya, saya
harus beradaptasi dengan beragam karakter klien yang tak selalu mudah dan
belajar berada di lingkungan yang tak selalu kondusif, serta mempelajari hal-hal
yang semula saya hindari. Di tahun terakhir kuliah, saya mengumpulkan dana
untuk skripsi, biaya bimbingan dan persiapan wisuda. Dan job sebagai Japanese
Interpreter adalah sumber dana yang sangat lumayan waktu itu.
Lokasi job pertama berada di sirkuit balap
motor yang juga menjadi event nasional pada 2013. Saya harus bisa bertahan di tengah
cuaca Surabaya yang super panas dan menjadi satu-satunya perempuan di sirkuit.
Selama kuliah, saya belajar soal budaya dan sastra, bukan soal mesin motor.
Saya tak suka dengan onderdil, bahkan mengendarai sepeda motor pun tak becus,
tapi kali ini saya dipaksa untuk memahami sistem kerja mesin motor serta
bagian-bagiannya dalam bahasa Jepang. Apalagi saya adalah interpreter kedua,
menggantikan orang sebelumnya yang demam tinggi setelah dua hari terpapar panas
di sirkuit.
![]() |
di hari terakhir, baru ada teman perempuannya |
Rasa tak percaya diri dan takut harus saya kalahkan.
Jika tidak bertanya kepada teknisi dan tim lokal di situ, mana bisa saya paham
dengan sistem sebuah mesin motor untuk balap? Rasanya saya ingin lari dan tidak
kembali, tetapi lagi-lagi karena terdesak kebutuhan saya tak mau menyerah di tengah
jalan. Jelas saja banyak sekali suara-suara menggoda dari pekerja pria, ingin mengajak saya
berkenalan hingga memandang dengan sorot mata ingin tahu hanya karena saya
satu-satunya perempuan. Tapi saya berusaha acuh. Malah saya merasa nyaman dengan
tim klien pertama waktu itu. Karena saya dianggap sebagai tim, tak ada yang
memandang saya remeh. Mereka bilang,”Meski mbak ini satu-satunya perempuan,
tapi posisimu penting di sini. Teknisi utama dan pembalap kami dari Jepang.
Jika kami tak bisa bekerjasama karena kendala komunikasi, maka kami sudah kalah
sejak awal.”
![]() |
Menerjemahkan sampai malam |
Ternyata saya semakin menikmati pekerjaan
sebagai interpreter di dunia yang sangat maskulin. Selepas wisuda, saya
diterima bekerja di sebuah perusahaan peleburan baja. Bayangkan saja yang
menjadi tempat kerja saya lingkungannya sangat panas dan juga hanya saya yang menjadi
satu-satunya perempuan di lapangan. Bekerja di lingkungan yang challenging membuat saya lebih memperhatikan
kondisi tubuh. Saya jadi rajin olahraga agar tidak mudah keok saat lama berdiri
mendampingi tenaga kerja asing di lapangan, rajin minum air putih karena bahaya
kalau sampai dehidrasi, serta belajar untuk membawa diri di tengah dunia
maskulin. Rekan kerja saya pun bersikap profesional.
Beberapa tahun bekerja di perusahaan peleburan
baja, saya pindah ke sebuah perusahaan Jepang yang memproduksi part mesin
traktor. Meski tak sepanas di tempat kerja pertama, saya harus sering naik
turun tangga untuk mengecek kondisi lapangan dan menyelesaikan pekerjaan berbau administrasi di kantor.
Saya tak hanya menjadi interpreter tetapi juga mempelajari bidang kerja lain
seperti soal General Affair dan Purchasing. Jelas saja ilmu saya makin
bertambah. Uniknya, ketika menjadi pekerja, saya jadi lebih jarang sakit
ketimbang saat masih kuliah. Mungkin karena menyadari jika lingkungan kerja
sangat menantang, maka saya jadi tak sembrono soal kesehatan
![]() |
Maskulin banget ya seragam kerja saya, di kantor terkini :D |
Menulis
Membawa Petualangan Baru
Menulis telah membawa saya ke banyak petualangan
baru. Tak hanya merasakan senang ketika buku atau artikel terbit lalu disukai
pembaca, tetapi juga saya bisa menjadi seorang trainer di dunia yang saya
sukai. Beberapa kesempatan menarik seperti menjadi trainer untuk mengajari
anak-anak menulis, menjadi trainer online kepenulisan fiksi atau bisa
berinteraksi dengan pembaca lewat blog adalah hal-hal yang saya impikan. Dulu
saya bepikir jika untuk menjadi trainer harus menunggu umur lebih tua, tetapi
saya kini bisa merasakan menjadi seorang writing
trainer di usia yang terhitung masih muda.
![]() |
Menjadi writing trainer Kumon English di Surabaya |
Saya yang dulu sempat menjadi pemalu tapi
punya ide berlebih yang menunggu dibicarakan, kini juga bisa menyalurkan semua
ide serta pengalaman lewat sharing kepenulisan. Saya menjadi lebih percaya diri
dan bersemangat untuk terus menulis agar memiliki pengalaman yang bisa dibagikan.
Tak harus menunggu usia tua untuk memberi pelatihan.
![]() |
Menjadi pembicara di sharing session Polyglot Surabaya tentang Interpreter |
Itulah pengalaman saya menjadi wordpreneur.
Ada yang mengira saya bekerja sebagai full-time writer, ada pula yang penasaran
saya ini bekerja sebagai interpreter di perusahaan apa karena saya tak pernah menyantumkan
nama perusahaan di medsos, kecuali akun
LinkedIn. Memang saya ingin dikenal dari kemampuan saya berbahasa asing serta
menulis, bukan dari bekerja di perusahaan tertentu. Keterbatasan bisa saya atasi dengan tak takut
untuk belajar dan menghadapi kesulitan dengan semangat. Perempuan pun bisa berkarya pada bidang apapun yang ia cintai.
Penulis:
Reffi Dhinar, seorang wordpreneur (Japanese Interpreter, blogger, public speaker, writing trainer, penulis buku). Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi Perempuan Juara di Lingkungan Kerja.
Penulis:
Reffi Dhinar, seorang wordpreneur (Japanese Interpreter, blogger, public speaker, writing trainer, penulis buku). Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi Perempuan Juara di Lingkungan Kerja.
4 komentar
とても感動しました。私も中学生から日記を書いて、書くことが好きになって、ブログを始めました。まだまだ未熟だけど、思いついたことや、書きたいときいつも書く。私も頑張ります。よろしくね。
この趣味はとてもいいですね。それで、よく日記やブログなどに書いて、能力がだんだん成長する一方です。一緒に頑張りましょう:)
Sekarang ini wordpreneur lebih menjanjikan ya Mbak. Apalagi bisa dikerjakan di rumah :D.
Iya mbaak, fleksibel pokoknya hehe
Posting Komentar