Sepenggal Perjuangan Sederhana Seorang Gadis di Desa Tembakau



Judul : Genduk
Penulis : Sundari Mardjuki
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan ke :1
Jumlah Halaman : 219 halaman
ISBN : 978-602-033-219-2


Memotret kondisi masyarakat di sebuah desa yang diceritakan berlokasi di tepat paling puncak Gunung Sindoro, tahun 70-an, bukanlah hal yang mudah. Namun Sundari Mardjuki, si penulis novel Genduk ini berani  menyampaikan ketimpangan sosial dan juga apa  yang membuat masyarakat desa  kesusahan pada masa itu lewat novelnya. Walau bukan untuk pertama kali tema sosial seperti ini diangkat, namun penulis tetap membawa warna baru lewat potongan-potongan bab yang dihadirkan.


Anisa Nooraini, nama asli Genduk, tokoh sentral novel ini, dikisahkan sebagai gadis yatim yang tidak pernah bertemu dengan Pak’e, sebutan untuk ayah kandungnya. Yung, sebutan Genduk untuk ibunya, selalu terlihat emosi saat Genduk menanyakan perihal ayah kandungnya. Saat si gadis mencari kebenaran lewat orang-orang sekitar, tetap saja tidak ada gambaran jelas. Genduk tumbuh besar dengan kerinduan berat kepada Pak’e.

“Mungkin Pak’e sedang bekerja entah di mana. Mengumpulkan duit buat kita,” kataku lirih,
Yung terkekeh,”Kamu terlalu polos, gendukku... bapakmu menghilang setelah sekian lama tanpa tahu rimbanya. Meninggalkan kita dalam ketidakpastian,” (halaman 26)


Kepolosan Genduk dan harapan tentang kepulangan ayahnya selalu dicibir bahkan oleh ibunya sendiri. Walaupun begitu, dari Genduk ini kita akan diajak untuk bersyukur karena keluarga yang lengkap dan harmonis bisa menjadi sumber kecemburuan untuk anak-anak yang keluarganya tidak lengkap. Genduk seringkali iri pada kawan-kawannya yang bisa bercengkerama hangat dengan ayah masing-masing. Kerinduan itu juga mendorongnya untuk berpikiran positif dan terus maju supaya suatu hari bisa bertemu dengan ayah kandungnya lagi.
Lewat kehidupan sehari-hari dari tokoh Genduk, kita akan diajak berkenalan dengan perjuangan hidup para petani tembakau di Desa Ringinsari. Sebagian besar penduduk di desa itu menggantungkan kehidupan kepada penjualan tembakau. Kekejaman tengkulak yang membeli dengan harga terlalu murah lalu dijual ke pedagang pasar dengan harga tinggi, juga disisipkan lewat novel ini. Kita bisa mengetahui fragmen kehidupan wong cilik para petani tembakau yang mungkin prakteknya masih ada hingga sekarang.
Ada beberapa kelebihan yang bisa dilihat dari novel ini. Yang paling menonjol adalah kekuatan riset yang cukup mendetil mengenai kehidupan petani tembakau. Penulis melakukan riset di Desa Mranggen Kidul, Temanggung, Jawa Tengah demi bisa mengetahui bagaimana proses penanaman bibit tembakau sampai dijual kepada para juragan tembakau.


Gundukan-gundukan panjang yang didatangkan dari Kota Parakan pun semakin memadati desa. Keranjang berepok-kepok pun ditata dengan rapi, dialasi dengan daun pelepah desa kering, dan gulungan tembakau pun diletakkan dengan penuh khidmat. (Halaman 95)

Bagi pembacaa awam yang tidak pernah mengetahui bagaimana asal mula tembakau itu dibuat, pasti akan lebih bersimpati dan menghargai etos kerja mereka. Selain menghadapi cuaca yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tembakau, mereka juga harus menghadapi fluktuasi harga pupuk yang sudah cukup memusingkan, ditambah kehadiran tengkulak yang curang. Genduk, hadir sebagai tokoh remaja yang meskipun harus melewati pengalaman getir demi keberhasilan ibunya menjual tembakau, tetap berusaha berpikiran ke depan dan memberikan jalan yang yang tak hanya baik untuk ibunya tetapi juga untuk petani tembakau di desanya.


Selain itu, penulis cukup berani mengulik sisi kejawen dari penduduk desa yang dalam beberapa hal cenderung bertentangan dengan syariat agama Islam. Tokoh Pak’e, saat masih di Desa Ringinsari, adalah seorang yang getol memberi pencerahan kepada penduduk desa agar meninggalkan tindakan ritual yang tidak diajarkan Rasulullah dan tidak tercantum di dalam Alquran. Tentu saja gesekan dari para tetua desa membuat tokoh Pak’e tidak terlalu disukai. Yung dan Pak’e menikah tanpa restu kakek Genduk. Sang Kakek melarang putrinya menikah dengan seorang alim ulama yang mengancam kepercayaannnya.


Namun ada beberapa hal yang mengganggu dari novel ini. Banyaknya istilah bahasa Jawa memang menunjukkan kekentalan budaya dan sanggup menghidupkan cerita, namun karena keterangan artinya diletakkan di halaman paling belakang, pembaca yang tidak paham bahasa Jawa harus membolak-balik ke belakang baru kembali ke halaman yang sedang dibaca sehingga tidak praktis. Akan lebih baik jika arti kata diletakkan di catatan kaki supaya lebih mudah.  Dan alur yang agak dibuat terlalu cepat di bagian Genduk kabur dari desa untuk mencari jejak Pak’e, seolah dibuat terlalu mudah dan serba kebetulan. Karena Genduk seumur hidup tidak pernah meninggalkan desanya, tentu pergi ke kota yang lebih ramai tidaklah semudah itu.  Untungnya, penulis memperbaikinya dari bagian klimaks menuju akhir yang lebih kuat secara alur.

Novel ini layak dibaca apalagi oleh generasi muda yang hidup di masa serba modern dan mudah. Perjuangan dan kesabaran Genduk sangatlah menginspirasi.


 

3 komentar

Golden Gamat Emas Mitoha mengatakan...

sukses selalu

Reffi Dhinar mengatakan...

terima kasih

Anisa AE mengatakan...

Semangat terus ya, selalu menginspirasi. ^^