Review Gadis Minimarket: Konflik dari Mulut Usil



Judul: Gadis Minimarket

Penulis: Sayaka Murata

Alih bahasa: Ninuk Sulistyawati

Jumlah halaman: 160 halaman

Penerbit: GPU

Dibaca di: Gramedia Digital

 

Pernah merasakan jengkel karena pertanyaan orang-orang sekitar yang ingin mendikte kita? Dengan alasan kepedulian, seorang teman selalu mengomentari pilihan pekerjaan sampai alasan mengapa kita masih melajang misalnya. Inilah yang menjadi highlight utama novel Gadis Minimarket. Saat membaca, saya merasa jengkel maksimal karena sikap kawan-kawan-kawan Keiko.

 

“Menurutku ketika ada sesuatu yang dianggap aneh, semua orang tanpa sungkan merasa berhak untuk ikut campur dan mereka berusaha mengungkap alasannya. Buatku itu menyusahkan, arogan, dan mengganggu.” (Halaman 59)

 

Keiko mengalami masalah sulit mengenali emosi. Meskipun seperti itu, Keiko bukanlah gadis jahat. Ia sadar jika ada yang salah di dalam dirinya. Karena demi ingin bisa membaur dengan masyarakat sekitar, Keiko memilih untuk lebih banyak diam sekaligus belajar mengamati.

Di usia belasan tahun, ia diterima sebagai pekerja paruh waktu di sebuah minimarket. Ternyata di situlah, ia merasa menemukan ‘rumah’. Dengan dedikasi tinggi, Keiko belajar mengamati sekitar sekaligus berusaha meniru apa yang dibeli dan dipakai rekan kerjanya. Apa yang terlihat bagus dipakai orang lain, Keiko akan memperhatikan lalu berusaha mencontoh. Semuanya hanya demi agar ia dianggap normal. Keiko pun terus bekerja hingga usianya pertengahan tiga puluhan.

 

“Bagi kaum laki-laki, itu lebih berat dibandingkan kalian para perempuan. Kalau belum seutuhnya terjun ke masyarakat, berarti kami harus bekerja. Setelah bekerja, kami dituntut menghasilkan banyak uang, setelah itu menikah dan memiliki keturunan. Dan masyarakat akan terus menghakimi...” (Halaman 90)

 

Novel ini menjadi sindiran keras pada kebiasaan masyarakat yang doyan menilai hidup orang lain. Terlebih lagi banyak sekali kasus bunuh diri yang terjadi di Jepang. Tekanan hidup karena merasa menjadi manusia gagal, mendorong peningkatan depresi pada individu. Tekanan pada perempuan yang belum juga menikah, sindiran kepada pria yang dianggap tidak becus bekerja dan menjadi parasit, pemaksaan standar kehidupan pada seseorang adalah isu yang menjadi konflik utama novel.

Ketika membaca, saya begitu bersimpati pada sosok Keiko. Justru ketika ia berpura-pura memiliki hubungan dengan lelaki pengangguran bernama Shiraha, kawan dan keluarganya nampak lega. Mengenaskan sekali, pilihan perempuan sangatlah terbatas. Jika masih melajang, maka seharusnya perempuan punya pekerjaan mapan, bukannya kerja paruh waktu. Kalaupun bekerja paruh waktu, maka sebaiknya perempuan telah memiliki pasangan atau menikah.

Sebuah novel yang mendapat posisi terbaik di hati saya tahun ini. Konfliknya tidaklah muluk-muluk tetapi menyeret empati, mengaduk emosi, serta membuat saya sesekali berhenti membaca untuk merenung. Jangan-jangan saya juga kadang keceplosan menjadi orang yang menyebalkan seperti kawan-kawan Keiko? Novel yang penuh sindiran sekaligus menampar nurani.

1 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

makasih reviewnya