Hidup Kita Itu Sangat Romantis



Hidup kita romantis


Hari ini saya menonton film 'Jatuh Cinta Seperti di Film-Film', tapi di sini saya tidak ingin menulis tentang reviewnya. Untuk review akan saya unggah nanti di Moviereffi.com.

Banyak dialog dari film komedi romantis ini yang membuat saya terharu sampai tertawa. Bukan karena saya punya kisah seperti tokoh Hana dan Bagus yang kembali jatuh cinta di usia menjelang 40 (karena usia saya juga yunior banget dibanding mereka), tetapi karena saya merasa semakin yakin jika hidup kita itu sebenarnya seperti di film-film.

Romantis itu bukan berarti penuh bunga. Namun, fluktuasi emosi dan kejadian-kejadian tidak terduga yang membuat kita mendewasa, itu juga romantis.

Menurut KBBI, arti 'romantis' adalah ''bersifat seperti dalam cerita roman (percintaan); bersifat mesra; mengasyikkan'. Nah, ada kata 'mengasyikkan' di sini. Hidup asyik tidak selalu gembira. Kita diuji lalu bangkit, kehilangan lalu mendapat ganti, bukankah ini juga seperti sekuen-sekuen pada film?

Waktu yang Selalu Maju, Bukan Mundur

Ada satu dialog dari film 'Jatuh Cinta Seperti di Film-Film' yang sangat lengket di benak saya.
"Kalau hidup gue nggak bisa di-retake, ya udah bikin aja sekuelnya. Dilanjut.''

Begitu kuatnya dialog yang diucapkan sosok Bagus (Ringgo Agus) itu sampai saya ingat slogan hidup saya sendiri.

"Life is like a game. Fail? Just restart again, unless we die.''

Kita tidak bisa mengulang waktu karena gerakannya selalu maju. Namun, bukankah jumlah angka di arloji dan jam dinding tetap sama? Hanya angka 1 sampai 12 yang berputar dua kali hingga berjumlah 24 jam.

Jika di satu waktu kita gagal, maka di waktu lainnya kita bisa berusaha lagi. Saat di satu periode kita belum lulus ujian, di satu periode esok ujian yang sama akan berkunjung lagi.

 Hidup tidak bisa diulang, hanya bisa dibuat sekuelnya, lanjutannya sampai Tuhan memanggil kita untuk berpulang.




Romantis Ada Pada Bagian Sederhana

Setelah saya praktik Mindfulness setiap hari dalam beberapa tahun ini, saya jadi sadar jika berjalan kaki sambil mengamati pohon-pohon dan sawah itu membangkitkan perasaan romantis. 

Makanya, saya tidak pernah jenuh tiap berangkat-pulang kerja. Saya sengaja resign dari kantor pertama, memilih kota kecil tanpa mal. Dari keputusan inilah, praktik Mindfulness saya semakin kuat. 

Banyak yang merasa romantis ketika berpasangan atau menikah, lalu lupa esensi mencintai diri sendiri. Saya dulu kira jika romantis hanya ada pada hubungan dua orang manusia, tetapi ternyata romantis itu bisa muncul dari diri sendiri. 

Ketika kita merasa hidup kita romantis, rasanya merasa sia-sia jika berlama-lama menyimpan marah pada orang-orang menyebalkan.

Saya jadi menghargai waktu sendiri dan benar-benar fokus ketika waktunya bersama keluarga serta sahabat. Tidak perlu label pencapaian penuh kemilau untuk menciptakan hidup romantis. 

(Baca Juga: Semua Jadi Bencana Ketika Menjadi Angka)

Kalau Sial Terus, Mana Romantisnya?

Saya yakin ada yang berpendapat berbeda soal romantisasi hidup. Jika banyak utang dan merasa hidup ini kok selalu apes, lantas mana bagian romantisnya? Itu hanya utopia kosong.

 
Benar. Saya juga pasti susah merasa romantis kalau berada di situasi sulit. Saya pernah dirundung duka akibat kegagalan dan kesialan bertubi-tubi di usia dan otak yang belum dewasa. Waktu itu, tentu saya hanya bisa bersedih. Ya, yang bisa saya lakukan hanya memeluk kesedihan itu dan hidup berdampingan dengannya. 

Lantas saya berpikir. Saya tidak akan  bisa melupakan hal-hal menyakitkan dengan lihai karena untuk melupakan itu butuh pengulangan kejadian dalam otak. Yang saya lakukan adalah mengakui lalu menjahitnya menjadi sebuah catatan hingga ada yang lolos untuk seleksi buku. Sahabat-sahabat saya berkata, ''Ini lukamu, ya, kelihatan ada optimisme di akhir ceritanya.''

Seiring waktu berlalu, pengalaman sedih tersisih oleh fokus-fokus yang lain. Ada kegagalan-kegagalan baru lainnya dengan bentuk berbeda. Ya, ini hidup. Kalau tidak ada suka duka, berarti 'film' kita di dunia sudah masuk kata tamat.

Ah, saya jadi teringat satu dialog lagi dari film 'Jatuh Cinta Seperti di Film-Film'. Kali ini akan saya jadikan penutup. Tokoh Hana (Nirina Zubir) yang mengucapkan. Dialog persisnya saya lupa, tetapi intinya begini.

"Berduka itu nggak harus terus dialami dengan bersedih. Kita hidup seperti biasa walau saat bahagia, muncul perasaan nggak bisa bahagia berlebihan.'' 

 (Baca Juga: Pembelajaran Hidup Dari Arung Jeram)

3 komentar

Tira Soekardi mengatakan...

Romantis sebetulnya sesuatu yg sederhana yang dilakukan orang lain ke kita tapi kadang ekspektasi terlalu tinggi sehingga kecewa

fanny_dcatqueen mengatakan...

Sepertinya aku memang harus nonton movie ini ❤️. Udh niat sih, apalagi yg main Ringgo trus sutradaranya Ernest 😍😍. Selalu suka film2 dia, walaopun kebanyakan aku tonton pas udh masuk netflix, atau prime.

Cuma banyak temen yg kali ini rekomendasiin, tonton di bioskop aja, biar feel nya dapet 😄.

hvman mengatakan...

Aku sudah nonton film ini dan merasa bahwa ini merupakan salah satu karya layar lebar yang paling jenius yang dimiliki oleh Indonesia. Kisah sederhana yang diangkat dengan begitu apik dan alur yang enggak biasa.