Memamerkan Sunyi Lewat Pameran Visual dan Kata


Judul Buku : Tidak Ada New York Hari Ini
Penulis: M Aan Mansyur
Foto Oleh : Mo Riza
Jumlah Halaman : 118 halaman
Tahun Terbit : Cetakan kelima, Mei 2016
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama



Film Ada Apa dengan Cinta 2 sudah memberikan nafas baru di dunia sastra. Tiap filmnya selalu meniupkan geliat baru untuk menontonnya. Di film yang kedua ini, buku puisi karya Aan Mansyur yang mendapat jatah keberuntungan. Saat masih boomingnya film Rangga dan Cinta, buku ini selalu sold out di toko buku. Sangat sulit mencari kopinya. Setelah hingar bingar film berlalu, maka saya mencoba membeli satu buku, mencoba ingin menebak apakah puisi dan foto yang dijadikan satu dalam lembaran kertas ini memang sebagus yang digaungkan banyak orang?

Baru saja membuka halaman pertama, saya sudah disuguhi puisi berjudul Cinta. Sebuah foto hitam putih, sepertinya sepasang ibu dan anak yang sedang berjalan-jalan dengan anjing mereka, menjadi latar belakang puisi. Deskripsi cinta sesuai  penjabaran puisi ini begitu rapuh dan juga melankolik. Cinta yang lebih banyak membakar, lalu bisa membuat diri sendiri habis olehnya dituliskan dalam baris singkat yang cukup mengena.

Memasuki lembar kedua dan ketiga, rupanya buku ini tidak disesaki pusi saja. Ada juga halaman yang hanya dihiasi foto saja, tanpa kata. Pemilihan foto hitam putih, bukannya berwarna dalam sebuah pameran visual bukanlah hal baru. Namun tetap saja, kejujuran, kepolosan bahkan kesepian menurut saya akan tertangkap lebih natural lewat jepretan hitam putih. Tanpa perlu jalan-jalan ke kota New York, pembaca dan juga mungkin penikmat fotografi bisa melihat sekelumit kehidupan urban kotanya. Romantisme dan lagi-lagi sepi menjadi objek yang seolah ingin diungkapkan Mo Riza. Lantas dijahit dengan barisan puisi Aan Mansyur.

Diksi puisi-puisi Aan Mansyur dalam buku ini, masih relatif mudah dipahami. Cocok dibaca ketika istirahat kerja atau santai menikmati sore hari yang lengang. Meski sarat dengan nuansa kesepian, tetap saja saya masih terhanyut dalam beberapa puisi yang tidak bosan dibaca berkali-kali. Seperti cuplikan puisi berjudul Pukul 4 Pagi di halaman 13

Tidak ada yang bisa diajak berbincang. Dari jendela kau lihat bintang-bintang sudah lama tanggal. Lampu-lampu kota bagai kalimat selamat tinggal. Kau rasakan seseorang di kejauhan menggeliat dalam dirimu. Kau berdoa: semoga kesedihan memperlakukan matanya dengan baik.

Kesedihan yang amat sarat terungkap dari baris kata di atas. Istimewanya, bukannya menjadi larut sedih, saya malah seolah terbawa pada rasa cinta yang bisa jadi gagal atau tumbuh namun tetaplah rasa itu istimewa. Cinta dan kehilangan adalah paket hidup manusia. Metafora yang digunakan Aan Mansyur juga sangatlah kaya. Seperti yang dituliskan di lembar terakhir puisinya. Cuplikan puisi berjudul Jika Malam Terlalu Dalam di halaman 113.

Atau, jika malam terlalu dalam menyepikan kau dan jarak terlalu jauh menepikan aku, bisikkan namaku sebagai permintaan. Di luar harapan, tiada yang pasti. Tiada.

Pecinta melankoli dan romantisme yang tidak menye-menye, perlu membaca buku ini. Tak perlu terhanyut, cukup tersadar atau mungkin tersentil dalam kebenaran yang lugu lewat kata-kata dan juga potret manusianya.

Tidak ada komentar