Di saat banyak orang sedang ribut dengan kontroversi
mengenai tayangan beragam joget, yang dianggap tidak mendidik, saya menemukan
secuplik kecil keresahan yang amat mengganggu. Selepas solat maghrib, saya
turut menemani ibu yang sedang menikmati tayangan televisi. Tayangan tersebut
adalah salah satu sinetron stripping jenis komedi religi yang lumayan populer,
judulnya “Anak-Anak Manusia”.
Sesungguhnya, sinetron ini selalu menyisipkan
pesan-pesan moral di tiap episodenya. Aktor dan aktris kawakan mampu memerankan
tokoh dalam sinetron dengan begitu hidup. Sebut saja Diah Permatasari yang
sukses memerankan tokoh Encun, seorang ibu rumah tangga lugu dan cenderung sedikit
lemot, Teddy Syah dengan karakter Mardani yang sering melakukan
tindakan-tindakan impulsif, dan beberapa karakter lain.
Kocaknya dialog dan cerita yang diangkat dari
realitas masyarakat, membawa penonton mendapatkan banyak pesan moral tanpa
merasa digurui. Hanya saja ada beberapa bagian dan terkadang mendapat porsi
komedi yang saya rasa tidak perlu terlalu sering dimunculkan. Scene yang membuat saya selalu memindahkan
channel ketika adegan diarahkan pada sekumpulan ibu-ibu rumah tangga yang sibuk
bergosip membicarakan keburukan tetangganya sendiri. Awalnya, saya lumayan
sering menonton tayangan tersebut, lama-kelamaan saya memilih untuk menonton
iklan atau mematikan televisi.
Bagaimana tidak jengah? Untuk memancing tawa, adegan
saling mencela, bergosip antar ibu-ibu rumah tangga dengan gaya berlebihan
alias lebay dan bahasa gaul yang terkadang susah saya mengerti (seperti keles, what? Bahasa apa lagi itu?), berseliweran di potongan dialog dengan
bahasan tidak penting. Lucu dan menggelikan memang, bahkan slot adegan
menggosip seperti itu hampir selalu ada di tiap episode.
Kemudian saya berpikir sejenak. Apakah sedemikian
ruwetnyakah kehidupan masyarakat kita, sehingga tayangan tidak mendidik
dianggap sebagai hiburan yang menyenangkan. Betapa cerdasnya pelaku industri
pertelevisian kita, demi mengejar rating, maka beragam cara dilakukan tanpa
peduli apakah tindakan tersebut akan mengurangi kualitas tayangannya.
Tayangan
Kelas B dan C
Polemik acara serba joget dan sinetron tidak
mendidik, sedang menjadi isu hangat di Indonesia. Sebuah artikel di surat kabar
menyatakan jika produser melihat pangsa pasar kelas B dan C (menengah ke bawah)
sebagai medan yang mampu menaikkan rating acara secara progresif. Komersialisasi
yang mengancam pada tindakan pembodohan massal, dinikmati secara gratis dan
berjam-jam pula.
Jika saja TVRI masih menjadi satu-satunya televisi
di Indonesia, apakah hal ini tidak akan terjadi? Dahulu penduduk Indonesia juga
masih banyak yang hidup di bawah garis kesejahteraan, namun mereka
senang-senang saja dengan acara Dunia Dalam Berita, kuis Berpacu Dalam Melodi,
serta deretan sinetron anak negeri yang menyajikan cerita menarik dan mendidik.
Maka, alasan produser masa kini yang menyatakan acara-acara tidak mendidik itu
sesuai dengan masyarakat kelas B dan C, bukankah sama dengan ingin membunuh
masyarakat pelan-pelan? Kita ini seolah dihibur, padahal di balik itu para
pelaku pertelevisian semakin kaya saja dengan pasokan iklan yang membanjir,
berkat rating acaranya sangat tinggi.
Minat
Terhadap Tayangan Negara Lain
Jangan silahkan jika banyak generasi muda kita yang
gandrung film Korea dan hollywood, dibanding menikmati sinetron yang tak jelas
ceritanya. Kebebasan pers digunakan sebagai benteng. Jadi, penonton pun
memiliki kebebasan untuk memilih tayangan yang tepat bagi dirinya bukan?
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kalau memiliki
power yang cukup, silahkan anda bertindak dengan menghasilkan karya yang berkualitas.
Sudah banyak film nasional yang layak diacungi jempol, baik dari segi cerita
dan amanat ceritanya, tinggal perbanyak saja jumlahnya. Apabila tidak ada
kemampuan lebih, cukup matikan televisi atau beralih pada TV kabel. Atau pindahkan
channel dan pilih acara bermutu.
Namun, kembali lagi hidup itu pilihan. Jikalau anda
menyukai tayangan-tayangan yang saya singgung tadi pun, silahkan saja tetap
menonton. Tidak perlu saling membenci hanya karena tayangan televisi. Televisi itu
benda mati, manusia yang memegang remote
controlnya. Jangan mau menjadi budak televisi yang bentuknya tetap persegi
dari waktu ke waktu. Hanya saja jika anda sempat membaca tulisan ini, saya
harap paradigma anda sedikit berubah. Cukup renungkan saja, jika tidak suka
tinggal buang. Tetap damai dalam keheningan.
7 komentar
bener banget nih mbak. sisi edukasi mulai memudar sekarang.
saya lagi suka acara masakan tv luar nih hehehe
templatenya kayaknya nggak cocok ya dear, banyak bagian yang berantakan :)
miris yaa :(
lebih bagus reality show luar emang
udah kupulihin nih mbk...mw cari2 yg baru..hehe...thanks atas sarannya ^^
Posting Komentar